Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi WTP, Mimpi Pemerintahan Bersih dan Kebanggaan Semu

30 Mei 2017   10:22 Diperbarui: 30 Mei 2017   10:51 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ironi WTP, Mimpi Pemerintahan Bersih dan Kebanggaan Semu 

By. Fikri Jamil Lubay

Pertama-tama perlu dijelaskan dulu bahwa tulisan ini bukan untuk menggugat siapa-siapa atau menyinggung pemerintahan siapa pun. Sekaligus ditujukan juga bukan kepada opini politik sehingga dipolitisasi menjadi acuan dalam membenarkan bahwa predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebagai hasil pemeriksaan BPK kompeten atau tidak. Tulisan ini tentu juga tidak dimaksudkan untuk menggiring opini pembaca agar pemerintah daerah/kementerian dan lembaga tidak perlu atau tidak harus mendapatkan opini WTP dari BPK. Namun tulisan ini lebih dimaksudkan kepada dua hal yang saling berkaitan yaitu sikap dan perilaku pemimpin atau aparat penyelenggara negara terhadap opini hasil audit BPK tersebut.

Opini hasil audit BPK sering kali menjadi rujukan kalau tidak mau dikatakan “Tuhan” bagi para pemimpin sebuah lembaga pemerintahan sekaligus instrumentasi pembenaran mengenai bersihnya sebuah pemerintahan atau lembaga yang dipimpinnya. Seringkali perdebatan bahwa pemerintahan yang bersih harus mendapatkan opini WTP dari BPK, sehingga tidak sedikit pemimpin lembaga tersebut terjebak dan memajangnya secara besar-besaran baik didinding kantor maupun dimedia baik cetak maupun elektronik.

Ucapan selamat meraih WTP terkadang juga menjadi kebanggaan tersendiri karena opini WTP tidak mudah untuk didapatkan. Tidak keliru juga bahwa para pejabat tersebut beranggapan bahwa opini WTP dari BPK adalah sebuah prestasi tersendiri dan bukan prestigesemata. Adalah hal yang wajar saja bagi para pemimpin tersebut untuk mendapatkan apresiasi yang lebih,  pun terkadang berlebihan dari berbagai pihak. Memang untuk mendapatkan WTP tidak jarang harus melalui banyak tahapan dan diperlukan kiat-kiat khusus serta kerja keras dalam penyajian sebuah pelaporan pemerintahan. Walaupun sejatinya WTP sesungguhnya adalah sebuah penyajian atas pelaporan keuangan yang memenuhi target dan unsur-unsur kelayakan sebuah pelaporan yang telah distandardisasi. Kalau tidak mau dibilang untuk meraih sebuah opini hasil audit WTP cukup  menyajikan secara administratif saja secara lengkap, benar dan menyeluruh,  namun belum perlu menyentuh kepada inti persoalan sebuah pemerintahan yang bersih.

Sampai dengan saat ini belum ada indikasi bahwa pemerintah atau sebuah lembaga pemerintah baik dipusat dan didaerah yang mendapatkan opini WTP sekaligus bisa dinyatakan sebagai pemerintahan yang dijalankannya adalah pemerintahan yang bersih (clean goverment). Faktanya  opini WTP itu saat ini baru sekedar memenuhi unsur-unsur pemerintahan yang baik saja (good governance).

Beberapa contoh terhadap fakta-fakta lapangan bisa menjadi pembelajaran yang baik  misalkan di Sumatera Selatan bagaimana seorang Bupati Musi Banyuasin (Bpk Fahri Azhari) bisa ditangkap oleh KPK, padahal Kabupaten MUBA merupakan daerah yang tiga tahun terakhir menjadi langganan WTP dari BPK (2014, 2015 dan 2016). Dan, Bagaimana pula seorang Bupati Yan Anton Ferdian (Banyuasin) bisa di Oprasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Padahal mereka pun adalah langganan opini WTP dari BPK  secara berturut-turut dari tahun 2012 – 2016 (Sumeks, 29 Mei 2017, hal. 11).

Dan terakhir tentu saja kasus yang membelit Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT)  yang menyeret sorang Inspektur Kemendes dan pejabat eselon I serta Auditor Senior BPK sendiri.

Bukankah logikanya adalah ketika suatu pemerintah daerah/kementerian/lembaga meraih opini WTP maka sudah seharusnya dan sepantasnya lah pemerintahannya diakui telah berjalan dengan baik dan sekaligus bersih ...?

Dengan demikian pertanyaan lanjutannya yang lebih dalam dari kami orang awam ini adalah “benarkah opini BPK itu bisa diperjual belikan...?”.

Ah... saya tentu tidak boleh menduga seperti itu. Nanti dugaan saya salah. Walaupun hampir seluruh media lokal maupun nasional, elektronik maupun cetak mengangkatnya sebagai headline termasuk oleh Sumatera Ekspres hari Senin (29 Mei 2017) dihalaman mukanya dengan judul “Usut Kolusi Auditor di Daerah”.  Namun dengan tertangkapnya auditor senior BPK bersama Pejabat Kemendes PDTT  itu tentu membuat rakyat kecil seperti kami ini sudah pasti  kecewa. Karena BPK sejatinya adalah salah satu tembok terakhir untuk mengawasi dan sekaligus mengaudit sebuah proses pembangunan yang dilaksanakan oleh para penyelenggara negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun