Mohon tunggu...
R Firkan Maulana
R Firkan Maulana Mohon Tunggu... Konsultan - Pembelajar kehidupan

| Penjelajah | Pemotret | Sedang belajar menulis | Penikmat alam bebas | email: sadakawani@gmail.com | http://www.instagram.com/firkanmaulana

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pengelolaan Sampah yang Setengah Hati

9 Januari 2019   15:20 Diperbarui: 9 Januari 2019   15:24 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada umumnya, kesan pertama dari sebuah kota dan wilayah adalah kebersihan lingkungannya. Kualitas lingkungan hidup suatu tempat, salah satunya tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan sampah. Jika suatu kota dan wilayah tidak bisa mengelola sampah, maka daya saing kota dan wilayah tersebut akan meredup dalam berbagai sektor pembangunan lainnya. Secara ekonomi dan sosial, tentunya orang-orang akan enggan beraktivitas dan tinggal di sebuah kota yang kotor dan tidak sehat. 

Pengelolaan sampah di berbagai kota dan wilayah di Indonesia mayoritas masih ditumpuk begitu saja di lahan terbuka (open dumping) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Longsornya timbunan sampah di TPA Leuwigajah - Bandung sekitar 10 tahun lalu menjadi pelajaran penting tentang pengelolaan sampah yang baik dan benar. 

Namun kita sepertinya tidak pernah belajar dari pengalaman tersebut. Sampah masih belum dikelola dengan baik. Sampah masih dikelola setengah hati. Sampah masih dibuang seenaknya ke mana saja, misalkan ke sungai. Contohnya adalah sampah yang menumpuk di sepanjang aliran sungai Kali Pisang baru di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.

Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, terkadang berkarung-karung sampah beraroma tak sedap bergeletakan di tepi jalan dan sudut-sudut kota. Saat ini, pengelolaan sampah masih menjadi problem serius, terutama terkait dengan pengadaan TPA, manajemen pembuangan dan cara pengolahannya. Jakarta membuang sampahnya ke TPA Bantargebang dan Bandung ke TPA Sarimukti. Dari tahun ke tahun,  volume sampah di TPA tersebut diprediksi tidak akan mampu menampung lagi volume sampah yang makin banyak seiring tingkat pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. . 

Untuk ke depan, tentu saja kota-kota seperti Jakarta dan Bandung memerlukan TPA yang lebih memadai. Semakin tinggi aktivitas manusia, maka semakin banyak sampah yang dihasilkan. Namun tak mudah untuk mencari calon lokasi TPA tersebut karena ketersediaan lahan yang terbatas di dalam wilayahnya. Selain itu perlu dipikirkan sistem pengelolaan sampah yang betul-betul memperhatikan keamanan dan keselamatan lingkungan hidup. 

Dampak Sampah

Bila kota-kota di Indonesia tidak mengelola masalah sampah dengan benar, maka akan mengalami empat dampak besar. Dampak pertama, dari aspek kesehatan. Apabila sampah rumah tangga tidak dibuang atau diangkut secara rutin lebih dari 2 hari, maka akan menjadi media berkembangan biak lalat sebagai perantara penyakit diare dan kolera. 

Air yang tergenang di produk sampah seperti kaleng bekas dan botol kosong, juga menjadi media nyamuk Aedes Agypty sebagai penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).

Sistem tempat pembuangan sampah sementara juga sebaiknya dihilangkan, karena bila tak dapat diangkut rutin akan menjadi sumber penyakit di lingkungan sekitarnya. Sistem pengolahan sampah di TPA berupa open dumping juga harus segera ditinggalkan karena juga menjadi tempat berkembang biaknya lalat dan tikus sebagai perantara penyakit. 

Selain itu, sampah menghasilkan air lindi yang dapat mencermari air permukaan dan air tanah. Bahkan pengolahan sampah dengan cara dibakar (inceneration) yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan pencemaran udara ke lingkungan sekitarnya hingga bisa memicu penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA).

Dampak kedua, dari segi keindahan. Kota yang beradab, bukan hanya yang kualitas lingkungannya sehat, tetapi juga artistik. Sebuah kota yang indah, tak akan ada artinya bila sampah menumpuk dimana-mana, menyebarkan bau busuk dan tak sedap dipandang mata. Dampak ketiga, dari segi sosial budaya. Sampah selama ini selalu dijauhi, bukan ditangani. Sehingga perilaku warga masyarakat selalu terbiasa membuang sampah begita saja bukan mengolahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun