Mohon tunggu...
Firman
Firman Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Peneliti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stigma Sosial Menjadi Momok Menakutkan

20 Maret 2022   14:30 Diperbarui: 20 Maret 2022   14:32 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sampai saat ini stigma masih menjadi problem dalam kehidupan socia. Stigma merupakan label negative yang dialamatkan pada orang atau kelompok tertentu yang dianggap berbeda, baik berbeda dari aspek ekonomi, wilayah geografis hingga berbeda kasta social.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut melahirkan kerentanan terhadap mereka yang minoritas secara kuantitatif. Padahal sejatinya sebuah perbedaan yang ada merupakan sebuah anugrah dari sang ilahi untuk membuat kita saling merekat dan memperkuat satu sama lain. Bukan justru meretakkan tatanan yang sudah mapan.

Ketidakmampuan dalam mengkomunikasikan sebuah perbedaan menjadi sebab malapetaka yang sangat merugikan. Untuk itu perlu dilakukan sebuah upaya praktis yang dapat dilakukan untuk menghubungkan antara perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sumber kekuatan bersama.

Stigma Hidup di Kampung

Hidup di sebuah kampung terpencil jauh dari keramaian, bukan cuman menimbulkan ketentraman dan kedamaian tetapi juga dapat menimbulkan kecemasan akan masa depan. Tentu walaupun memiliki tradisi local yang unik namun tidak dipungkiri lapangan pekerjaan sangat sulit.

Seiring dengan sulitnya mendapat lapangan kerja menimbulkan pengangguran dimana-mana terutama pada usia produktif. Tentu angka kemiskinan juga makin luas dan memicu terjadinya disparitas social yang sangat tajam. Kesenjangan tersebut masih menjadi momok amat menakutkan hidup di kampung terpencil.

Bentuk dari kesenjangan itu adalah strata social seperti Stigma dan diskriminasi. Orang kaya memberikan stigma negative pada mereka yang secara ekonomi tergolong keluarga miskin. Orang miskin seolah tidak punya hak untuk hidup bebas memilih dan berbuat apa yang mereka mau selama masih dalam koredor.

Stigma yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk tindakan diskriminatif, penolakan dan pembatasan. Orang tidak mampu secara ekonomi dianggap sebagai kelompok masyarakat inferior. Kondisi masyarakat yang serba pengangguran sehingga memiliki banyak waktu luang untuk mengorek-orek kehidupan orang lain.

Stigma Hidup di Kota

Hidup di kota menjadi pilihan banyak orang lantaran semua apa yang dibutuhkan tersedia melimpah ruah, selain itu akses yang serba mudah menyodorkan banyak pilihan hidup ingin bergaya seperti apa dan ingin menjadi profesi seperti apa.

Kemajuan teknologi membentuk pola hidup masyarakat kota yang jauh berbeda dengan orang hidup di kampung. Hampir mayoritas masyarakat kota sibuk dengan kehidupannya masing-masing sementara masyarakat di kampung lebih banyak menjadi pengangguran.

Akibatnya muncul berbagai persoalan social salah satunya stigma atau pelabelan yang diberikan kepada kelompok tertentu yang dianggap berbeda dengan mereka. Perbedaan stigma yang terjadi pada kehidupan kota adalah dimana orang kampung memandang bahwa orang kota cenderung tidak bermoral karena kehidupannya yang bebas dan kurang dekat dengan agama.

Sementara orang yang hidup sama-sama di kota stigma lebih sering diberikan pada kelompok yang menderita penyakit tertentu, terutama penyakit menular. Salah satu contoh paling hangat adalah awal terjadinya pandemic Covid-19.

Setiap kali orang sakit begitu cepat mendapat stigma yang kemudian berlanjut pada perlakukan diskriminatif seperti adanya pengusiran dan pengasingan marak terjadi dimana-mana. Contoh lain seperti para penderita penyakit HIV paling banyak permasalahan yang dialami mereka adalah stigma dan diskriminasi.

Bahaya Laten Stigma Sosial

Hidup di tengah lingkungan masyarakat tidak pernah luput dari berbagai masalah social. Masalah paling sering terjadi dan sangat membahayakan adalah stigma. Stigma sendiri terdiri dari dua yaitu selfstigma atau stigma yang datang dari dalam diri. Kedua stigma social yang berasal dari luar.

Dua stigma tersebut merupakan proses yang saling berkelindan. Awalnya seseorang yang memiliki ciri atau identitas berbeda baik secara langsung maupun tidak langsung kelompok lain mempersepsikan negative atas keberadaannya, hingga proses ini berlanjut secara luas memberikan label negative atas perbedaan tersebut.

Awalnya dipersepsikan kemudian berkembang dalam bentuk verbal bahwa mereka kotor, mereka buruk dan mereka jahat. Lebih lanjut ketika fenomena ini terjadi secara terus menerus maka individu yang memperoleh stigma tersebut menginternalisasi apa yang orang lain nilai tentang dirinya.

Ketika terjadi proses internalisasi maka muncullah persepsi negative terhadap dirinya sendiri, bahwa anggapan orang lain tentang dirinya adalah benar, karena saya memang buruk sehingga pantas menerima hukuman social yang dialami.

Maka disinilah tekanan psikologis seperti stress dan depresi akan semakin berat. Sehingga muncul sikap putus asa tidak memiliki kekuatan untuk bangkit dan mengisolasi diri atau menjauh dari orang lain. Lebih parah lagi kondisi ini dapat memicu keinginan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Untuk itu perlu melakukan satu upaya bersama untuk mengatasi permasalahan stigma, diantaranya yaitu melakukan edukasi secara masif kepada masyarakat agar mereka memiliki pengetahuan yang baik terhadap penyakit yang dialami oleh kelompok yang mendapat stigma. Hal itu penting karena penyebab stigma salah satunya karena kurangnya pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun