Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kualitas Reporter TV Nasional Kita

14 Januari 2015   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:08 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Najwa Shihab di bencana tsunami, 2004. (Sumber: BBC Indonesia)

[caption id="" align="aligncenter" width="378" caption="Najwa Shihab di bencana tsunami, 2004. (Sumber: BBC Indonesia)"][/caption] Tadi pagi saya menjumpai reporter tvOne yang cara mereportase situasi rumah Komjen Budi Gunawan sungguh kikuk. Reporter muda ini -- berjenis kelamin laki-laki -- tampak tidak siap, bicara datar di sebuah gang entah di mana, dan kurang siaga saat dihujani pertanyaan oleh penyiar di studio. Saya menunjuk reporter tersebut bukan semata menuduh tvOne tak becus menelurkan reporter-reporter andal. Stasiun milik Aburizal Bakrie ini punya banyak reporter oke, kok. Saya cuma ingin mengritisi kualitas reporter di banyak stasiun TV nasional di negeri ini yang tak mampu menghanyutkan pemirsa. "Menghanyutkan" yang saya maksud, reporter mampu menjadi kepanjangan tangan stasiun TV untuk menuntun pemirsa menyimak lebih dekat perkembangan terkini dari suatu peristiwa. Perkembangan yang dramatis, tentu saja, bukan sekadar memberi laporan yang hampir semua TV sudah menyajikannya di waktu yang sama! Anda pasti intens mengikuti perkembangan jatuhnya pesawat AirAsia di Selat Karimata. Nah, di lingkup musibah ini Anda akan tiap waktu -- kecuali dinihari hingga subuh -- diberi sajian reportase. Reportase mengantar Anda tak sekadar mendapat up date peristiwa, namun memberi Anda pengetahuan baru mengenai kinerja Basarnas atau proses identifikasi jenazah, dan sebagainya. Sayangnya masih banyak reporter yang sudah dilepas oleh pemilik TV padahal performanya belum mantap. Saya memang pernah menjumpai reporter Kompas TV yang ciamik memberikan laporan, tidak grogi di tengah begitu banyak orang, dan mewawancarai para pekerja di ruang Disaster Victim Identification (DVI) di RS Bhayangkara Surabaya.  Jurnalis berjilbab tersebut begitu fasih mengucap istilah-istilah kedokteran, menggiring juru kamera untuk menyorot busana para petugas DVI, dan memberi banyak pengetahuan baru pada penonton tivi. Tetapi masih banyak reporter yang kurang memikat, meski mereka didandani cukup ayu oleh tim wardrobe TV bersangkutan. Tanpa menyebut nama, masih banyak reporter TV kikuk menjalankan tugasnya. Mereka -- saya sinyalir tenaga-tenaga baru di stasiun TV -- demam panggung lantaran ditonton banyak orang yang lalu lalang saat mereportase. Taruh misal di peristiwa jatuhnya AirAsia, ada reporter yang kerap salah menyebut nomor penerbangan QZ8501 menjadi QZ5810 atau QZ8051. Banyak pula reporter yang berdiri mematung dengan ucapan-ucapan yang tampak sebelumnya dihafalkan, tanpa berniat memberi kegairahan penonton dengan menunjukkan obyek-obyek tertentu untuk mempermanis liputannya, misalnya helikopter, ekor AirAsia, mobil jenazah, dan sebagainya. Dan ketika presenter di studio memberinya pertanyaan sulit mengenai data, mereka tampak tidak siap dan kemudian sibuk mencari catatan di tangannya. Menjadi Saksi dan Bukti Ada kecenderungan reporter TV di negeri ini harus tampil cantik saat meliput peristiwa. Di liputan mudik Lebaran, para reporter sering dibedaki dulu sebelum tampil di layar kaca. Mungkin dimaksudkan agar segar dan camera face. Tapi itu salah kaprah. Reportase di pinggir jalan penuh debu, galibnya reporter pun dibiarkan lusuh untuk menandai betapa suntuknya jalan raya. Maka, saya salut ada reporter yang turun ke banjir bandang, membiarkan celananya tercelup air bah, dan memberikan laporan. Juga salut jika ada pewarta yang berinovasi dengan membonceng sepeda motor kala menyusuri padat arus mudik, atau menumpang mobil bak terbuka. Aktivitas keren itu sangat membangun suasana dan pemirsa pun turut merasakan gerahnya dijepit kepadatan lalulintas. Reporter adalah saksi akan pelik dan pedihnya sebuah peristiwa, sebagaimana sejumlah reporter yang tampak kucal kala mereka melaporkan longsor di Banjarnegara dari titik terdekat. Mereka juga menjadi bukti bahwa musibah tertentu sungguh memedihkan hati, mewakili sikap empati. Empati yang ditunjukkan (kalau perlu) dengan linangan airmata, seperti liputan mendebarkan oleh Robert Redford di sebuah kerusuhan penjara dalam film Up Close & Personal. Menjadi reporter tentu telah melewati seabrek seleksi, dari mulai cara berkomunikasi, menghadapi kamera, mempertajam aksentuasi dan intonasi, serta memperkaya wawasan. Seragam yang berbeda-beda tak mengurangi rasa percaya diri mereka. Pintar ngomong pun belum cukup, sebab reportase memerlukan jiwa, melakukannya dengan hati, sehingga pemirsa tivi dibawa hanyut dan merasa seolah-olah berada dalam kancah penyerbuan teroris, kesedihan Gus Dur mundur dari kursi kepresidenan, atau terlibat dalam unjuk rasa berdarah di depan Gedung DPR. Tapi ingat, reporter juga tidak boleh mengumbar nafsu jurnalismenya dengan mewawancarai keluarga korban tatkala mereka masih hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Sebab itu, tolong mereka yang masih culun jangan tergesa dilepaskan jika tidak ingin menuai malu! -Arief Firhanusa-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun