KAU datang cepat tak lama menghubungiku. Purnama pun membiaskan bayanganmu ketika berdiri di depan gerbang rumahku. Senyum persahabatan dalam keterpaksaan karena sekelumit masalah.Yaitu hanya tentang cinta.
Meski sekelumit, tetap saja bak lautan karena soal cinta. Aku tahu, namun kubiarkan kau membuka persoalanmu. Aku hanya bisa mendengar, memberi saran. Sesekali tertawa mencoba menghibur. Hanya itu yang bisa kulakukan sebagai seorang sahabat.
"Haruskah aku menyerah teman?" tanyamu padaku. Aku hanya menggelengkan kepala. Lalu kubertanya tentang sebab kemunculan pertanyaanmu itu.
"Dia belum dapat menerimaku. Padahal aku begitu mencintainya. Bahkan apapun aku akan siap melakukan untuknya," jawabmu padaku.
"Oh teman.... mengertilah, begitulah tingkah seorang perempuan. Mereka selalu saja dalam ketakutan," kataku padamu.
"Maksudmu?" kau bertanya lagi. Purnama telah berada tepat di atas kita kala itu. Bintang-bintang semakin berserakan. Malam menyajikan dingin menembus kulit. Kau masih saja dalam kegalauan. Kemudian pertanyaanmu terputus lantaran kau menumpahkan sajian kopi dariku. Aku mengambil tisu membersihkan kopi yang membasahi sofa.
"Maksudku, perempuan akan takut, sesaat telah menerima sebuah cinta tak mendapatkan lagi perhatian seperti saat kau masih mengejar cintanya," kataku meneruskan pembicaraan. Aku menjelaskan kepadamu, bahwa lelaki identik dengan perubahan sikap. Saat masih mengejar cinta, perhatian kita sangat mendalam, namun saat kita mendapatkan cinta perempuan itu, kita merasa puas sampai disitu. Perhatian kitapun mulai berkurang. Karena telah kita dapatkan cintanya.
"Itulah yang kerap membuat perempuan menggantung perasaan kita -Ki-," ucapku.
"Lalu, harus bagaimana aku dengan Viana?" tanyamu lagi menggebu.
"Buktikan kalau cintamu padanya tak akan pudar. Hingga suatu  ketika, takdir yang akan memutuskan tentang hubungan kalian?" jawabku lagi.
"Rasaku Viana telah menutup hatinya untukku teman," kau mulai pesimis.