Mohon tunggu...
findraw
findraw Mohon Tunggu... Administrasi - Indescripable

Indescripable

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa Harus Takut Membayar Pajak?

17 November 2015   16:26 Diperbarui: 17 November 2015   17:03 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Lima tahun telah berlalu sejak kasus Gayus Tambunan mengguncang kepercayaan rakyat kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Stigma DJP adalah sarang koruptor telanjur menghujam dalam benak masyarakat. Meski langkah perbaikan telah banyak dilakukan oleh DJP sejak saat itu, namun hingga saat ini masih tetap saja ada masyarakat yang gemar mengajukan Gayusgate sebagai dalih untuk menghindari kontribusi wajib itu.

Sebenarnya sudah banyak upaya yang telah dilakukan, baik oleh DJP sendiri maupun yang diusung oleh sekelompok simpatisan, bahwa untuk saat ini peran iuran pajak masih amatlah penting.

"Jangan gampang men-generalisasi, lah. Dalam satu karung jeruk manis, tentulah ditemukan beberapa jeruk yang masam rasanya. Begitu juga dengan DJP; dari lebih dari 30 ribu pegawainya, tentulah ada saja beberapa pegawai yang perilakunya mengecewakan. Tapi bagaimana pun juga jumlah pegawai yang berintegritas baik masih jauh lebih banyak. Maka jangan berputus asa dengan perbaikan yang dilakukan di tubuh DJP. Kalau perlu, bantulah mereka agar dapat terus memperbaiki diri serta meningkatkan integritasnya. Karena, bagaimanapun juga, dari institusi inilah kehormatan dan kelangsungan pembangunan negeri ini dapat dipertahankan."

"Masa kita akan terus membiarkan diri kita terjerat hutang? Diakui atau tidak, hutang menciptakan kesenjangan martabat antara kreditur dengan debitur. Jika kita terus menambah hutang agar bisa memenuhi kebutuhan, maka dimana harga diri kita di hadapan para renternir itu? Ingatlah bahwa atas hutang yang kita gunakan saat ini maka anak-cucu kitalah yang nanti akan diuber-uber pelunasannya. Jika kemudian generasi penerus itu meniru para pendahulunya dengan menggali hutang-hutang baru, maka dimana tanggung-jawab kita sebagai orang tua yang seharusnya meninggalkan keturunannya sebagai penerus yang tangguh dan merdeka?"

Namun sudah hukum alam bahwa di dalam setiap himpunan yang baik akan selalu ditemukan beberapa bibit yang buruk. Bagi pihak yang memang sudah berniat untuk berkelit dari pajak, selalu saja ada alibi yang mereka ajukan untuk menghindarinya. Ada diantara orang-orang itu adalah oknum yang mengatakan bahwa mereka lebih memilih membayar zakat daripada membayar pajak, karena mereka menganut pendapat bahwa pajak itu sejatinya dihukumi haram. Namun sebagaimana dengan yang namanya alibi, seringkali ketika kemudian orang-orang ini diminta mengeluarkan zakatnya, mereka tetap mengelak dengan dalih akan mendistribusikannya sendiri. Alasannya, karena zakat itu termasuk ranah pribadi. Atau yang lebih parah lagi, mereka mengatakan bahwa mereka belum wajib mengeluarkan zakat karena masih terlilit hutang. Padahal ketika dirunut, hutang yang dibikinnya sendiri itu sebenarnya masih bersifat konsumtif juga. Hadeuhh..

Maka untuk orang-orang yang selalu berupaya berkelit ini, seandainya negeri ini ibaratnya adalah sebuah kapal yang tengah berlayar, mereka bisa diumpamakan sebagai penumpang yang tidak mau membayar tiket perjalanannya. Mereka tanpa sungkan ikut menikmati fasilitas yang disediakan, bahkan kerap berkeluh-kesah serta mencaci-maki keboborokan kapal yang mereka tumpangi itu namun kekeuh menolak ketika diminta ikut menanggung biaya perbaikan dan pemeliharaannya. Mereka memang orang-orang yang kreatif menciptakan dalih.

Sudahlah, berhentilah mengatakan bahwa negeri kita adalah negeri yang yang kaya. Yang jika kita mengelolanya dengan benar maka kita pasti tidak butuh hutang, atau pajak lagi. Betul. Setuju. 100% benar. Itulah yang terjadi jika kita terus menggaungkan solusi-solusi normatif untuk mewacanakan kesejahteraan bagi negeri ini. Namun untuk membumikan wacana tersebut, dibutuhkan modal (tenaga, waktu, energi, dan dana) yang bukan hanya tidak sedikit, tapi juga simultan (bebarengan). Maka legowolah mengakui bahwa kita bukan negeri kaya. Memang kita adalah negeri yang indah dan penuh potensi. Tapi ingat, semua potensi itu masih sebatas gembar-gembor saja. Dan terus akan tetap sia-sia saja jika kita tidak mampu mendulang dan memanfaatkannya. Maka untuk memampukan diri, kita perlu banyak belajar dan berlatih untuk meningkatkan ilmu dan kapasitas diri. Diperlukan kesadaran dari setiap penduduk negeri ini untuk rela berkorban apapun yang bisa diberikan untuk mengupayakan kembalinya kehormatan diri yang tengah tergadai.

Sebagai negeri yang penuh potensi, kita telah memiliki waktu, tenaga, dan energi yang dibutuhkan. Kita pun yakin bahwa sebenarnya ada swadana teramat besar yang kita miliki untuk dapat menebus kembali kehormatan itu. Namun sayangnya, masih banyak yang berupaya menahan tangannya ketika kemudian tiba-tiba harus berurusan dengan pengorbanan yang berbentuk iuran. Banyak yang menggelembungkan asetnya ketika berhubungan dengan bank dan investor, namun tidak sungkan-sungkan memiskinkan dirinya sendiri ketika kemudian berhadapan dengan pajak (atau bahkan zakat sekalipun).

Untuk orang-orang yang telah membuta-tulikan mata dan telinganya sendiri, maka hanya Tuhan Yang Maha Berkehendak yang mampu mengubah mereka. Sedangkan untuk orang-orang baik yang menahan iurannya karena masih meragukan kredibilitas pemerintah dalam menggunakan uang mereka, saya hanya bisa berpesan kepada mereka untuk tidak meragukan keadilan Sang Maha Adil.

Jika anda yakin bahwa harta yang anda usahakan adalah harta yang baik, lalu anda dengan ikhlas membayar pajaknya serta tidak mengharapkan imbalan apapun selain dari-Nya, maka yakinlah bahwa pahala akan senantiasa mengalir dari jalan-jalan, sekolah-sekolah, rumah sakit, juga dari semua lapisan masyarakat yang menerima beasiswa dan subsidi pemerintah, demikian pula dari semua bidang yang pembangunannya tersentuh oleh pajak. Yakinlah bahwa Tuhan akan menyalurkan harta-harta baik itu kepada hal-hal yang baik pula, demikian juga sebaliknya. Yakinlah, Dia Yang Mahaadil tidak akan mensia-siakan setiap pengorbanan, sekecil apa pun itu. Di tangan-Nya, pajak yang anda berikan pasti akan tepat sasaran.

Lantas bagaimana dengan aksi para koruptor yang masih marak beroperasi di negeri ini? Anda tidak perlu risau, Dia Yang Mahaadil sudah menyiapkan jalannya. Anda tentu telah mengetahui bahwa tidak semua uang yang masuk ke kas negara berasal dari usaha yang baik. Akan selalu ada pihak-pihak yang mendapatkan harta melalui cara-cara yang kurang/tidak terpuji. Maka uang pajak yang dibayarkan dari harta kurang/tidak terpuji itu akan bertindak selaku tameng bagi uang-uang baik agar tidak dimangsa oleh tikus-tikus rakus itu. Karena bagaimanapun juga, Sang Mahaadil tidak akan membiarkan para koruptor busuk itu menimbun keberkahan dalam harta mereka; harta mereka akan senantiasa kotor bahkan sejak sebelum mereka menyentuhnya.

Wah rugi dong sudah capek-capek bayar pajak uangnya tetep dikorupsi juga. Well, dari kacamata orang-orang itu memang demikianlah adanya, tapi sebenarnya semua itu wajar saja. Dalam kasus keuntungan yang didapat dari usaha yang tidak halal sebenarnya kewajiban membayar pajak bahkan lebih super duper lagi hukumnya. Karena bagaimanapun juga, sejatinya usaha-usaha yang tidak diridhloi oleh Sang Maha Pencipta pastilah memiliki sifat yang merusak. Bukan hanya merusak alam dan lingkungan saja, bahkan lebih jauh lagi usaha-usaha haram tersebut berdampak pula pada kerusakan mental, moral, ataupun karakter penduduk dan generasi muda negeri ini.

Dan jika kita mau merenungkan fenomena yang saat ini terjadi, masifnya tingkat korupsi di negeri ini berbanding lurus dengan banyaknya jumlah kegiatan usaha nggak bener yang direstui atau dibiarkan keberadaannya. Bahkan jika kita mau jujur, sejatinya keberadaan para koruptor itu adalah ekses dari masifnya jumlah kegiatan usaha nggak bener yang direstui atau dibiarkan keberadaannya. Maka dari itu, makin super-duper wajiblah iuran dari usaha sektor 'ini' sebagai kompensasi rasa bersalah atas kerusakan yang telah ikut mereka timbulkan (soal dosa, itu urusan yang bersangkutan dengan Tuhan).

Sederhananya, jika memang uang pajak hasil dari dana buruk itu tidak bakal mampu membangun negeri ini, maka berkontribusilah untuk 'melindungi' dana pembangunan yang sesungguhnya. Sekarang setidaknya anda akan bisa menjawab ketika mendapati ada proyek pembuatan plengsengan sungai yang baru juga diresmikan bulan kemarin sekarang sudah ambrol lagi. Yup, itu karena kemungkinan besar ada dana busuk yang nyantol di situ.

Maka jika anda peduli kepada negeri ini, jika anda ingin negeri ini menjadi lebih baik, juga jika anda adalah penumpang yang bermartabat dan bertanggung jawab, maka bantuanlah negeri ini. Dengan cara apa pun yang baik. Setidaknya bisa dimulai dengan membenahi jenis usaha yang kita kerjakan. Juga dengan cara jujur membayar pajak sesuai ketentuan. Serta jangan lupa zakatnya sekalian, ya!

Jadi jika anda adalah orang meyakini Kemahaadilan Tuhan Yang Mahakuasa, kenapa harus takut membayar pajak?

NamBah:
Bahkan jika anda bersedia, akan lebih baik jika dalam doa anda menitipkan harapan agar bisa banyak-banyak membayar pajak. Mengapa? Tentu saja karena makin besar pajak yang ada bayarkan, itu berarti harta/keuntungan yang anda peroleh pasti jauh lebih besar dari pajak yang anda bayarkan. Betul?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun