Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kita yang Teraduk Informasi

15 Juli 2017   17:43 Diperbarui: 15 Juli 2017   19:49 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://kesbangpol.riau.go.id

"Tempeleng anak itu, PKI memang itu".

Demikian teriakan salah seorang kakak sepupu yang ditujukan kepada saya. Karena suatu sebab yang entah, dia memang masih kesal. Seketika juga, saya yang masih belasan tahun kala itu, langsung teringat efek suara dan layar hitam-putih film Janur Kuning di tahun 90an. Memang, kata komunis umumnya telah diasosiasikan dengan horornya lubang buaya dan "kebengisan" Kolonel Untung.

Tentu, pasca orde baru film ini banyak mengundang perdebatan sekaitan. Banyak yang percaya kisahnya tak sesuai dengan fakta. Terlepas dari itu, bagi saya, rezim era itu telah berhasil membangun apa yang diberi istilah oleh Noam Chomsky "control the public mind", menyetir pikiran masyarakat, yang sisanya masih kita nikmati hingga kini; komunis adalah musuh publik.

Dan, dalam hal ini media massa memegang peranan penting, melalui apa yang disebut "framing", yang bermakna penyeleksian, pemampatan, penonjolan dan repetisi suatu isu atau wacana. Penonjolan, kata Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media, didefinisikan sebagai pembuatan informasi yang dapat lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan, untuk mengiring persepsi. 

Berbagai literatur mencatat, hal sama juga dilakukan Bush pasca teror 11 september. Gedung putih dikatakan bersekongkol dengan media untuk membuat citra Usama bin Laden sebagai musuh bersama, untuk kemudian melanggengkan invasi ke Afganistan.

Pada aksi berlabel "bela Islam" beberapa waktu lalu misalnya, saya mencatat bagaimana kecenderungan sejumlah media dalam membingkai beritanya. Ada media yang secara massif men-framing aksi tersebut Islam radikal yang digawangi oleh FPI. Label radikal dipikiran masyarakat sejak lama terkonotasi dengan intoleran fundamentalis.

Sehingga tafsir yang sampai ke sebagian publik, massa aksi itu ekuivalen dengan mereka yang anti-pancasila, atau FPI identik dengan Wahabi.  Media dengan framing ini meminggirkan aspek lain dalam aksi tersebut. Semisal peran serta tokoh dan warga Islam Kultural, Nahdatul Ulama, yang tentu tak diragukan ke-Indonesiaannya. Atau perbedaan yang menjulang antara FPI dengan wahabi.        

Media yang lain menonjolkan pemberitannya, bahwa unjuk rasa ini sebagai bentuk kewajiban muslim untuk membela agama dan kitab suci-nya. Roy Murtadho dalam tulisannya di indoprogress menyebutnya sebagai pernyataan problematis. "Bukankah umat Islam sendiri yang seringkali menghina kitab-Nya dengan tidak mengamalinya dalam keseharian", kata Murtadho.

Alex Sobur menyebut, pada dasarnya penonjolan itu tidak dapat dimaknai sebagai bias, tetapi secara ideologis sebagai strategi wacana untuk menghadirkan pandangan tertentu ke publik, yang muaranya agar pandangan itu lebih diterima.

Penonjolan informasi semacam itu mempertinggi peluang pemeroleh menerima, memproses dan menyimpan informasi dalam ingatan. Dengan demikian, framing berperan penting dalam komunikasi politik. Maka wajar jika kepala kita teraduk informasi berbau politik, pada pilkada misalnya.

Tapi framing tak serta merta membuat pemeroleh akan terpapar informasi yang dikemas sedemikian rupa. Tingkat pengetahuan, referensi atau pendidikan menjadi aspek lain yang dapat menegasikan atau menampik informasi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun