Sebagai bagian insan perantauan, mendekati lebaran seperti ini adalah masa hati, fikiran dan dompet sedang berembug dengan hangat-hangatnya. Dalam hati setiap insan perantauan,tentu menginginkan mendengarkan kumandang takbir malam Idulfitri sudah di rumah. Atau mentok-mentok sedang perjalanan menuju kampung halaman. Fikiran sedang keras berfikir bagaimana mengatur strateginya. Sedangkan dompet, berserta isinya, adalah perwujudan nyata dari hati dan fikiran yang tidak nampak tadi.Â
Mempersiapkan mudik adalah hal yang bijak. Karena bagi perantau, meninggalkan kampung halaman, adalah pilihan untuk melanjutkan hidup. Kemudian kembali.Â
Di kota-kota besar mungkin sekarang 80% isi penduduknya adalah perantauan. Saya pernah menuliskan tentang para perantau ulung dari berbagai suku di Indonesia. Misalnya yang dari Madura, Sunda dan juga Minang. Ada juga yang dari Medan. Tujuannya sama. Berani melanjutkan hidup dan supaya kehidupannya lebih baik.Â
Kembali soal mudik. Setidaknya ada 2 hal yang harus disiapkan jauh-jauh hari. Jika memutuskan untuk mudik dan berlebaran di kampung halaman.Â
Pertama adalah mental. Apa yang ada di dalam benak kita tentang sosok perantau, adalah hal penting. Karena apa, gambaran kita tentang para perantau yang pulang adalah mereka yang pulang dalam keadaan berpunya. Meskipun semakin kesini, kita semakin paham, hanya berpunya dari segi tampilannya saja dan hanya selama durasi mudik. Selebihnya di tanah rantau juga pontang-panting tidak karuan.Â
Stigma di masyarakat sudah terbentuk. Bahwa jika si A merantau lalu menampakkan batang hidungnya menjelang lebaran, adalah si A bukan yang dulu. Si A yang sudah sukses. Itu stigmanya. Siapkah mental kita menghadapi hal itu? Akan ada perbandingan-perbandingan saat obrolan-obrolan bersama keluarga dan kawan semasa kecil di kampung. Sudah siapkah mental kita?
Tapi lain lagi pandangan orang tua kita. Ternyata, kepulangan kita bukan sebagai apa dan seberapa sukses di tanah rantau. Tetapi pulang sebagai seorang anak. Tapi ya keberhasilan juga. Tapi itu nomer dua. Bagi orang tua kita, adalah anaknya pulang dalam keadaan sehat dan utuh, adalah kelegaan hati tersendiri. Soal belum sukses, bisa usaha lebih giat lagi, sambil membawa bekal do'a dan restu orang tua.Â
Mental akan siap jika didukung dengan finansial. Maksud saya dalam hal ini adalah bagaimana kita mengatur finansial kita. Bukan dari segi banyaknya. Kalau hanya dari segi banyaknya, kapan mau pulang? Sedangkan di tanah rantau kita hanya kuli atau buruh biasa? Beda kalau kita punya usaha atau bisnis lho ya. Itupun bisa kolapss. . .
Mengatur finansial menjelang mudik akan menjadikan mental kita kuat. Sehingga saat mudik kita tidak perlu bersandiwara. Nanti malah hilang esensinya. Atau kita tidak dapat kenikmatan mudik. Malah pusing di kemudian hari. Atur moda transportasi yang sesuai budget untuk biaya pulang pergi. Bawa oleh-oleh seperlunya. Bergaya yang biasa saja. Tidak usah gaya-gayaan nyewa mobil. Toh naik bus atau kereta api kini sudah nyaman, aman dan terjangkau. Ingat esensinya. Mau ketemu orang tua, atau mau bergaya jadi sopir lintas kota? hahaha
Mudiklah dengan bersahaja. Tidak perlu memoles diri supaya dapat tepuk tangan tetangga. Nanti kalau terlalu memoles diri, kita disodori proposal dangdutan di kampung malah bingung. Karena sebenarnya dana untuk kembali ke tanah rantau juga masih tanda tanya.