Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pembicaraan Dua Orang Ibu Tentang Kenaikan BBM

27 Maret 2012   10:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:24 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332849320446645880

[caption id="attachment_178653" align="aligncenter" width="565" caption="Antre BBM (tribunnews.com)"][/caption] Dua hari yang lalu, secara tidak sengaja saya sempat mendengar pembicaraan singkat dua orang ibu yang sedang menggendong anaknya masing-masing. Mereka berdiri didepan sebuah gang kontrakan yang tak jauh dari rumah. Setiap pagi, saya memang selalu mengajak anak saya berjalan-jalan mengendarai sepeda berkeliling kampung. Pada saat yang sama memang sering terlihat ibu-ibu yang sedang asyik bercengkrama satu sama lain. Mereka asyik masyuk bergosip ria sambil menyuapi anak-anaknya sarapan pagi. Selain itu ada juga diantara mereka yang memang sengaja keluar untuk mencegat penjual sayur yang menggunakan gerobak. Tak jarang juga ada penjual sayur yang berkeliling kampung menggunakan sepeda motor. Pembicaraan singkat mereka mengusik saya untuk memperlambat laju sepeda. Saya kayuh sepeda dengan perlahan berharap mendengarkan apa yang meraka perbincangkan. Mereka berdua ternyata sedang membincangkan rencana pemerintah menaikkan harga bbm. Mereka berharap pemerintah tidak menaikkan harga bbm. Salah satunya mengeluh karena biaya sewa kontrakannya sudah naik sejak satu bulan yang lalu. Sementara yang satunya lagi mengatakan bahwa kontrakannya akan segera naik biaya sewanya setelah pemerintah resmi mengumumkan harga baru bbm pada awal bulan April. Biaya kontrakannya naik menjadi Rp. 500 ribu. Sebelumnya ia hanya membayar Rp. 350 ribu. Itu belum ditambah dengan biaya penggunan listrik yang dibayarkan secara patungan beserta penyewa kontrakan lainnya. Kenaikan sebesar 30 % ini tentu saja sangat memberatkan penyewa kontrakan. Harga sewa yang mahal belum tentu di tunjang dengan kondisi kontrakan yang nyaman. Kontrakan sebesar Rp. 350 ribu hanya muat untuk selonjoran. Sedangkan kontrakan dengan harga sewa diatasnya mungkin bisa menampung dua anak usia lima tahun, itu pun mereka harus tidur di ruang tamu, bukan di ruang utama di tengah-tengah rumah petakan. Kontrakan di daerah saya rata-rata memiliki tiga petak ruangan. Ruangan pertama adalah kamar tamu. Biasanya ruang tamu ini bersifat fleksibel. Kadang digunakan untuk menerima tamu, tempat nonton keluarga, kamar anak, bahkan bisa jadi ruang menggosok pakaian. Ruang tamu ini tidak memiliki kursi atau sofa. Mustahil pula jika kursinya bermerek dari Jerman atau belahan Eropa lainnya. Lebih banyak yang menggunakan alas lantai seperti tikar atau karpet. Tak jarang terlihat kasur yang di pinggirkan di sisi tembok. Ketika malam kasur itu tentu di rebahkan sebagai alas tidur. Plus ruang tamu ini menjadi garasi motor. Jadi ruang tamu ini jika malam hari dapat menampung dua orang anak dalam kasur double bed, satu unit televisi beserta satu unit sepeda motor sebagai alat transportasi utama sehari-hari. Diatas televisi tak jarang dihiasi dengan pakaian-pakaian yang harus digosok. Petak kedua adalah kamar utama. Kamar utama tidak memiliki ventilasi udara yang cukup memadai. Maka tak jarang penyewa kontrakan lebih betah untuk melakukan segala aktifitas di ruang tamu atau ruang depan yang paling dekat dengan pintu keluar utama. Mengapa pintu keluar utama? Hanya sedikit sekali kontrakan yang memiliki pintu keluar di bagian belakang. Sehingga jika terjadi kebakaran, sedikit sekali yang bisa selamat karena akses masuk dan keluar hanya berada di depan kontrakan yaitu di ruang tamu. Ruang utama biasanya selain menampung kasur double bed juga menampung lemari pakaian seluruh anggota keluarga. Tidak ada meja rias, tidak ada lemari sepatu. Apalagi brangkas untuk menampung emas, tumpukan dollar atau surat-surat berharga. Biasanya surat berharga yang ada hanyalah selembar ijazah SD yang sudah kucel, kumel dan tak laku di jual. Petak ketiga biasanya dibagi dua, kamar mandi yang sempit dan terkadang tak memiliki pintu sebagai penghalang. Lalu dapur mini yang hanya mampu memuat satu buah kompor dan satu ember cucian. Jendela dalam dapur biasanya bersifat permanen dan tidak bisa dibuka. Otomatis ketika memasak, asap yang dikeluarkan akan menyusup dari sela-sela ventilasi jendela yang sempit. Sedangkan sisanya menyusup ke ruang tidur utama kemudian terus mengalir ke ruang tamu dan keluar melalui pintu depan. Aroma asap masakan kadang bercampur dengan aroma lain ketika wc digunakan setiap pagi. Hidup di rumah kontrakan seperti itu sudah jamak di lakukan rakyat kecil yang merantau ke Jakarta. Berpuluh-puluh tahun mencari nafkah dan bertahan hidup di bangunan orang lain dengan imbalan sejumlah uang yang harus di bayarkan setiap bulan. Tak jarang banyak pemilik kontrakan yang tak mau ambil pusing untuk menagih sehingga biaya sewa dimintai setiap enam bulan sekali bahkan setahun sekali. Biaya kontrakan yang naik bukan hanya mempersempit raung geraknya di kontrakan, melainkan juga mempersempit penghasilan. Penghasilan yang seharusnya bisa di gunakan untuk kehidupan sehari-hari harus masuk kantong pemilik kontrakan. Belum tentu uang itu bersisa untuk menabung. Apalagi untuk berobat jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit. Tak jarang terkadang masyarakat lain suka saweran jika ada salah satu warganya yang sakit tak mampu berobat. Itupun kalau diumumkan di masjid saat pengajian tiap pekan. Kadang jika terpaksa sekali mereka mengulurkan permohonan bantuan. Hal ini bagi sebagian orang merupakan aib yang tak bisa di tutupi lagi kedepan. Mereka bisa di cap sebagai orang tidak mampu, kemudian berkembanglah isu-isu tak sedap lainnya. Padalah sakit itu bukan keinginan mereka. Kemudian pengajian pun akan semakin sepi ketika semua orang takut dan merasa malu untuk meminta bantuan. Pemandangan ini sudah menjadi pemandangan jamak bagi para "kontraktor". Yang bisa mereka lakukan hanya bertahan hidup sebisa mungkin demi membayar kontrakan jika tak mau menggelandang di jalanan. Jika mereka tak sanggup satu persatu barang-barang di kontrakkan akan digadaikan. Mulai dari kipas angin yang selalu menemani di panas teriknya matahari yang menyusup dari sela-sela atap yang terbuat dari asbes. Hingga televisi atau bahkan menggadaikan motor demi mempertahankan hidup agar anak-anak tidak hidup menggelandang di jalanan atau di kolong jembatan. Penderitaan ini hanya sebagian kecil saja. Mereka yang ada di Senayan mungkin hanya memikirkan bagaimana caranya agar bisa (maaf) buang hajat dengan nyaman di atas penderitaan para "kontraktor" ini. Sambil mendengarkan lagu klasik atau mungkin lagu nasyid yang mengalun merdu di bilik-bilik kantor yang tak dapat diawasi apa sesungguhnya yang mereka lakukan? Setelah kembali dan melewati tempat yang sama kedua ibu itu sudah tidak ada di tempatnya. Barangkali mereka sudah selesai meyuapi anak-anaknya atau mungkin sudah bertemu tukang sayur yang mereka tunggu setiap pagi. Ah biarlah toh esok saya akan menjumpai mereka lagi di tempat yang sama atau mungkin tak pernah bertemu mereka lagi untuk selamanya. Joglo @gurubimbel

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun