Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Membaca Kebudayaan Di Sekitar Kita

5 Juni 2016   23:15 Diperbarui: 5 Juni 2016   23:41 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di zaman sekarang ini tidak akan mungkin suatu kebudayaan berkembang sendiri tanpa bersinggungan dengan kebudayaan lain. Kita memang harus mengakui bahwa kebudayaan yang kuat cenderung mempengaruhi kebudayaan yang lemah. Jika pendukung kebudayaan yang lemah itu bersikap pasif, tentu ada kemungkinan ia hanya mendapatkan yang diberikan sekedarnya saja. Jika ia bersikap aktif, ia bisa memilih segala sesuatu yang terkandung dalam kebudayaan lain, yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya dan memperkuat diri sendiri.

Berbicara mengenai pengaruh kebudayaan, masalah yang sering kita anggap mendesak adalah ancaman kebudayaan asing. Sebelum melangkah jauh sebaiknya kita merunutkan dulu tentang kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan di mana pun, hanya bisa hidup dan berkembang wajar apabila mengalami benturan, pergeseran, dan perubahaan. Seorang budayawan berpengaruh pada abad ke- 20, Raymond Williams, membedakan tiga cara berpikir tentang kebudayaan. 


Pertama
, cara berpikir “ideal” yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keadaan atau proses yang menyempurnakan manusia, berdasarkan nilai- nilai yang mutlak dan universal. Nilai- nilai itu ditentukan oleh suatu lapisan tipis dalam masyarakat yang disebut kaum elit. Kedua, cara berpikir “rekaman dokumenter” yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah teks serta segala pelaksanaan kebudayaan yang terekam. Ketiga, definisi “sosial”, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah penggambaran mengenai cara hidup tertentu, yang mengungkapkan makna dan nilai- nilai tertentu yang tidak hanya terekam dalam hasil kesenian dan perenungan manusia tetapi juga dalam berbagai lembaga dan tindak- tanduk sehari- hari. 

Kita lihat cara berpikir ketiga, yang dalam uraiannya secara otomatis memasukan juga dua cara berpikir yang lain. Segala sesuatu yang sudah disebut itu jelas akan senantiasa mengalami perubahan, tidak terpisah dari kegiatan pergaulan masyarakat dengan masyarakat lain di sekitarnya. 


Kebudayaan Daerah

Selama pendukungnya masih ada dan selama pendukungannya masih meyakini pentingnya ciri- ciri khas dalam bentuk komunikasi, lembaga sosial, hubungan keluarga dan sebagainya, maka kita tidak usaha khawatir akan lenyapnya kebudayaan daerah. Hanya saja lebih- lebih dalam situasi seperti ini kita harus sepenuhnya menyadari bahwa kita tidak akan mampu lagi hidup terasing dan harus menerima kehadiran berbagai hal yang bertentang- tentangan dalam hal makna serta nilai- nilainya. Namun, kita semua telah membuktikan bahwa manusia telah memiliki kemampuan untuk menjadi pendukung lebih dari satu kebudayaan; manusia bisa bergerak dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain dengan bebas, seperti halnya dengan “mudah” kita beralih dari satu bahasa ke bahasa lain dalam kehidupan sehari- hari. 

Dalam suatu kesempatan, kita bisa menjadi “orang Sunda”, di kesempatan lain bisa menjadi “orang Indonesia”, dan di kesempatan lain lagi bisa dan kalau perlu menjadi “orang Barat”. Kemampuan semacam itu tampaknya semakin diperlukan, dan ternyata semakin banyak di antara kita yang memiliki serta bisa melaksanakannya dengan sangat baik. Kita tahu bahwa di zaman lampau, salah satu kebudayaan yang kuat yang pernah bersinggungan dengan kebudayaan kita dalah kebudayaan India dan bahkan sekarang kita sebenarnya tidak bisa membayangkan suatu kebudayaan Indonesia tanpa pengaruh India. Beberapa jenis aksara yang ada di Indonesia, seperti aksara- aksara Sunda, Jawa, dan Bali berasal dari India. Mitologi dan filsafah kita sebagian juga berasal dari Mahabrata dan Ramayana; demikian pula sastra klasik kita. Bahkan boleh dikatakan sebagian besar hasil sastra klasik di Jawa merupakan saduran belaka dari sastra yang berasal dari India. Ini tidak bisa dipisahkan dari pergaulan antarbangsa pada masa lampau, yang mencakup kegiatan ekonomi, perdagangan, pendidikan, kebudayaan, militer, dan keagamaan.

Indonesia Terbuka Bagi Kebudayaan Asing

Kesimpulan yang bisa kita ambil dari gambaran tersebut adalah bahwa bangsa kita ini ternyata senantiasa terbuka terhadap pengaruh asing dan sama sekali tidak menujukan sikap khawatir atau rendah diri menghadapinya. Bangsa kita bahkan sengaja mengambil anasir kebudayaan asing tersebut dan mengembangkannya sesuai dengan keperluannya sendiri. Kita sekarang tentunya tidak mengatakan bahwa bangsa kita telah kehilangan kebudayaannya, telah digusur dan dikuasai oleh kebudayaan asing. Kebudayaan mana pun di dunia ini mengalami hal yang serupa. Kita mengetahui bahwa kebudayaan- kebudayaan Korea dan Jepang bersumber pada kebudayaan Cina, tetapi sekarang kita dengan mudah bisa membedakan ketiga kebudayaan tersebut. Sastra serta aksara Jepang dan Korea klasik bersumber pada sastra dan aksara Cina, namun ketiganya sekarang masing- masing mengembangkan sastra modern yang mau tidak mau bersinggungan dengan sastra Barat.
Kebudayaan Massa

Sebenarnya, yang harus kita perhatikan di sini setiap kali berbicara mengenai penyelusupan atau pengaruh kebudayaan asing, kita berbicara mengenai apa yang disebut kebudayaan massa. Kebudayaan massa adalah istilah kita untuk mass culture, istilah Inggris yang konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Kebudayaan massa sebenarnya  merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan; istilah yang merupakan pasangan dari high culture, kebudayaan elit atau kebudayaan tinggi. Kebudayaan tinggi mengacu tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pikiran dan perasaan kaum yang menjatuhkan pilihan atas jenis kesenian dan produk simbolik tersebut.

Mass atau Masse mengacu kepada masyarakat Eropa yang tak terpelajar dan nonaristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Jadi, jika kebudayaan elit dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya” , maka kebudayaan massa dianggap milik mayoritas masyarakat yang uncultured atau unlettered “tak berbudaya”, ini jelas mengandung ejekan dan sikap merendahkan.


Dalam khasanah kritik kebudayaan Barat, berbagai istilah yang nadanya merendahkan telah dipergunakan untuk menggambarkan hasil kebudayaan massa dan pendukungnnya. Dalam tulisan Dwight Macdonald, misalnya, disebutkan bahwa pendukung kebudayaan massa disebut adulttized children “anak yang didewasakan” dan infantile adults “orang dewasa yang kekanak- kanakan”. Alasannya adalah karena anak- anak zaman sekarang ini menonton segala jenis acara televisi yang sebenarnya sama sekali tidak disediakan untuk mereka, sementara orang- orang dewasa gemar membaca komik dan menonton film, terutama yang kartun, yang dimaksudkan untuk anak- anak. Dalam keadaan semacam itu, masyarakat mengalami perkembangan yang aneh: anak- anak menjadi sangat cepat dewasa, tetapi pada batas tertentu orang dewasa tidak lagi bisa berkembang cita rasanya.


Pada hakikatnya, yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang dalam kenyataannya tidak mungkin kita hindari. Dalam pembicaraan sehari- hari dan dalam berbagai seminar, umumnya kita menunjuk televisi sebagai penyebar utama kebudayaan massa itu; sesudahnya baru media cetak dan perangkat audio- visual lainnya. Herbert Gans, seorang pembela kebudayaan massa, menyebut empat hal utama yang menyebabkan kerisauan kita itu. Kita coba menafsirkannya dengan sesekali mengacu ke berbagai gagasan lain yang ada kaitannya.

Pertama, kita risau terhadap kebudayaan massa sebab ia diproduksi secara besar- besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka. Pencipta kebudayaan populer hanya mencari keuntungan dari khalayak tanpa mempertimbangkan dampak baik buruknya terhadap konsumen. Hasil kebudayaan massa diciptakan sebagai komoditi yang berorientasi kepada produsen dalam hal laba dan bersandar pada konsumen dalam soal cita rasa.

Kedua, kebudayaan massa itu merusak kebudayaan elit dengan cara meminjam dan mencuri atau memperalatnya. Bahkan boleh dikatakan menyedot potensi yang ada pada kebudayaan elit. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa konsumen hasil kebudayaan massa adalah rakyat kecil yang tak berbudaya. Bagaimanapun mereka ini ingin tampak berbudaya; oleh karenanya diperlukan berbagai unsur kebudayaan elit untuk memberi sentuhan tertentu agar yang sifatnya massa itu akan menjadi istimewa. Sebagai contoh dibidang musik kita bisa mendengar potongan lagu Bethoven disulap menjadi lagu populer yang dengan mudah disebarluaskan.

Ketiga, kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak; ingat pengaruh sex, crime, and violence yang merupakan ciri kuat dalam kebudayaan massa. Karena orientasinya adalah cita rasa yang rendah, tema- tema yang dipilih oleh kebudayaan massa adalah tentu saja yang mudah dicerna tanpa banyak memerlukan renungan dan acuan.

Keempat, penyebarluasaan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotan atau mengurangi nilai kebudayaan (elit) itu sendiri, tetapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat cepat memberikan reaksi terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan sehingga membuat peluang bagi munculnya totaliterisme. Dalam kaitannya dengan ini muncul pula konsep mengenai the lonely crowd “kerumunan orang yang kesepian” serta massa yang mudah dibakar emosinya, baik untuk menuruti bujukan iklan atau hasutan penggerak massa atau agitator politik. Karena massa sudah biasa menerima “bimbingan” satu arah dari berbagai media, dengan mudah pula mereka itu digerakkan untuk melakukan sesuatu secara bersama- sama seperti berdemonstrasi, mogok, dan mengadakan perusakan meskipun sebenarnya masing- masing tidak saling mengenal.
Jika kita tidak memperhatikan secara seksama masalah yang kita hadapi yaitu kebudayaan massa tidak (lagi) hanya ditujukan bagi orang miskin dan kelas bawah, tetapi untuk “kita semua” artinya, kita harus khawatir ini akan menggilas semuanya dan menjadi satu- satunya “kebudayaan” yang menguasai semua bangsa di dunia ini. Kita sebaiknya menyadari bahwa selama ini berbagai jenis kebudayaan, termasuk yang massa dan elit, yang asing dan daerah, tetap ada di sekitar kita. Tentu saja kita boleh memilihnya kalau mau. Juga perlu disadari bahwa manusia bisa bergerak dari ke kebudayaan elit ke kebudayaan massa, bisa memilih Bethoven ke Koes Plus, boleh memilih golf atau sepakbola.


Bagaimana sikap kita kaum muda?

Dalam waktu lebih dari setengah abad ini, komunikasi menjadi sangat cepat dan canggih artinya kita tidak akan pernah lagi bisa “merenung” terlalu lama dalam menghadapi benturan, penyusupan, dan pengaruh kebudayaan lain. Pada hematnya kita tidak perlu khawatir terhadap kebudayaan mana pun. Pada zaman lampau, nenek moyang kita meminjam Gatotkaca dan menyulap tokoh dalam Mahabhrata itu menjadi idola kita; dan mengapa pula sekarang kita suka ragu- ragu menghadapi pengaruh Superman? Nenek moyang kita dulu menyerap begitu saja Sampek Ingtai dan Ali Baba, tentunya kita sekarang juga tidak usah ragu- ragu menghadapi fiksi dan film Barat. Tentu saja kita boleh bersikap negatif terhadap kebudayaan massa, tetapi kita harus mengakui bahwa kebudayaan daerah pun dapat kita kemas menjadi kebudayaan massa yang memiliki ciri- ciri yang sama dengan kebudayaan yang sejenis dari negeri mana pun. Dalam hal itulah nyatanya yang terjadi sekarang. Dalam keadaan semacam itu apakah kita akan mengembangkan kebudayaan elit saja, sedangkan kenyataannya dalam masyarakat telah tumbuh berbagai kebudayaan cita rasa?

Jika ingin mengembangkan kebudayaan yang disebut “Indonesia”, kita justru harus bersikap terbuka, yakni menganggap kebudayaan apapun bisa kita jadikan sumber untuk mengembangkannya. Dan kita harus berani menyatakan dan mengakui bahwa sama sekali tidak bisa mengetahui dan menjamin seperti apa ujudnya nanti. Kita bahkan harus berani membayangkan bahwa mungkin saja kebudayaan yang kita kembangkan itu ternyata tidak hanya satu, sesuai dengan ciri kebhinekannya. Hanya saja kita perlu untuk mengingat, kita tidak boleh pasif, yakni hanya menunggu dan menerima segala sesuatu yang ditawarkan kepada kita tanpa keinginan dan kekuatan untuk menentukan pilihan. Kita harus senantiasa aktif: merampas, mencari, merebut, dan kalau perlu mencuri apa saja dari kebudayaan lain yang kita yakini bisa bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan yang kita inginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun