2. Pengadu Domba
Gak rusuh, gak makan. Mungkin pengibaratkan tersebut sangat cocok melekat di tubuh para buzzer hari ini. Mereka akan berulah duluan dengan menyebarkan konten-konten yang dapat memicu kemarahan rakyat. Setelah massa membludak panas, mereka segera melakukan playing victim. Lagaknya para buzzer ini senang mempermainkan emosi orang-orang. Lebih-lebih mengguncang kedamaian suatu golongan atau kelompok tertentu.
Buzzer mahir memanfaatkan media sosial karena bisa bertindak secara bebas. Semisal di twitter yang merupakan laman yang dengan bebas beropini, membagikan sebuah linimasa, atau memasang thread 'cuitan' yang dijadikan ladang provokasi oleh para buzzer. Tak hentinya mereka berkontroversial bahkan menimbulkan konflik antar satu golongan dengan golongan yang lain. Bagaikan tukang adu domba.
3. Fungsi buzzer dialihkan menjadi pengelola fenomena hoax, ujaran kebencian, fitnah, dan kampanye pesan-pesan negatif
Baru-baru ini ada beberapa buzzer yang berulah. Pengiat media sosial Eko Kuntadhi yang dikenal kelakuannya sama seperti Abu Janda yang merupakan seorang buzzer, menggugah 'cuitan' hinaan di twitter dalam menanggapi cuplikan video singkat yang berisi ceramah Ning Imaz, istri Gus Rifqil dari Ponpes Lirboyo. Eko dan 'kronconya' menyebut Ning Imaz tolol disertai fitnah. Eko yang terkenal dengan hobinya yang menghina Islam menjadi bulan-bulanan warganet. Setelah mendapati berbagai ancaman tiba-tiba dia menghapus postingan tersebut lalu meminta maaf.
Masalahanya bukan pada hinaan Eko terhadap Ustadzah Ning Imaz. Akan tetapi, Eko dan kawan-kawan mengemas hinaan tersebut dengan menjelek-jelekan ajaran agama Islam. Buzzer yang semacam ini bertidak sekali dua kali membuat masalah. Mereka terus mencari-cari kesalahan yang ada pada kaum muslimin dan syariat Islam.
Fenomena penistaan agama sudah tak asing lagi dilakukan para buzzer. Mereka berdalih seakan apa yang disuarakan adalah kebebasan berpendapat dan mengatai umat Islam yang terlalu tersinggung. Padahal ada batasan dalam mengutarakan pendapat jika negeri ini adalah negeri yang menjunjung tinggi rasa toleransi.
Kasus yang serupa selalu terjadi dengan pola yang sama meski kontennya berbeda. Namun sayangnya, masih ada masyarakat yang apatis bahkan penegak hukumnya sendiri seakan tidak bertindak tegas.
Alasan-alasan inilah menjadi dorongan kuat mengapa masyarakat membenci para buzzer dan mendukung gerakan penghapusan entitas mereka selamanya. Sebab, bukan hanya satu golongan yang dicekoki tetapi mereka seakan berskenario memecah belah persatuan bangsa.