Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dewa Baru Itu Bernama PIN BB

20 Februari 2015   16:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:50 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="494" caption="Empat camat di wilayah Kota Manado kepergok sedang ber-BBM ketika Walikota Manado Dr GS Vicky Lumentut tengah berpidato di sebuah acara penting di Gedung DPRD Manado, Rabu 30 Januari 2015. (Sumber harian-komentar.com) "][/caption] MBAK Egi (nama sebenarnya) tiga kali minta PIN (personal identification number) BlackBerry pada saya. Saya tidak kasih karena saya memang tidak (lagi) menggunakan fasilitas BlackBerry Messenger. "SMS susah Mas masuk di BB saya," ujar wanita pekerj EO di Semarang yang nyambi bikin kaus ini. Dalam perjalanan waktu, SMS-SMS saya memang jarang dia balas. Saya mengalah dengan meneleponnya, tapi sering dia di tempat-tempat minim sinyal sehingga pembicaraan kami putus-putus. Terakhir malah dia berada di lereng Gunung Merapi untuk suatu kegiatan amal. Padahal kami ada ikatan kerja. Saya memesankan kostum tim sepakbola binaan saya yang tak lama lagi mengikuti sebuah turnamen, dan kostum itu amat penting. -- BEBERAPA hari lalu saya terlibat di penyambutan suporter Persija Jakarta sebelum pertandingan persahabatan melawan PSIS Semarang. Kehadiran Jakmania kami terima di pelataran Stadion Citarum. Dalam hiruk pikuk kedatangan suporter ini saya ketemu Titin, mantan teman kuliah. Dia mengaku bekerja di rumah sakit terdekat. Basa basi sejenak, dia meminta PIN BB saya. Saya sodorkan nomor ponsel, tapi tampak betul wajahnya tak antusias. "PIN BB saja kalau ada," ucapnya ngotot. Nomor handphone saya dia terima lewat missed call, tetapi saya tidak yakin dia memasukkan nama saya di HP-nya. Benar saja, selang sejam kemudian ketika dia saya telepon untuk saya mintai bantuan lantaran ada suporter yang diare, telepon dia angkat tapi ucapannya membuat saya kecewa, "Maaf, ini siapa ya ... "

--

DI lain waktu, seorang PR sebuah perusahaan komputer terkenal mengundang saya mengikuti peluncuran laptop terbaru di sebuah hotel berbintang di Semarang. Dalam perjumpaan dengan gadis keturunan ini tadinya obrolan kami mengalir. Tiba saatnya dia meminta nomor telepon kami. Satu persatu memberikan nomornya, termasuk saya. Tibalah giliran di juga meminta PIN BB pada kami yang diundang. Saat saya harus menyetor PIN, saya bilang, "Maaf Mbak, saya tidak menggunakan BlackBerry maupun android. Cukup SMS pada saya saja, atau telepon. E-mail, saya ada dua." Dia terkejut. "Loh, hari gini Mas Arief nggak pakai BBM?" Selorohnya.

--

TIDAK cuma PR, karyawan rumah sakit, polisi, pegawai negeri, atau pekerja event organizer, seorang penjual buah di kampung saya pernah saya pergoki tengah berasyik masyuk dengan seorang perempuan (yang dia sebutkan "salah satu dari pacarnya") via BlackBerry Messenger. Beberapa bulan sebelumnya saya dibuat kesal oleh wanita muda di meja pendaftaran bengkel sebuah dealer mobil terkenal. Saya datang untuk mendaftar service. Si embak tak mendengar saya sebab mata dan pikirannya terpaku di gadget di tangannya. Dia sedang BBM-an dengan seseorang seraya cengar cengir. Saya meninggikan suara agar dia tergugah. Tanpa maaf, dia kemudian melayani. Tapi, sedetik setelah menuliskan pelat nomor beserta keluhan-keluhan saya seraya memberi nomor antrean, perempuan yang cantik ini kembali runtuh ke android di tangannya

...

Anak bau kencur di gang-gang, di swalayan, di halte bus, di dalam angkot, di halaman sekolah kini terjajah teknologi. Teknologi yang tak pandang bulu miskin atau kaya, tertekan hidupnya atau sejahtera, bapaknya mengih atau segar bugar, ibunya merana atau baik-baik saja. Bapak-bapak polisi tidak sigap saat berdiri di pinggir jalan atau perempatan. Sesekali kita pergoki mereka mengutak-atik BlackBerry-nya seolah dia duduk di kantornya. Anggota dewan cekakak cekikik kala rapat paripurna. Mereka tak peduli sekumpulan rakyat papa duduk merana di seberang gedung DPR, karena baginya ber-BBM lebih mengasyikkan ketimbang mengentaskan kemiskinan. Tak jarang mereka memutar film biru sebagai selingan, ketimbang mendengar anggota lain berpendapat, atau menyimak ketuanya merumuskan sesuatu. Saya bukan anti-BBM. Saya juga menghargai perusahaan jasa atau barang mencantumkan PIN BB dalam brosur maupun famletnya supaya mudah diorder. Dua tahun silam saya masih menggunakan teknologi yang bisa memancarkan keluh kesan teman lewat statusnya, atau membaca-baca broadcast yang lucu-lucu atau pengumuman tentang sesuatu, baik pengumuman ngawur bin fitnah, maupun pengumuman beneran mengenai mobil yang hilang. Hampir tiga tahun menikmati fasilitas BBM ini, hingga suatu pagi dua tahun lalu BlackBerry saya sering tak mampu menerbitkan pesan teman secara kilat. Ada penyakit delay yang menurunakn semangat saya ber-group-ria atau mengirim pesan kepada teman. Lambat tapi pasti, BB saya tidak mampu bekerja secepat maksimal, sampai akhirnya lumpuh total setelah sempat diangkut ke bengkel BB di Swalayan Matahari. Dan bangkai BB itu masih teronggok di laci kantor saya. Beli lagi? Cukup sudah saya berganti BB tiga kali! Pesan pendek ala SMS dan telepon kini menjadi andalan saya. Tak perlu saya berkeluh kesah dalam status BBM macam "Oh sedihnya difitnah", atau "Masih enak jamanku, mas brow" plus foto profil Pak Harto, atau "Biniku sudah tak asyik lagi" dengan emoticons sedih. BBM maupun seabrek kini inovasi berkomunikasi di luar BBM -- menurut saya -- lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Anak-anak sekolah jadi malas belajar. Pengendara tak kontrol kemudi sehingga mobilnya nyungsep di kali. Buku-buku menjadi hanya milik orang Jepang yang hingga kini tetap setia membaca saat menunggu bus di halte. Tak jarang bahkan status BBM menyakiti orang lain. Seorang bos sebuah pabrik pernah naik pitam hanya karena disindir karyawannya melalui status BBM. Status yang langsung bisa dibaca, tidak seperti Facebook yang perlu membuka-buka laman dulu sebelum menemukan status seseorang. Sudah dua tahun ini saya tak ber-BBM. Jujur jiwa saya terasa lebih sehat, lebih segar, lebih jernih. Perkara orang tak mau mengirim SMS, atau enggan menelepon karena saya tak menggunakan BBM alias menganggap saya tidak modern, peduli setan! Saya hanya tak mau dijajah, tak mau diperbudak teknologi yang membuat saya menganggap PIN BB adalah dewa, yang membuat saya galau sehingga kesana kemari menenteng power bank! -Arief Firhanusa-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun