Pada masa Malik bin Dinar, hiduplah dua orang majusi penyembah api. Yang satu berusia 73 tahun, yang satunya 35 tahun.
"Kemari !" panggil yang muda kepada yang tua. "Apa kah api ini akan menolong kita ataukah membakar kita sebagai mana ia membakar orang-orang yang tidak menyembahnya. Jika tidak membakar kita, ayo kita terus menyembahnya. Tetapi jika membakar kita, maka buat apa kita memujanya ?"
"Ya," jawab yang lebih tua. Mereka lalu menyalakan api.
"Aku apa kamu yang menaruh tangan?" tanya yang muda. "Kamu saja," jawab yang tua.
Ia lalu menaruh tangannya di atas api. Jari jemarinya terbakar.
"Au, jeritnya. Cepat-cepat ia menarik tangannya. "Tigapuluh lima tahun kau kusembah, masih juga kau menyakitiku," gerutunya. "Ayo kita cari saja Tuhan Yang Maha Esa, yang apabila kita berdosa dan meninggalkan perintahnya selama 500 tahun, misalnya, la mau mengampuni dan memaaf kan hanya dengan taat satu jam dan hanya dengan satu kali minta maaf," ajak yang muda.
Yang tua menurut saja. Katanya, "Baiklah. Kita cari orang yang bisa membimbing kita ke jalan yang lurus, yang me ngajarkan kita kepada agama Islam yang menyelamatkan."
Mereka sepakat menemui Malik bin Dinar di Basrah. Mereka segera berangkat ke Basrah. Mereka menemukan Malik tengah berkumpul bersama masyarakat memberikan bim bingan untuk mereka.
Melihat hal itu, yang tua berkata, "Tak usahlah aku masuk Islam. Aku sudah kelewat tua. Umurku habis untuk menyembah api. Kalaupun aku masuk Islam, agama yang dibawa
oleh Muhammad itu, tentulah keluarga dan tetanggaku akan mencaciku. Neraka lebih kusuka daripada cacian mereka."
"Jangan lakukan itu." cegah yang muda. "Cacian bisa berhenti tetapi neraka itu abadi," nasehatnya.