Mohon tunggu...
zulfikar alamsyah
zulfikar alamsyah Mohon Tunggu... -

Nice

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kawin “Kontrak”

18 Juni 2013   15:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:49 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kehidupan pasangan berumah tangga yang harmonis dan berkelanjutan pada dasarnya adalah impian bagi semua individual manusia yang ditakdirkan berbeda jenis, meskipun kelanjutan kehidupan berumah tangga tersebut tidak dilengkapi dengan hadirnya anak (keturunan) yang menjadi refleksi natural dari keinginan meneruskan cita-cita, ideologi dan lain lain ke generasi penerus selanjutnya.

Kehidupan berkumpul antara dua pasangan dalam dimensi rumah tangga yang di sahkan dan dilegitimasi oleh sebuah ritual pernikahan, baikdari sisi keagamaan (kepercayaan) ataupun norma budaya kenegaraan menjadi sebuah hal yang dianggap sakral dan merupakan sebuah implementasi dari sifat dasar kebutuhan manusia yang ditakdirkan berpasang-pasangan.

Hal (pernikahan) yang dianggap mayoritas umat manusia di muka bumi ini sakral sekaligus sensitif kemudian tercoreng dengan dengan adanya sebuah pradigma tentang pernikahan yang berfokus terhadap jenjang waktu/durasi dari pernikahan tersebut.

Nikah Mut’ah ( dalam Bahasa Arab) atau dikenal dalam istilah lokal Kawin “Kontrak” merupakan sebuah sub paradigma yang muncul sebagai sebuah pandangan baru tentang aktivitas pernikahan. Dalam hal ini, focus yang di tekankan oleh sub paradigma tersebut tidak tertuju kepada proses-yang memang relative tidak berbeda dengan nikah pada umumnya-, namun lebih kepada subtansi tujuan dasar pernikahan yang terindikasi pada waktu pasca pernikahan.

Kawin Kontrak, atau kawin yang terikat pada perjanjian batasan waktu pengakhiran dari ikatan tersebut memang di konsep kemudian dikampanyekan dengan berbagai dalih dan alasan yang di sulap seakan dapat di terima sebagai solsusi logis. Sebagian pihak mengklaim bahwa cara tersebut di atas merupakan solusi yang baik serta efektif untuk menghindari potensi tingginya tingkat tindakan prostitusi, baik dalam skala lokal ataupun global. Dengan mengatasnamakan perjuangan terhadap martabat kaum hawa yang memang terlibat (sebagai objek) dalam tindakan tersebut.

Dalam perjalanannya, konsep yang ditawarkan tersebut menuai pro-kontra dari banyak pihak dan banyak ragam pemikiran. Pada tahap awal, aktivitas penolakan terhadap konsep tersebut mungkin muncul dari para agamawan, yang memang melihat itu sebagai sebuah pelanggaran agama (kepercayaan). Para agamawan sebagian besar sepakat bahwa konsep tersebut dinilai melanggar kesakralan serta subtansi dari pernikahan dan mencederai makna sesungguhnya perjalanan pernikahan. Agamawan menilai konsep tersebut menimbulkan masalah seputar subtansi perjanjian pra nikah yang cenderung merugikan salah satu pihak seperti hak dan kewajiban suami terhadap istri ataupun sebaliknya. Para agamawan menilai kawin kontrak hanya mengedepankan emosional kepentingan pribadi yang bersifat instan, tanpa ada niat dan usaha mengedepankan proses kebersamaan pasangan dalam meniti kehidupan post-pasca nikah yang memang menjadi hal yang subtansial dari pernikahan. Bahkan kawin kontrak dianggap sebagai pelacuran berkedok nikah yang di legalkan melewati banyak pintu legalisasi.

Namun penolakan dari kalangan agamawan mungkin terkesan membias dan berlalu begitu saja. Derasnya arus globalisasi modern saat ini, menuntut pihak-pihak tertentu menghalalkan kawin kontrak yang beralaskan kebutuhan ekonomi, kepentingan politis, hasrat pribadi hingga gaya hidup. Pada tahap ini, akitivis hak azasi manusia, pegiat kemanusiaan bahkan pejuang martabat kaum hawa mulai merasakan sendiri akibat yang ditimbulkan. Pelecehan seksual, pernikahan sah yang terhenti di tengah jalan akibat tingginya perselingkuhan (dengan cara pernikahan kontrak), hingga pernikahan anak yang dipaksakan oleh orang tua.

Seiring berjalan waktu, efek kerugian yang diakibatkan dari konsep kawin kontrak tersebut ternyata tidak hanya dirasakan oleh pasangan itu sendiri, juga tidak berdampak hanya secara lokal. Kerugian dari konsep kawin kontrak pada akhirnya meluas dan merugikan banyak pihak, sebagai contoh negara sekelas Singapura pun melarang kawin kontrak bukan karena alasan melanggar agama (kepercayaan), namun lebih karena kawin kontrak dijadikan alasan bagi seorang perempuan berkebangsaan luar negeri (Warga Negara Asing) untuk mendapatkan status kepemilikan tanah, bangunan dan status kewarganegaraan, sehingga harus melakukan kawin kontrak dengan pemuda Singapura setempat.

Lain Singapura lain lagi India, di tengah tingginya tingkat kemiskinan yang melanda sebagian daerah selatan, kawin kontrak kemudian dijadikan semacam bisnis masyarakat kelas grass root khususnya yang memiliki anak perempuan untuk menikahkan secara paksa anak perempuan mereka, kepada turis (pengunjung) dalam durasi tertentu, dan itu dianggap merupakan pelanggaran terhadap norma sosial. Pada tahap ini, seharusnya pengamat sosial, penggiat hukum, bahkan pihak berwajib harus merasakan potensi bahaya yang lebih besar kelak ditimbulkan dari konsep kawin kontrak tersebut.

Akhirnya banyak pihak, diakui atau tidak diakui telah dan mungkin akan terus merasakan efek dari pola pengaruh kawin kontrak, dan kerugian dipastikan akan terus mengalir terutama terhadap pelaku sendiri. Bahkan konon, penghalal dari kawin kontrak pun pada dasarnya menolak jika itu terjadi pada keluarga nya sendiri. Dengan kata lain, penghalal kawin kontrak sekalipun enggan menikahkan anak perempuannya, adik perempuannya, bahkan ibunya ke orang lain dalam durasi tertentu (kontrak).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun