[caption id="attachment_182684" align="aligncenter" width="403" caption="Odong-odong"][/caption] Odong-odong adalah sejenis permainan untuk anak-anak dengan tenaga manusia sebagai penggeraknya. Alat pengayuhnya terhubung dengan empat mainan yang dapat ditunggangi anak-anak layaknya seekor kuda atau motor mainan. Sehingga ketika dikayuh, keempat mainan ini akan bergerak maju dan mundur. Tarif menaiki odong-odong ini relatif murah. Cukup membayar dua ribu rupiah. Dengan uang sebesar itu anak-anak bisa menikmati odong-odong selama tiga putaran lagu-lagu anak-anak. Banyak anak yang senang sekali menaiki odong-odong ini. Lagu yang diperdengarkan tidak ada lagu semacam Iwak Peyeknya Trio Macan, Sik Asyiknya Ayu Ting Ting atau bahkan lagu Lady Gaga. Semua lagu yang diputar adalah lagu anak-anak berbahasa Indonesia dan disesuaikan dengan umur anak-anak. Seperti bintang kecil, balonku, hujan, kebunku dan lain sebagainya. Bahkan dengan mendengarkannya mengingatkan kita pada masa ketika masih anak-anak . Sebut saja pakde Gun. Kami memang lebih banyak memanggil pakde pada para pedagang laki-laki di lingkungan rumah. Karena rerata mereka berasal dari Jawa Tengah. Pakde Gun sendiri berasal dari Yogyakarta. Pakde Gun sudah melakoni profesi sebagai penarik odong-odong selama lima tahun. Menjadi penarik odong-odong bukanlah tujuan pakde Gun. Dulu Pakde Gun adalah seorang sopir bus kota di Yogyakarta. Pakde Gun bahkan sudah melakoni sebagai supir bus kota selama sepuluh tahun. Mengapa pakde Gun alih profesi? Pakde Gun mengisahkan bahwa dia pernah menabrak seorang mahasiswi di sekitar kampus UGM. Karena kejadian itu pakde sangat shock sekali. Ditambah lagi mahasiswi yang di tabrak sampai mengalami geger otak. Pakde tetap bertanggung jawab karena kekhilafannya. Jutaan rupiah dihabiskan untuk biaya pengobatan mahasiswi tersebut. Setelah kejadian itu pakde Gun merantau ke Jakarta. Ketika pertama kali datang ke Jakarta, dia belum mengatahui bagaimana bisa menghidupi anak istri yang dibawa serta dari kampung. Bahkan kepergian pakde Gun menjadi pukulan psikologis bagi orang tuanya di kampung. Karena banyak kenalan sesama sopir yang juga ikut merantau ke Jakarta, pakde Gun ternyata dikenalkan dengan seorang pemilik odong-odong. Pakde Gun menyewa odong-odong padanya. Pakde Gun belum berani mengemudikan bus atau angkot lagi. Pakde masih trauma. Maka mengemudikan odong-odong dianggap lebih aman baginya. Singkat cerita pakde Gun akhirnya bisa memiliki odong-odong sendiri. Uangnya di dapat dari hasil melego sebuah Honda Grand. Motor tersebut laku seharga tiga juta rupiah. Sementara itu dia punya tabungan sebesar dua juta rupiah. Akhirnya dengan modal lima juta rupiah pakde Gun meminta tukang las, yang juga temannya, untuk dibuatkan sebuah odong-odong. Setalah memiliki odong-odong sendiri, kini pakde Gun tinggal di sebuah kontrakan di daerah Tangerang Selatan. Pakde Gun termasuk kreatif. Setiap tahun odong-odongnya berganti warna. Bahkan lagunya pun selalu berbeda-beda. Pakde Gun bercerita bahwa lagunya dia dapatkan dari temannya yang jago komputer. Jadi pakde Gun hanya bermodalkan flashdisk saja untuk meminta ratusan lagu anak-anak. Awalnya pakde Gun menggunakan tape mobil sebagai pemutar lagu. Karena lagu dari kaset terbatas akhirnya pakde Gun membelikan odong-odongnya pemutar MP3 yang sudah tersedia colokan USB-nya. Sehingga lagu-lagunya bisa lebih banyak yang diputar dan beragam. Banyak suka dan duka yang dialami pakde Gun selama lima tahun menarik odong-odong. Yang jelas menurutnya, dia tidak mendukung program KB (keluarga berencana) pemerintah. Pasalnya jika anak-anak semakin sedikit artinya uang pemasukan baginya akan semakin sedikit juga. Maka setiap bertemu ibu-ibu yang mengantarkan anaknya naik odong-odong, pakde Gun selalu berkampaye agar para ibu tidak ragu untuk memiliki banyak anak hehehehe. Dengan odong-odongnya pakde Gun bisa menyekolahkan kedua anaknya. Yang pertama baru lulus SMK jurusan elektro. Sedangkan anak terakhirnya baru duduk di kelas lima SD. Meskipun selalu berkampanye pada ibu-ibu untuk tidak ber KB ternyata anak pakde Gun juga hanya dua hehehe. Pakde Gun jarang sekali pulang ke kampung halaman. Dia merasa berdosa pada orang tuanya. Karena kepergiannya ke Jakarta ternyata membuat orang tuanya stress. Pakde Gun bercerita bahwa mungkin orang tuanya menghembuskan nafas terakhir karena memikirkannya. Saya melihat mata pakde berkaca-kaca ketika menyampaikan hal tersebut. Sebetulnya umur pakde Gun baru kepala empat. Tapi dilihat dari perawakan dan wajahnya seperti orang yang sudah berusia diatas 55 tahun. Mungkin beban pikiran pakde sangat berat sehingga wajahnya seperti lebih tua dari usianya. Masa-masa panen bagi penarik odong-odong adalah ketika ada pasar kaget atau bazar. Sekali narik biasanya pakde mendapatkan uang sebesar seratus ribu rupiah. Itupun masih kotor. Karena pakde harus membagi rezekinya pada petugas keamanan yang mengutip dan petugas kebersihan yang meminta bagian. Pakde ikhlas saja memberikan uang kutipan, terutama pada petugas kebersihan. Tapi, pakde sedikit kesal karena biasanya petugas keamanan tidak di koordinir. Sehingga sekali mangkal di bazar biasanya ada sampai lima orang petugas keamanan komplek yang mengutipnya dengan selang waktu yang berbeda-beda. Jika sudah begini pakde harus pandai-pandai mencari alasan. Entah bilang tarikan sedang sepi atau bilang baru saja datang. Kini odong-odong pakde Gun sudah menjadi langganan anak-anak di sekitar rumah. Pakde Gun biasanya tiap pagi sudah standby berdampingan dengan seorang tukang bubur yang begitu sayang pada anak-anak. Kedua sosok ini begitu menginspirasi saya. Dua orang tua yang berusaha menghidupi keluarganya dengan cara yang berbeda. Mereka mampu memberikan pelajaran kehidupan yang berbeda. Mereka bekerja bukan sekedar bekerja, karena ada tugas mulia yang mereka emban yaitu membahagiakan anak-anak. Salam @gurubimbel