Mohon tunggu...
fildzah zakirah
fildzah zakirah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi/UNIDA Gontor Kampus Mantingan

Suka menonton drama korea dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Peran PBB dalam Penanganan Kasus Genosida oleh Hutu terhadap Minoritas Tutsi di Rwanda

30 September 2022   18:29 Diperbarui: 30 September 2022   18:32 1946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada awal 1990-an, Rwanda adalah negara dengan 85% penduduknya berasal dari suku Hutu, sementara sisanya adalah Tutsi, Twa dan Pigmi. Setelah PD I, Rwanda menjadi perwalian Belgia dibawah mandate Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Selama Belgia berkuasa, mereka lebih menyukai suku minoritas Tutsi daripada Hutu. Hal ini memperburuk kecenderungan segelintir orang untuk menindas banyak orang, menciptakan ketegangan yang kemudian meledak menjadi kekerasan bahkan sebelum Rwanda memperoleh kemerdekaannya. Pada 1959, terjadi revolusi Hutu, yang memaksa sebanyak 330.000 orang Tutsi meninggalkan Rwanda dan populasi mereka pun semakin sedikit. Setelah referendum PBB, Belgia secara resmi memberikan kemerdekaan kepada Rwanda pada juli 1962.

Pada 1973, sebuah kelompok militer mengangkat Mayor Jenderal Juvenal Habyarimana, seorang Hutu moderat, untuk berkuasa. Ia terpilih menjabat hingga 4 periode dan mendirikan Partai Gerakan Revolusi Nasional untuk Pembangunan. Pada 1990, pasukan Front Patriotik Rwanda (RPF), yang sebagian dari pengungsi Tutsi, menyerbu Rwanda dari Uganda. Habyarimana menuduh warga Tutsi sebagai kaki tangan RPF dan menangkap ratusan dari mereka. Antara 1990-1993, pejabat pemerintahan mengarahkan pembantaian orang Tutsi, yang menewaskan ratusan orang. Pada 1992, sempat terjadi gencatan senjata dan dilakukan negosiasi antara pemerintah RPF. Namun, keadaan Kembali memanas setelah Habyarimana menandatangani kesepakatan di Arusha, Tanzania pada Agustus 1993, yang menyerukan pembentukan pemerintahan transisi yang mencakup RPF. Perjanjian pembagian kekuasaan ini membuat marah para ekstrimis Hutu, yang menjadi pemicu terjadinya genosida di Rwanda.

Awal Oktober 1990 pun sudah ada pembantaian terhadap Tutsi. Meskipun kedua kelompok etnis itu sangat mirip dalam berbagi bahasa dan budaya yang sama selama berabad-abad, undang-undang mengharuskan pendaftaran berdasarkan etnis. Pemerintah dan tentara Rwanda mulai mengumpulkan Interahamwe (yang berarti mereka yang menyerang bersama) dan bersiap untuk melenyapkan Tutsi dengan mempersenjatai Hutu dengan senjata dan parang. Pada Januari 1994, pasukan penjaga perdamaian PBB di Rwanda memperingatkan bahwa pembantaian besar akan segera terjadi. Pada 6 April 1994, Habyarimana dan rekannya, Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira, tewas setelah pesawat yang mereka tumpangi ditembak jatuh di Kigali. Tidak diketahui siapa dalang tragedi tersebut. Beberapa menyalahkan ekstremis Hutu, sementara lainnya menuduh para pemimpin RPF.

Disinyalir, peristiwa penembakan ini merupakan bentuk protes terhadap rencana Habyarimana, yang hendak menyatukan etnis Hutu dan Tutsi. Kejadian ini kemudian dijadikan dalih oleh suku Hutu untuk menyerang etnis Tutsi. Beberapa jam setelah tragedi itu, Pengawal Kepresidenan bersama anggota angkatan bersenjata Rwanda (FAR) dan kelompok milisi Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe dan Impuzamugambi, mulai membantai Tutsi dan Hutu moderat. Theoneste Bagosora, yang saat itu merupakan tokoh senior di Kementerian Pertahanan Rwanda, mendesak rakyat untuk menyingkirkan Tutsi. Suku Hutu juga mendirikan stasiun radio serta menerbitkan koran-koran untuk menyuarakan propaganda kebencian mereka terhadap suku Tutsi. Nama-nama orang Tutsi yang akan disingkirkan dibacakan melalui stasiun radio yang sudah didirikan. Dalam beberapa jam, seluruh tempat di Rwanda berhasil diblokade. Di antara korban pertama Genosida Rwanda adalah Perdana Menteri Hutu moderat Agathe Uwilingiyimana dan 10 penjaga perdamaian Belgia.

Genosida adalah salah satu bentuk kejahatan yang direncanakan dengan sengaja secara sistematis dan terstruktur untuk memusnahkan suatu bangsa atau ras tertentu. Kejahatan kemanusiaan ini menciptakan kekosongan politik. Setelah itu, pasukan penjaga perdamaian Belgia, pun ditarik dan PBB memerintahkan agar mereka hanya membela diri. Pembunuhan massal di Kigali dengan cepat menyebar ke seluruh Rwanda. Bahkan, para pejabat menghadiahi para pembunuh dengan makanan, minuman, obat-obatan, dan uang. Dalam waktu tiga bulan, ratusan ribu korban terus berjatuhan. Di saat yang sama, RPF juga melakukan perlawanan. Genosida Rwanda berakhir ketiga RPF berhasil menguasai Kigali pada awal Juli 1994.  Dalam 100 hari, sejak 6 April 1994, sebanyak 800.000, yang sebagian besar orang Tutsi, menjadi korban Genosida Rwanda.

Setelah kemenangannya menduduki Kigali, RPF membentuk pemerintahan koalisi seperti yang disepakati Habyarimana di Arusha pada 1993. Pasteur Bizimungu, seorang Hutu, dipilih sebagai presiden, dan Paul Kagame, seorang Tutsi, sebagai wakil presiden dan menteri pertahanan. Pada Oktober 1994, Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR), yang terletak di Tanzania dengan mandat untuk mengadili kejahatan genosida. Pada 1995, ICTR mulai mendakwa dan mengadili sejumlah orang berpangkat tinggi yang diduga terlibat dalam Genosida Rwanda. Prosesnya cukup sulit, karena keberadaan tersangka banyak yang tidak diketahui. Dalang Genosida Rwanda, Theoneste Bagosora, akhirnya ditangkap dua tahun kemudian setelah peristiwa ini. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh ICTR. Namun, tiga tahun setelahnya, hukuman Bagosora dikurangi menjadi 35 tahun penjara. Theoneste Bagosora dipenjara di Koulikoro Mali, bersama dengan para pelaku lainnya yang juga ikut terlibat dalam Genosida Rwanda. Namun, Theoneste Bagosora meninggal di penjara pada 26 September 2021, dalam usia 80 tahun.

Menurut konsep HAM, Hak asasi manusia merupakan suatu tanggungjawab yang telah diberikan dari negara berupa melindungi setiap hak asasi manusia dengan memprioritaskan kesamaan di depan hukum dan keadilan. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat supaya bisa mendapatkan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum. Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya. Pada kasus genosida suku Tutsi ini, dapat dianalisa bahwa pembunuhan massal yang direncanakan dengan sengaja ini tidak sesuai dengan konsep HAM. Pada Pasal 7 UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa kejahatan genosida merupakan kejahatan pelanggaran HAM yang berat karena tindakannya dilakukan dengan cara membunuh, yang menyebabkan penderitaan yang berat, kemusnahan, pemaksaan oleh kelompok-kelompok bahkan pemidahan anak-anak yang dilakukan secara paksa oleh kumpulan satu ke kumpulan yang lain. 

Level analisa pada kasus ini adalah negara karena pada kasus genosida Rwanda ini tidak hanya melibatkan aktor dalam negeri tetapi aktor-aktor non-pemerintahan pun bertindak. Model level analisa yang digunakan adalah induksionis yang mana unit eksplanasinya adalah kasus genosida oleh etnis Hutu terhadap Tutsi, sedangkan unit analisanya adalah peran PBB dalam penanganannya.

Dalam susunan pohon konflik, dapat kita ketahui bagaimana latar belakang dan sebab-akibat terjadinya kasus genosida oleh etnis Hutu terhadap Tutsi di Rwanda. 

POHON KONFLIK

AKAR ( PENYEBAB KONFLIK ) :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun