Mohon tunggu...
Fingga Martin
Fingga Martin Mohon Tunggu... Penulis - Penyair Jalan

CP: fingga.martin86@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jeruji Suci (Chapter 1)

7 Juni 2019   14:59 Diperbarui: 7 Juni 2019   15:07 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Uneventful.me

            "Sudahlah, nak. Benar apa yang dikatakan bapak barusan. Kamu akan lebih baik tinggal di pesantren. Karena selain pimpinan pesantrennya kenal dekat dengan kami berdua, kamu juga akan terhindar dari pengejaran intel." Bu Lilis ikut latah merayu-rayu pemuda tersebut.

            Pak Sumardi adalah seorang petani di kebun jagung. Sudah belasan Tahun ia mendedikasikan paruh tenaganya sebagai petani, bersama istri tercinta, ibu Lilis. Tinggal di satu tempat yang jauh akan kebisingan suara knalpot motor dan mobil. Bahkan istananya terlalu megah jika dibandingkan dengan rumah-rumah milik Pegawai Negeri Sipil. Meskipun setiap dinding istananya hanya menggunakan bilik-bilik yang terbuat dari bambu.

            Selepas mereka berdua ditinggalkan lebih dulu oleh anak tunggalnya---tiga Tahun silam---karena pengaruh dzat yang terkandung di dalam sabu-sabu. Sehingga nyawa anaknya itu tak bisa lagi ditolong. Seketika itulah mimpi bu Lilis dan pak Sumardi ikut terkubur. Bagi mereka, kehilangan satu ladang kebun jagung pun tidak akan pernah setimpal dengan nyawa anaknya, bernama Falah. Dan seandainya ia masih hidup hari ini, mungkin ia sudah menjadi seorang Tentara. Seperti yang dicita-citakan pak Sumardi. Atau mungkin menjadi seorang kiyai. Sesuai nasihat-nasihat bu Lilis, sewaktu Falah masih seumuran dengan pemuda dekil tersebut.

            Oleh sebabnya, mereka berdua seolah-olah mendapati bahan tempaan mutiara baru, ketika melihat pemuda itu mengendap bersembunyi ke dalam istananya. Hingga sempat-sempatnya menyuruh ia masuk ke dalam kamar mandi. Kemudian berbohong pada seseorang yang sedang mencarinya.

            Namun pak Sumardi mesti bersungguh-sungguh jika ingin menjadikan mutiara itu terlihat bening, mengkilap, sehingga banyak diburu setiap orang karena hasil tempaannya. Tidak seperti sekarang. Pemuda itu sungguh terlihat kumuh, dekil, bahkan sedikit tercium bau busuk dari celana abu-abunya yang dilumuri bercak hitam (bekas nyemplung di comberan).

            "Jadi, sebenarnya, kamu ini siapa, nak?" Tanya bu Lilis, penuh selidik---menjelajahi sekujur tubuh pemuda tersebut. Sementara pak Sumardi hanya sekelebatan melirik-lirik ke arah istrinya.

            "Orang-orang memanggil saya Oding, pak, bu." Sahutnya, lugas. Tapi kedua orang tua yang dianggap jompo oleh pemuda itu, pun terhenti menatapi bordilan---tanda nama pengenal yang terpampang di kemejanya, bertuliskan ''HASAN AL-KODIR".

            "Nah, kalau ini nama asli saya." Dengan cepat, Oding menjawab tatapan mereka.

Oding merasa keheranan atas perlakuan manusiawi yang baru saja ia temukan seumur hidupnya.

            "Seharusnya, seorang pelajar itu cukup belajar saja, nak. Tidak usah macam-macam menjual-belikan barang haram. Bagaimana jika nanti orang tuamu tahu?" Ujar pak Sumardi, seraya memberikan segelas air minum pada Oding.

            "Nama ini pemberian dari Ibu panti asuhan, pak." Jawab Oding, sesaat kemudian meneguk habis air minum yang disuguhkan untuknya. Alih-alih jawabannya itu membuat sepasang suami istri petani jagung ingin tahu lebih banyak tentang Oding.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun