Mohon tunggu...
Achmad FikriN
Achmad FikriN Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswa FISIP Unibraw

ciao

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Sengketa Lahan Adat Tepa, Maluku Barat Daya

2 Desember 2021   16:19 Diperbarui: 2 Desember 2021   16:54 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : CNN Indonesia (16,11,2021)

; Empat Rumah Dibakar, Pemicu hingga Resolusi Konflik

Senin (15/11), dikutip dari CNN Indonesia, terjadi konflik dan bentrok antara warga dusun Nyabota dan warga dusun Imroing, Kabupaten Maluku Barat Daya. Insiden konflik tersebut diakari oleh perebutan lahan adat antara kedua warga dusun tersebut, "Kejadian bentrok tersebut bermula ketika warga dusun Nyabota Desa Upupun memasang pelarangan aktivitas pada salah satu kebun warga desa Imroing, warga Nyabota sempat merusak beberapa tanaman pada kebun milik warga dusun Imroing yang diduga menggunakan lahan milik warga dusun Nyabota" kata Kapolsek Tepa, Ipda Bonara. Kemudian pada pukul 11.00 WIT, sektor kepolisian Tepa, Maluku Barat mendapat informasi bahwa terjadi penyerangan massa warga dusun Imroing dengan membawa peralatan perang terpaksa dibubarkan oleh aparat kepolisian dan berhasil kembali ke kediaman masing-masing.

Pukul 15.00 WIT atau lima jam setelah insiden tersebut terdapat kumpulan massa dan penyerangan oleh warga dusun Imroing dengan jumlah 70 orang lengkap dengan persenjataan tombak dan parang. 4 buah rumah warga dusun Nyabota di kilometer 8 dibakar pada penyerangan tersebut dan kemudian pada malam harinya sekelompok warga dusun Imroing berniat untuk kembali melakukan penyerangan terhadap warga dusun Nyabota di kilometer 6 namun berhasil dihadang oleh aparat kepolisian dan TNI dengan persenjataan lengkap. Aparat mengevakuasi dan meminta warga Imroing untuk kembali ke rumah, penyerangan dilakukan oleh warga Imroing karena mengaku sangat kesal tanaman dan kebun mereka dihancurkan oleh warga dusun Nyabota. TNI-Polri mendirikan pos/tenda penjagaan untuk siaga jika akan kembali  terjadi penyerangan oleh warga Imroing dan mereka (TNI-Polri) berusaha melakukan pertemuan antar kedua tokoh warga desa Nyabota dan Imroing untuk melakukan mediasi dan mendapatkan kejelasan agar tercipta kedamaian.

Konflik antara warga desa Imroing dan Nyabota dipicu oleh terbitnya surat pemanfaatan lahan adat "bersengketa" setelah rapat koordinasi oleh Kepala Kecamatan Pulau Baba, Brusly Agoha. Sebidang tanah itu menjadi akar konflik dikarenakan warga desa Nyabota mengklaim bahwa tanah tersebut milik komunitas mereka sedangkan warga Imroing juga turut mengklaim bahwa tanah tersebut masuk kedalam territorial mereka (CNN Indonesia, Selasa, 16 November 2021)

Jika kita gambarkan melalui pohon konflik, konflik yang terjadi antara warga desa Imroing dan Nyabota seperti ini :

Jika dianalisis, pemicu konflik diantara warga Imroing dan Nyabota dapat menggunakan akar kekrasan. Tindakan kekerasan yang desktruktif / tindakan yang dapat merusak adalah tindakan yang berasal dari keinginan manusia itu sendiri sebagai bentuk insting untuk bertahan hidup (Erich Fromm, 1973). Itu dapat diperkuat dengan tindakan tindakan destruktif yang dilakukan warga dusun Nyabota dengan merusak tanaman dan kebun warga Imroing pada lahan sengketa tersebut. Begitu juga sebaliknya, warga dusun Imroing merasa tidak terima atas tindakan  warga Nyabota yang merusak tanaman dan kebun warga Imroing oleh warga Nyabota. Akhirnya penyerangan balik dilakukan agar warga Imroing tidak merasa terdiskriminasi, tindakan destruktif yang mereka (Imroing dan Nyabota) lakukan dalam konteks ini tentunya untuk bertahan hidup.

Kemudian kita analisis konflik ini menggunakan teori konflik kontemporer dalam mahzab positivis menurut Lewis Coser dan Bartos & Wehr (Otomar J. Bartos & Paul Wehr). Menurut Lewis Coser, gesekan yang terjadi antara warga Imroing dan Nyabota dapat terjadi karena konflik realistis. Hal itu karena konflik realistis terjadi karena adanya sebuah barang yang memiliki konkret / bersifat material seperti rumah, wilayah dan tanah / sumber ekonomi. Seperti yang kita lihat bahwa konflik yang terjadi di wilayah Tepa, Maluku Barat Daya dikarenakan perebutan sengketa lahan adat yang belum jelas. Konflik realistis memiliki peluang untuk dapat terselesaikannya konflik menggunakan resolusi konflik yang ada seperti kerjasama, perjanjian dan bentuk kesepakatan lainnya.

Barton & Wehr berpendapat bahwa pemicu konflik dikarenakan adanya perilaku / tindakan yang menjadikan konflik tersebut semakin menjadi-jadi. Pemicu konflik dibagi menjadi dua yaitu perilaku koersif dan non-koersif, tindaka koersif yang memicu konflik antara warga Nyabota dan Imroing adalah tindakan koersif. Tindakan koersif sendiri dibagi menjadi dua yaitu koersif nyata dan ancaman, koersif ancaman yaitu tindakan mengancam lawan dengan tujuan untuk menghentikan lawan dalam konflik sedangkan koersif nyata yaitu tindakan dalam bentuk nyata (melukai, merusak atau membunuh) dengan tujuan menghentikan aksi lawan dalam konflik yang terjadi. Yang menjadi pemicu dalam konflik ini adalah disebabkan oleh warga Nyabota yang merusak tanaman dan kebun milik warga Imroing, ini menunjukkan bahwa warga Nyabota ingin mengetahui respon warga Imroing atas rusaknya tanaman dan kebun karena ulah mereka (luka simbolis).

Untuk resolusi / penyelesaian konflik yang dapat digunakan untuk penyelesaian konflik antara warga Nyabota dan Imroing adalah dengan cara consensus /  negoisasi dan bertemu kedua belah pihak dengan perantara (mediasi) dengan tujuan untuk menghilangkan permasalahan yang ada diantara mereka. Resolusi adalah sebuah tindakan yang dapat mengurangi permasalahan dengan mengetahui sebab dari adanya konflik tersebut yang kemudian berusaha untuk menciptakan koneksi baru yang bertahan lama di antara pihak-pihak yang terlibat konflik (Fisher et all, 2001 : 7).

Jika diamati dari dinamika konflik yang terjadi, ini disebabkan oleh sengketa perebutan lahan adat yang belum jelas. Dengan datang bermediasi, muasyawarah dengan tetuah atau tokoh kedua belah pihak yaitu warga Nyabota dan Imroing dan merumuskan strategi yang tepat untuk pencapaian resolusi konflik perlu dilakukan. Selain itu, dibutuhkan kejelasan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang diyakini kebenarannya oleh warga sekitar serta mengakomodir kepentingan beberapa pendapat kedua belah pihak juga harus dilakukan untuk terciptanya kedamaian. Dalam hal ini, kepala Kecamatan yang menerbitkan surat perlu hadir untuk memperjelas alasan dikeluarkannya surat tersebut, jika consensus dilakukan dengan kooperatif oleh semua pihak maka dapat ditemukan akar permasalahan yang sebenarnya serta dapat membangun jalan keluar atau sisi terang kesepahaman antar kedua belah pihak dari konflik yang yang terjadi.

Oleh : Achmad Fikri N.
Mahasiwa Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun