Mohon tunggu...
R Firkan Maulana
R Firkan Maulana Mohon Tunggu... Konsultan - Pembelajar kehidupan

| Penjelajah | Pemotret | Sedang belajar menulis | Penikmat alam bebas | email: sadakawani@gmail.com | http://www.instagram.com/firkanmaulana

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Berkurangnya Lahan Pertanian di Indonesia

14 Januari 2019   20:09 Diperbarui: 14 Januari 2019   20:31 10352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Indonesia adalah negeri yang subur. Tanaman apa pun yang ditanam bisa tumbuh. Koes Plus pun dalam syair lagunya menyebutkan "Orang bilang tanah kita tanah surga atau tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Karena kesuburan tanah tersebut, masyarakat Indonesia banyak yang bekerja sebagai petani. Lahan pertanian seperti sawah, kebun dan ladang pun banyak terdapat di mana-mana. Namun sebuah informasi mengejutkan datang dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan luas lahan sawah di Indonesia telah berkurang. Catatan BPS menyebutkan tahun 2018, luas sawah tinggal 7,1 juta hektar turun dibanding tahun 2017 yang masih 7,74 juta hektar.

Salah satu contoh kawasan yang mengalami pengurangan lahan pertanian (sawah) di Indonesia adalah kawasan Pantai Utara Jawa (Pantura) di Jawa Barat (Jabar). Kawasan Pantura ini dikenal sebagai lumbung padi nasional, yang bahkan pada tahun 1984 memberikan andil tercapainya prestasi swasembada beras. Namun tampaknya prestasi itu sulit diraih kembali, mengingat lahan pertanian sawah telah menunjukkan fenomena konversi lahan yaitu alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian. Sensus Pertanian (1993) menyatakan dalam kurun waktu 1983-1993 telah terjadi pengurangan lahan sawah di Pantura Jabar seluas 39.830 hektar.

Dalam kaitan dengan ketahanan pangan nasional, konversi lahan pertanian sawah merupakan salah satu faktor yang berdampak langsung terhadap hasil produksi padi. Kesuksesan program ketahanan pangan nasional sangat ditentukan oleh tersedianya lahan pertanian yang mampu memproduksi pangan secara kontinyu. Namun kenyataan memperlihatkan bahwa lahan yang tersedia dan yang dapat dipergunakan untuk produksi pangan sangatlah terbatas.

Jika kita menengok ke belakang, ke jaman pemerintahan Orde Baru, terdapat fase kebijakan deregulasi (1983-1990), yang fokus kebijakan pertanahannya lebih dititikberatkan kepada upaya mendukung percepatan pembangunan guna mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Salah satunya ditujukan untuk kepentingan berbagai kebutuhan pembangunan di sektor industri. Tak heran pada saat kini, kawasan Pantura Jabar khususnya di koridor Bekasi, Karawang, Cikampek hingga Purwakarta telah tumbuh pesat berbagai kawasan industri. 

Lahan pertanian di pinggiran kota
Lahan pertanian di pinggiran kota
Selain itu, dari arahan kebijaksanaan tata ruang nasional pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) pada Peraturan Pemerintan (PP) No 47 Tahun 1997, tampak bahwa wilayah Pantura Jabar (Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon) mempunyai peranan ganda. Yaitu sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan sektor industri sebagai faktor unggulan dan sebagai sentra produksi tanaman pangan (padi) untuk menopang keberlanjutan swasembada pangan. 

Namun pada perkembangannya, ternyata sektor pertanian cenderung semakin tergeser oleh sektor industri. Kebutuhan akan tersedianya tanah (lahan) untuk keperluan kegiatan sektor industri telah menyebabkan konversi lahan sawah ke penggunaan lahan untuk kegiatan industri, yang lalu diikuti pula oleh kegiatan untuk sektor pemukiman skala besar. 

Data lama dari BPS dari hasil Sensus Pertanian 1993 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1983-1995 khusus untuk lahan pertanian sawah beririgasi teknis di wilayah Pantura Jabar telah mengalami konversi seluas 16.690 hektar (atau 5.560 hektar per tahun). Sebagian besar lahan sawah itu berubah menjadi perumahan (32 persen) dan industri (48 persen).

Seiring dengan konvesi lahan sawah yang terjadi di wilayah Pantura Jabar, terdapat pula kecenderungan penyusutan luas panen dari 11,61 persen (1984) terhadap produksi padi nasional menjadi 10,52 persen (1994). Dampaknya, pada kurun 1988-1994 terjadi penyusutan luas panen sebesar 74.987 hektar atau rata-rata sekitar 12.500 hektar per tahun. Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu penyebab penurunan produksi padi nasional secara keseluruhan pada kurun 1988-1994 sebesar 240.158 hektar. 

Dari tahun ke tahun, konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian terus terjadi. Untuk menyikapi hal tersebut, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Undang-undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menopang ketahanan pangan nasional dan juga diharapkan dapat memiliki lahan pertanian abadi yang tak boleh dialihfungsikan. Untuk operasionalisasinya, undang-undang ini ditindaklanjuti dengan beberapa aturan pendukung seperti PP No.1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian, PP No 12/2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan, PP No 25/2012 tentang Sistem Informasi LP2B dan PP No 30/2012 tentang Pembiayaan LP2B.

Bahkan jauh sebelumnya, pada tahun 1990 ada Keputusan Presiden (Keppres) No 33 tahun 1990 untuk pencegahan dan pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian yang mengatur bahwa pembangunan kawasan industri tidak boleh menggunakan kawasan pertanian lahan sawah beririgasi teknis dan lahan yang dicadangkan untuk usaha tani. Namun dalam implementasinya, peraturan itu tidak berjalan. Penerapan penegakan peraturan yang lemah menyebabkan kecenderungan konversi lahan pertanian di masa depan akan terus berjalan.

Namun tampaknya peraturan perundangan tersebut masih tidak berjalan mulus di lapangan. Sektor pertanian masih tetap kalah oleh sektor lainnya.   Kenyataan memperlihatkan lahan-lahan pertanian makin hilang, tergantikan menjadi kawasan permukiman, pembangunan infrastruktur (jalan, pelabuhan udara, bendungan, jalur rel kereta api dan sebagainya) serta kawasan industri. 

Pembangunan yang semakin gencar dilakukan telah menyebabkan banyak lahan pertanian yang harus beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.  Alih fungsi lahan pertanian ini semakin masif terjadi di wilayah pertanian yang dekat dengan dengan wilayah perkotaan . Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa dalam periode Juni 1998-Juni 2003, terjadi konversi lahan sawah menjadi lahan non sawah yang manecapai sekitar hampir 30 ribu hektar. 

Fenomena konversi lahan pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomika lahan yang menempatkan lahan sebagai faktor produksi. Lahan sebagai komoditas strategis, mempunyai karakteristik yang khas, yaitu: (1) penyediannya bersifat permanen/tetap dan terbatas, (2) tidak ada biaya penyediaan, (3) lokasi yang pasti/tidak dapat dipindahkan, (4) bersifat unik yaitu tidak satu bidang tanah  yang punya nilai sama dan tidak terpengaruh oleh waktu. 

Karena persediaan lahan bersifat tetap sedangkan permintaanya terus bertambah, maka secara alamiah, sesuai karateristiknya, akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahn untuk berbagai aktivitas (Dowall dan Leaf, 1990). Nilai lahan merupakan variabel ekonomi yang dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran. 

Adanya keterbatasan lahan yang tersedia di suatu wilayah akan menyebabkan nilai lahan di wilayah itu meningkat yang bisa menyebabkan tergangggunya keseimbangan antara nilai lahan dengan penggunaan lahan tertentu. Akibatnya, timbul keinginan dari pemilik lahan untuk mengubah penggunaan lahannya menjadi guna lahan yang sesuai dengan tingkat nilai harga lahannya. 

Harga lahan yang tinggi membuat para petani tergiur untuk melepas kepemilikan lahannya ke investor, sehingga akhirnya terjadi alih fungsi lahan.  Artinya, motif ekonomi menjadi penyebab utama dari alih fungsil lahan. Namun motif ekonomi itu sebetulnya didukung juga oleh tekanan politis melalui kebijakan yang dimunculkan oleh pemerintah pada waktu itu. Contohnya, tidak bisa dipungkiri bahwa nilai lahan di wilayah Pantura Jabar yang melejit tinggi karena dipengaruhi oleh adanya kebijakan dan peraturan seperi Keputusan Presiden (Keppres) No 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri dan Kebijakan Deregulasi Pakto-23 tahun 1993 tentang Kemudahan Proses izin Lokasi, yang telah menyebabkan lonjakan sangat pesat dalam permohonan izin lokasi untuk industri dan perumahan, yang akhirnya memicu pembangunan pendukungnya seperti infrastruktur dan lainnya.

Dampak yang ditimbulkan dari konversi lahan pertanian sawah tersebut makin mengkhawatirkan.  Yaitu menurunnya  produksi padi, meningkatkan ketergantungan pada pangan impor serta hilangnya investasi dalam pembangunan prasarana irigasi teknis. Pada gilirannya, konversi lahan pertanian ini berdampak sosial ekonomi pada rumah tangga pertanian. Yaitu hilangnya, kesempatan kerja bagi buruh tani, meningkatnya petani gurem serta penguasaan lahan pertanian yang makin sempit.Nilai tambah produksi yang lebih tinggi di sektor industri, mendorong sebagian petani penggarap atau buruh tani untuk beralih pekerjaan menjadi buruh pabrik. Dengan menjadi buruh pabrik, mereka mendapat jaminan pemasukan keuangan secara tetap.  

Konversi lahan pertanian telah semakin luas terjadi. Konversi ini merupakan hal yang tidakdapat dihindarkan. Walaupun demikian, proses konversi ini semestinya dapat dilaksanakan secara terencana dan terkendali dengan memperhatikan tanah sawah andalan yang harus dihindarkan dari proses konversi. Jika hal tersebut kurang diperhatikan, maka diperkirakan konversi lahan pertanian sawah dapat menimbulkan kerugian jangka panjang. Sehingga akan mengakibatkan penurunan produksi pangan, khususnya padi. Akibat lebih jauh adalah kita tidak akan mampu memenuhi teknanan permintaan pangan sehingga pemerintah harus melakukan terus impor pangan. Dampaknya pemerintah pun harus mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk pengadaan impor pangan impor.

Konversi lahan pertanian harus dikendalikan. Caranya, membuat rencana tata ruang yang mengakomodasi keberlanjutan lahan-lahan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Rencana tata ruang itu mesti didukung peraturan baik di tingkat nasional dan daerah sebagai kebijakan yang sifatnya  lebih operasional untuk mencegah atau mengendalikan konversi lahan pertanian sawah. 

Dalam rencana tata ruang di tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan kota harus dinyatakan secara tegas lahan-lahan yang termasuk di dalam kategori lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak dapat dialihfungsikan ke penggunaan lain. Hal ini berarti, nantinya tidak akan ada rekomendasi alih fungsi atas lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Selain itu yang lebih penting lagi adalah untuk mendukung tegaknya cita-cita lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka masyarakat harus memberikan perhatian dan tekanan secara terorganisir kepada pemerintah. Karena sekarang ini betapa banyak kejadi, penguasa di tampuk pemerintahan sekarang ini yang telah menelikung kepercayaan masyarakat. Banyak terjadi para penguasa yang berselingkuh dengan para pengusahah hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan golongan politiknya. Bahkan yang harus diwaspadai juga adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, bisa jadi hanya menguntungkan buat segelintir orang saja. Wallahu'alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun