Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemerintah Seharusnya Melakukan Ini Terhadap Dana Haji

2 Agustus 2017   14:07 Diperbarui: 3 Agustus 2017   20:14 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo melantik Anggota Badan Pengelolaan Keuangan Haji di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (26/7/2017). Foto.kompas.com/ihsanuddin

Negeri ini saat ini hobi dengan kegundahan. Belum selesai kasus Novel Baswedan diungkap. Menyusul beras maknyusssss, kemudian berlanjut dengan naiknya harga garam. Terus pengungkapan besar-besaran kasus narkoba dari Tiongkok dan dikendalikan dari balik jeruji besi di kepulauan yang terkenal dengan keamanan kelas satunya Nusa Kambangan. Menyusul kemudian penangkapan besar-besaran terhadap 24 TKA LRT di Palembang dan pengungkapan kasus penipuan online oleh wargaTiongkok di Surabaya.

Menyusul kemudian kehebohan lain yang lebih menggemparkan umat Islam terutama di jagat maya, yaitu Wacana Presiden Jokowi yang ingin memanfaatkan dana abadi umat Islam yang berbentuk Setoran Haji (dana haji) untuk membiayai infrastruktur seperti jalan tol dan pelabuhan.

Dana yang sudah mengendap lama akibat keterbatasan kuota haji Indonesia dan keinginan kuat calon jemaah berangkat ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam yang dikemas dengan daftar tunggu (waiting list) bertahun-tahun sudah barang tentu menjadi gula bagi sebagian mereka yang ingin memanfaatkan duit tersebut untuk berbagai kebutuhan termasuk pembangunan infrastruktur.

Disadari sebetulnya sepintas tidak ada yang salah dengan wacana Bapak Presiden itu,  namun perlu dicatat bahwa keuntungannya harus kembali ke umat atau calon jemaah. Dengan demikian sudah barang tentu pula harus ada hitam-putihnya dulu antara umat yang memiliki uang dengan mereka (pemerintah) yang ingin memanfaatkan uang haji tersebut.

Tidak berlebihan pula bila rasa khawatir yang hinggap disanubari calon jemaah haji bahwa mereka yang telah menabung dengan berbagai macam cara untuk berhaji akan kehilangan manfaat dari duit mereka sendiri. Kekhwatiran ummat itu seperti : (1) Kemungkinan tertundanya atau bahkan batalnya keberangkatan mereka untuk berhaji; (2) Ketidakmampuan pemerintah mengelola dana haji alias kemungkinan collapssehingga dana jamaah tidak bisa dibayarkan; (3) Pembangunan yang tidak menyentuh kebutuhan umat (pemilik duit); (4) Azas kemanfaatan yang tidak merata; (5) Belum lagi mereka yang sangat fanatik dengan kemungkinan duit itu digunakan untuk pembangunan yang mubazir termasuk untuk infrastruktur.

Pengalaman umat yang sudah kronis (menahun) yang merasakan betul dengan perlakuan yang kurang/belum  adil dari pengambil kebijakan dan pelaksana pembangunan (ketimpangan) disisi yang lain juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Perasaan membiasakan abai (lalai) itu pula lah yang menyebabkan umat sulit  untuk percaya kepada mereka. Tentu perasaan ini tidak bisa juga salahkan. Akibatnya adalah diskursus dana abadi umat Islam (dana haji) ini selalu menjadi diskursus yang tidak bisa diselesaikan, berlarut-larut dan betul-betul menahun.  Dana haji yang sepertinya pasif tersimpan persis seperti dibawah "bantal dan kasur" baik di bank-bank konvensional maupun di perbankan syariah itu selama ini menjadi terkesan kurang bermanfaat baik untuk negara apalagi untuk umat.

Dana haji yang tersimpan tidak kurang dari 95,2 trilyun per tahun 2016 itu tentu membuat mata siapa saja terbelalak membiru atau menghijau. Menurut Anggito Abimanyu anggota BPKH "per audit 2016, dana haji baik setoran awal, nilai manfaat, dan dana abadi umat mencapai Rp 95,2 triliun" (Kompas.com, 26 Juli 2017). Dana haji tersebut akan menjadi 100 trilyun pada akhir 2017 nanti. Nah, dari besaran itu sebanyak 80% atau kurang lebih 80 trilyun, masih menurut Anggito bisa diinvestasikan.

Sejatinya adalah dana haji tersebut sangat mungkin digerakkan bila dari awal prosesnya dijelaskan dengan baik kepada umat atau calon jemaah. Sehingga ada persetujuan atas informasi (informed consent) yang telah didapatkan oleh calon jemaah dari pelaksana negara, terutama bagaimana proses penyimpanannya, kemanfaatannya dan lain sebagainya.  

Untuk itu, perlu digarisbawahi kalau memang harus menginvestasikan dana haji tersebut ada baiknya pemerintah atau dalam hal ini BPKH menginvestasikannya dengan cara-cara syariah sebagai pilihan utama investasinya dan investasinya harus ada kaitannya dengan jemaah haji. Hal ini untuk mendorong agar dana haji tersebut dapat memberikan kemanfaatan bagi calon jemaah itu sendiri. Bisa jadi para jemaah tersebut tidak perlu lagi melunasi sisa (selisih) ongkos naik haji karena laba (imbal jasa) yang mereka terima sudah mencukupi bahkan mungkin berlebih dari investasi yang mereka tanam bertahun-tahun melalui ongkos naik haji. Disamping itu persetujuan investasi dari para calon jemaah sebagai "pemegang saham" juga harus dilakukan terlebih dahulu.

Kegaduhan lain terkait dana haji sudah barang tentu tetap akan terjadi. Pro-kontra akan dana haji dan pengelolaanya tentu juga tidak bisa dihindari mungkin sampai kiamat nanti karena berhaji bagi umat Islam adalah kewajiban sebagai salah satu Rukun Islam kelima.

Menarik ditunggu di beranda lain apa yang akan  dilakukan selanjutnya oleh Pemerintahan Jokowi ini terhadap dana haji. Dan, menjadi menarik juga ditunggu mapping dana haji dan investasi seperti apa yang akan dibuat oleh BPKH yang nanti tentu akan disetujui atau pun ditolak  oleh Dewan Pengawas dan DPR RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun