PUSTAKA kampus seperti biasa sunyi. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Pian kerap duduk di meja membaca gadgetnya bertebaran. Dua hape, satu tablet, laptop satu pensil dan binder ‘Campus’. Tak seperti biasa dia mengetik, kini ia hanya memegang android. Ntah apa yang dilihatnya jempol kanannya hanya turun naik memainkan layar sentuh.
Sebotol minuman kemasan bolak balik ditenggaknya. Wajahnya suram, sejak kemarin tingkahnya seperti itu. Serasa gelisah akan sebuah kegagalan. Memang kemarin ada emosi yang meluap didirnya bertepatan dengan matinya laptop yang tak disambungkannya dengan pengisian daya.
Sofian Adi Atmaja nama lengkapnya. Anak Jurusan Politik di Fisip Universitas Sumatera Utara -USU-. Dia seorang penulis sastra, banyak sudah puisi dan cerpennya dimuat di surat kabar harian lokal. Namanya tak asing di telinga para dosen. Meski begitu nilai akademiknya sangatlah tidak memuaskan. Sudah tahun keenam dia di kampus itu, gelar tak kunjung didapatnya.
“Greubak,” suara pukulan meja terdengar, ulah Pian melampiaskan amarahnya. Semua mata tertuju padanya. Seluruh pengguna pustaka bertanya-tanya. Ada apa dengan Pian. Pian masih saja kesal sebait puisinya hilang kemarin lantaran kecerobohannya yang tak menyambungkan pengisian daya laptopnya.
“Kenapa kau Pian,” Pustakawan lulusan kampus tersebut yang sudah akrab dengannya menghampirinya.
“Stresnya aku bang, tulisan semalam hilang, tak lagi aku ingat,” keluh Pian.
“Yang banyaknya tulisan kau hilang,” kata Pustakawan yang bernama Rasyid dipanggil Bang Acid akrabnya.
“Satu baitnya bang, puisi yang kutulis,” jawab Pian.
Ada tujuh orang yang mendengarkan dialog Pian dan Bang Acid serentak terkekeh lantaran satu bait puisi yang hilang, namun seolah dibesarkan oleh Pian. “Bah yang satu baitnya tulisan kau hilang,ku kira dua Bab buat skripsi kau. Udahlah pulanglah kau, jalan-jalan rehatkan fikiranmu. Besok muncul lagi bait yang hilang itu,” Bang Acid coba menenangkan Pian.
Pian pun menuruti saran Bang acid. Menggunakan motor bebeknya dia kembali ke kosnya yang tak jauh dari Kampus USU. Sore itu dilelapkan dirinya, tak lagi memikirkan soal bait-bait, namun sebelum tidur Laptopnya tetap dibukanya yang terpajang Puisinya yang prematur.
*****
Gadis Sastraku
Memandangmu jantungku berdegup bagaikan sajak AB-AB
Wajahmu teduh, seteduh untaian kata-kata Hamka
Hidupku yang biasa gelap kini terbitlah terang
Benderangnya wajahmu
Menusuk Jantung
Bicara cinta
Biasa aku tergelitik
Seperti mendengar pantun Melayu