Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Membaca Kebudayaan Di Sekitar Kita

5 Juni 2016   23:15 Diperbarui: 5 Juni 2016   23:41 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Pada hakikatnya, yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang dalam kenyataannya tidak mungkin kita hindari. Dalam pembicaraan sehari- hari dan dalam berbagai seminar, umumnya kita menunjuk televisi sebagai penyebar utama kebudayaan massa itu; sesudahnya baru media cetak dan perangkat audio- visual lainnya. Herbert Gans, seorang pembela kebudayaan massa, menyebut empat hal utama yang menyebabkan kerisauan kita itu. Kita coba menafsirkannya dengan sesekali mengacu ke berbagai gagasan lain yang ada kaitannya.

Pertama, kita risau terhadap kebudayaan massa sebab ia diproduksi secara besar- besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka. Pencipta kebudayaan populer hanya mencari keuntungan dari khalayak tanpa mempertimbangkan dampak baik buruknya terhadap konsumen. Hasil kebudayaan massa diciptakan sebagai komoditi yang berorientasi kepada produsen dalam hal laba dan bersandar pada konsumen dalam soal cita rasa.

Kedua, kebudayaan massa itu merusak kebudayaan elit dengan cara meminjam dan mencuri atau memperalatnya. Bahkan boleh dikatakan menyedot potensi yang ada pada kebudayaan elit. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa konsumen hasil kebudayaan massa adalah rakyat kecil yang tak berbudaya. Bagaimanapun mereka ini ingin tampak berbudaya; oleh karenanya diperlukan berbagai unsur kebudayaan elit untuk memberi sentuhan tertentu agar yang sifatnya massa itu akan menjadi istimewa. Sebagai contoh dibidang musik kita bisa mendengar potongan lagu Bethoven disulap menjadi lagu populer yang dengan mudah disebarluaskan.

Ketiga, kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak; ingat pengaruh sex, crime, and violence yang merupakan ciri kuat dalam kebudayaan massa. Karena orientasinya adalah cita rasa yang rendah, tema- tema yang dipilih oleh kebudayaan massa adalah tentu saja yang mudah dicerna tanpa banyak memerlukan renungan dan acuan.

Keempat, penyebarluasaan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotan atau mengurangi nilai kebudayaan (elit) itu sendiri, tetapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat cepat memberikan reaksi terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan sehingga membuat peluang bagi munculnya totaliterisme. Dalam kaitannya dengan ini muncul pula konsep mengenai the lonely crowd “kerumunan orang yang kesepian” serta massa yang mudah dibakar emosinya, baik untuk menuruti bujukan iklan atau hasutan penggerak massa atau agitator politik. Karena massa sudah biasa menerima “bimbingan” satu arah dari berbagai media, dengan mudah pula mereka itu digerakkan untuk melakukan sesuatu secara bersama- sama seperti berdemonstrasi, mogok, dan mengadakan perusakan meskipun sebenarnya masing- masing tidak saling mengenal.
Jika kita tidak memperhatikan secara seksama masalah yang kita hadapi yaitu kebudayaan massa tidak (lagi) hanya ditujukan bagi orang miskin dan kelas bawah, tetapi untuk “kita semua” artinya, kita harus khawatir ini akan menggilas semuanya dan menjadi satu- satunya “kebudayaan” yang menguasai semua bangsa di dunia ini. Kita sebaiknya menyadari bahwa selama ini berbagai jenis kebudayaan, termasuk yang massa dan elit, yang asing dan daerah, tetap ada di sekitar kita. Tentu saja kita boleh memilihnya kalau mau. Juga perlu disadari bahwa manusia bisa bergerak dari ke kebudayaan elit ke kebudayaan massa, bisa memilih Bethoven ke Koes Plus, boleh memilih golf atau sepakbola.


Bagaimana sikap kita kaum muda?

Dalam waktu lebih dari setengah abad ini, komunikasi menjadi sangat cepat dan canggih artinya kita tidak akan pernah lagi bisa “merenung” terlalu lama dalam menghadapi benturan, penyusupan, dan pengaruh kebudayaan lain. Pada hematnya kita tidak perlu khawatir terhadap kebudayaan mana pun. Pada zaman lampau, nenek moyang kita meminjam Gatotkaca dan menyulap tokoh dalam Mahabhrata itu menjadi idola kita; dan mengapa pula sekarang kita suka ragu- ragu menghadapi pengaruh Superman? Nenek moyang kita dulu menyerap begitu saja Sampek Ingtai dan Ali Baba, tentunya kita sekarang juga tidak usah ragu- ragu menghadapi fiksi dan film Barat. Tentu saja kita boleh bersikap negatif terhadap kebudayaan massa, tetapi kita harus mengakui bahwa kebudayaan daerah pun dapat kita kemas menjadi kebudayaan massa yang memiliki ciri- ciri yang sama dengan kebudayaan yang sejenis dari negeri mana pun. Dalam hal itulah nyatanya yang terjadi sekarang. Dalam keadaan semacam itu apakah kita akan mengembangkan kebudayaan elit saja, sedangkan kenyataannya dalam masyarakat telah tumbuh berbagai kebudayaan cita rasa?

Jika ingin mengembangkan kebudayaan yang disebut “Indonesia”, kita justru harus bersikap terbuka, yakni menganggap kebudayaan apapun bisa kita jadikan sumber untuk mengembangkannya. Dan kita harus berani menyatakan dan mengakui bahwa sama sekali tidak bisa mengetahui dan menjamin seperti apa ujudnya nanti. Kita bahkan harus berani membayangkan bahwa mungkin saja kebudayaan yang kita kembangkan itu ternyata tidak hanya satu, sesuai dengan ciri kebhinekannya. Hanya saja kita perlu untuk mengingat, kita tidak boleh pasif, yakni hanya menunggu dan menerima segala sesuatu yang ditawarkan kepada kita tanpa keinginan dan kekuatan untuk menentukan pilihan. Kita harus senantiasa aktif: merampas, mencari, merebut, dan kalau perlu mencuri apa saja dari kebudayaan lain yang kita yakini bisa bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan yang kita inginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun