Mohon tunggu...
R Firkan Maulana
R Firkan Maulana Mohon Tunggu... Konsultan - Pembelajar kehidupan

| Penjelajah | Pemotret | Sedang belajar menulis | Penikmat alam bebas | email: sadakawani@gmail.com | http://www.instagram.com/firkanmaulana

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Aspek Sosial Trans Metro Bandung

6 Februari 2019   19:09 Diperbarui: 6 Februari 2019   19:21 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angkot yang dihimpit oleh Bus TMB | dokpri

Dalam tahun-tahun terakhir ini, kondisi lalu lintas di berbagai kota besar di Indonesia (termasuk Bandung) telah menunjukkan pertumbuhan jumlah kendaraan yang sangat tinggi. Untuk Kota Jakarta, pertumbuhan jumlah kendaraan per tahunnya bisa lebih dari 5%. Pertumbuhan lalu lintas yang tinggi ini tidak diiringi dengan pengembangan jaringan jalan perkotaan yang memadai. Berbagai jalan layang dan jalan bawah tanah dibangun, namun tetap saja kemacetan lalu lintas menjadi makanan sehari-hari warga Jakarta.

Di Bandung pun, jalan layang yang dibangun terbilang masih sangat lambat, hanya jalan layang Paspati (Pasteur-Surapati) dan Kiarcacondong. Bahkan di Bandung, tidak ada jalan tol dalam kota. Masih beruntung tol Soroja (Soreang-Pasirkoja) bisa dibangun untuk menghubungkan Kota Bandung dengan Kota Soreang (ibukota Kabupaten Bandung).

Implikasi dari kondisi di atas adalah dijumpainya ketidakseimbangan antara jumlah lalu lintas dan prasarana jalan, yang secara kasat mata dapat dilihat dengan makin bertambah banyaknya titik-titik kemacetan di setiap sudut kota.

Bila dilihat dari sudut pandang sistem angkutan umum, kondisi di atas sangatlah menyulitkan. Terutama jika angkutan umum bus yang menggunakan prasarana jalan sebagai lintasan rutenya. Akibat langsung dari makin banyaknya titik-titik kemacetan adalah makin menurunnya tingkat pelayanan bus, seperti rendahnya kecepatan perjalanan, tidak dipenuhinya jadwal perjalanan dan tidak teraturnya kedatangan bus.

Di sisi lain, tidak terpenuhinya angkutan umum yang memadai dari segi kenyamanan dan ketepatan waktu, maka masyarakat lebih beralih menggunakan kendaraan pribadi baik mobil atau motor untu pemenuhan mobilitasnya. Akibatnya angkutan umum banyak ditinggalkan, kalaupun ada yang menggunakannya hanyalah masyarakat ekonomi lemah karena terpaksa, tidak ada alternatif lainnya.

Pada gilirannya, ketika banyak orang semakin memilih ke kendaraan pribadi, maka kondisi kemacetan lalu lintas menjadi semakin parah.

Lebih jauh lagi, mutu kehidupan di kota pun menjadi semakin menurun dengan tingkat pencemaran udara yang tinggi dan stress kejiwaan warga kota.

Bus sebagai kendaraan umum diharapkan bisa berkontribusi untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas. Bus dimaksudkan sebagai usaha untuk mengalihkan kelompok masyarakat yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi untuk menggunakan angkutan umum dalam pemenuhan kebutuhan mobilitas kesehariannya.

BRT (bus rapid transit) pada dasarnya salah satu teknik manajemen lalu lintas yang memberikan prioritas pada bus untuk dapat bergerak leluasa pada lintasan rutenya.

Kasus Trans Metro Bandung

Keberadaan angkutan umum bagi kehidupan warga Bandung sangatlah penting. Sebagian besar warga Bandung tergantung pada angkutan umum untuk memenuhi kebutuhan mobilitas aktivitasnya terutama bagi warga yang tidak memiliki kendaraan pribadi.

Selama ini angkutan umum di Kota Bandung berupa taksi, angkutan kota (angkot), becak, bus kota Damri yang kemudian berevolusi menjadi Trans Metro Bandung (TMB) serta transportasi berbasis on-line (motor dan mobil). Saat jenis angkutan umum yang populer digunakan warga Bandung adalah angkot, bus TMB serta ojeg motor on-line karena ongkosnya relatif terjangkau.

Namun jujur saja, kondisi angkutan umum di Bandung masih cukup memprihatinkan (khususnya angkot dan bus TMB) yaitu tingkat pelayanan yang rendah (berupa jadwal yang tak pasti, kecepatan yang lambat dan tidak teraturnya kedatangan), kurang manusiawi  (berdesakan dan berdiri), daya angkut yang terbatas, dan pengelolaan yang masih buruk. Pemandangan sehari-hari di Bandung sering kita jumpai angkot dan bus TMB yang dijejali penumpang pada jam-jam tertentu.

Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung berupaya memperbaiki kondisi tersebut dengan menyediakan penambahan armada bus TMB yang ber-AC pada rute-rute tertentu seperti rute Cicaheum-Leuwipanjang. Pemkot Bandung pun membuat rencana pengoperasian TMB sejak lama dengan mengambil inspirasi dari Busway nya Jakarta.

Namun pada saat uji coba TMB pada 22 Desember 2008 lalu terjadi unjuk rasa penolakan sopir dan pengusaha angkot yang disertai aksi perusakan dan penghadangan.

Kejadian itu membuat Walikota Bandung pada saat itu sempat memutuskan penundaan pengoperasian TMB karena persiapannya dinilai tidak matang.

Padahal sejak tahun 2006, Pemkot Bandung selalu menunda-nunda pengoperasian bus TMB dengan berbagai alasan ketidaksiapan contohnya seperti belum dibangunnya prasarana perhentian (shelter).

Hal ini menandakan kurang seriusnya Pemkot Bandung dalam menyiapkan TMB, terutama bila ditinjau dari aspek sosial yang terkait dengan adanya kekisruhan dengan para sopir dan pengusaha angkot. Tulisan ini berangkat dari studi kasus dengan mengulas munculnya konflik antara angkot dan bus TMB yang pernah terjadi pada tahun 2009 lalu.

Bus TransMetro Bandung sedang menunggu penumpang | dokpri
Bus TransMetro Bandung sedang menunggu penumpang | dokpri
Munculnya konflik

Adanya anarkis berupa penghadangan, perusakan bahkan penganiayaan dari para sopir dan pengusahan angkot menandakan telah munculnya konfliks sosial dari keberadaan TMB ini. Pihak yang berkonflik di sini ada empat aktor utama yaitu Pemkot Bandung (Dinas Perhubungan), PT.Damri (operators bus TMB), sopir dan pengusaha angkot. Dalam hal ini, sopir angkot adalah pihak yang paling terjepit posisinya.

Sopir angkot terjepit karena ditekan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya dan juga ditekan oleh para pengusaha angkot terkait dengan setoran. Sopir menjadi sapi perahan bagi kepentingan para pengusaha angkot. Sebab pengusaha angkot menerapkan sistem setoran bagi angkotnya. Pengusahan angkot tidak mau tahu soal operasional angkotnya seperti pengaturan frekuensi, jadwal dan waktu tempuh, yang penting jumlah setoran terpenuhi oleh sopir.

Karena dikejar-kejar setoran, maka sopir akhirnya membanting tulang agar memperoleh pendapatan melebihi jumlah setoran.

Akibatnya, sopir dalam menjalankan tugasnya seringkali berperilaku seenaknya demi mengejar setoran seperti ngebut, menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya, melanggar aturan lalu lintas, angkot penuh sesak penumpang bahkan seenaknya menurunkan penumpang di tengah perjalanan sebelum tiba di tujuan. 

Singkat kata, karena kondisi seperti di atas, sopir sangat sensitif terhadap kebijakan angkutan umum yang dikeluarkan pemerintah. Para sopir angkot akan merasa kepentingan ekonominya terganggu bila ada kebijakan seperti perubahan tarif, penambahan armada, perubahan rute, penambahan rute dan sebagainya.

Bahkan sopir angkot bisa begitu gampang tersulut sehingga tak heran sering muncul pemogokan-pemogokan yang pada kasus-kasus tertentu cenderung anarkis, contohnya saat protes keberadaan transportasi berbasis online.

Pengusaha angkot juga akan merasa kepentingan ekonominya terganggu tatkala setoran dari sopir berkurang. Malahan bisa berakibat tidak adanya sopir yang mau mengoperasikan angkotnya.

Maka wajar saja pengusaha angkot pun tidak menyetujui keberadaan bus TMB karena dikhawatirkan pendapatan mereka berkurang karena setoran yang tidak memenuhi target dari sopir.

Kesiapan Aspek Sosial

Persiapan operasionalisasi TMB perlu mendapat penilaian dari aspek sosial. Kadang kita melupakan aspek sosial suatu proyek pembangunan, karena lebih mementingkan aspek finansial dan teknis belaka. Adanya kejadian aksi unjuk rasa hingga aksi anarkis adalah buah dari tidak diperhatikannya aspek sosial.

Aspek sosial TMB ini bisa meliputi: (1) pemahaman masyarakat terhadap pentingnya TMB, (2) analisis dampak sosial TMB yang menyangkut keuntungan dan kerugian sosial, dan (3) partisipasi masyarakat terhadap keberlangsungan TMB.

Pemahaman masyarakat terhadap bus TMB berupaya untuk memberikan informasi tentang bus TMBd dan juga mendapatkan persepsi masyarakat terhadap TMB.

Masyarakat di sini meliputi para pengguna (penumpang) dan penyedia angkutan umum dari swasta (sopir dan pengusaha angkutan kota) serta para pengguna kendaraan pribadi. Informasi yang disampaikan kepada mereka harus jelas, utuh dan trasnparan sehingga bus TMB benar-benar dipahami secara keseluruhan. Analisis dampak sosial TMB sangat diperlukan untuk mengetahui dampak sosial yang bakal muncul.

Hasil analisis ini akan dipergunakan sebagai bahan masukan sehingga nantinya berguna untuk mengurangi resiko sosial dari bus TMB. Sebagai contoh nyata adalah berkurangnya pendapatan sopir angkot terutama rute-rute angkutan umum yang bersinggungan dengan TMB.

Partisipasi masyarakat terhadap keberlangsungan bus TMB merupakan hal yang penting sekali bagi terpeliharanya bus TMB untuk masa-masa mendatang. Manfaat dari partisipasi masyarakat adalah munculnya rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap bus TMB.

Contoh nyata dari partisipasi masyarakat misalkan memelihara kebersihan bus TMB dengan tidak membuang sampah sembarangan. Kalau bus TMB bersih tentunya nyaman untuk dinaiki.

Sayangnya selama ini penilaian dari aspek sosial terkadang masih diremehkan oleh pengambil kebijakan. Padahal hakikatnya, suatu aktivtas pembangunan harus memberikan manfaat posistif bagi kehidupan masyarakat. Perlu diingat bila tinjauan aspek sosial sudah layak, maka gejala konlfik sosial bisa dihindari sedini mungkin.

Di luar aspek sosial, secara umum aspek penyelenggaraan BRT ini perlu dibenahi total, terutama yang berkaitan dengan aspek perencanaan yaitu perencanaan strategis dan perencanaan operasional. Kedua aspek perencanaan tersebut merupakan aspek yang sangat mendasar.

Perencanaan strategis ini mencakup pengembangan sistem jaringan, rute (pola dan hirarki), interkoneksitas antar rute dan jenis/tipe kendaraan yang digunakan. Sedangkan perencanaan operasional berkaitan dengan rencana rinci untuk masing-masing rute seperti jenis dan kapasitas kendaraan, jumlah armada yang harus beroperasi, frekuensi pelayanan, sistem dan tingkat tarif serta penjadwalan. 

Namun aspek perencanaan tersebut di atas harus berangkat dari kebijakan yang jelas. Selama ini kebijakan pemerintah masih abu-abu.

Di satu sisi kebijakan BRT ini diniatkan pada tujuan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Namun di sisi lain, kebijakan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi masih berjalan setengah hati. Penerapan pemberlakuan pemakaian pembatasan kendaraan pribadi dengan plat nomor ganjil-genap masih menuai pro kontra. Kebijakan three in one, pun masih bisa diakali. Tidak ada kebijakan yang efektif untul menekan pemakaian kendaraan pribadi. 

Bahkan ironisnya untuk memenuhi kebutuhan para pengguna kendaraan pribadi, pemerintah malah semakin banyak membangun jalan-jalan layang, jalan bawah tanah dan juga jalan tol.

Semestinya, pemerintah juga di satu sisi harus mulai kuat dalam menjalankan kebijakan angkutan umum yang lebih berorientasi pada pemberian pelayanan yang sebaik mungkin yaitu angkutan umum yang nyaman, aman, teratur dan tertib. Jika memungkinkan semua angkutan umum dilengkapi dengan AC, shelter yang nyaman, bersih terawat rapi dan dengan jadwal yang ketat dan tepat waktu.

Dengan kondisi demikian, maka orang yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi akan beralih menggunakan angkutan umum (salah satunya BRT) bagi kegiatan mobilitas kesehariannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun