Seperti kata peribahasa, "Apa yang kamu tanam, maka itu yang akan kamu tuai". Â Peribahasa itu sepertinya nampak sekali dirasakan oleh kubu Prabowo. Â Alasannya sih sederhana saja. Kini kubu Prabowo sibuk untuk menangkal politik identitas yang dialamatkan kepadanya.
Politik identitas yang semula memang dimainkan oleh kubu Prabowo, kini menjadi bumerang yang membuat pusing tujuh keliling.
Kini keduanya mau tak mau, suka tak suka memang memainkan cara yang sama. Istilahnya, lu jual gue beli. Hal tersebut diamini oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia yang melakukan riset penggunaan politik identitas dalam Pilpres 2019. Â
Sohibul Iman yang berada dalam gerbong koalisi Partai Gerindra jauh hari mengatakan bahwa kampanye negatif dihalalkan.Â
Lantas kenapa harus alergi dengan tanda pagar #PrabowoJumatanDimana
Efektifitas Tanda PagarÂ
Mau tidak mau tanda pagar itu akan terus trending setiap hari Jumat. Menjadi sebuah pertanyaan bagi publik benarkah Prabowo yang didukung oleh Ijtima ulama memang sosok yang rajin menjalankan syariat agama?Â
Bagi publik mungkin ada beberapa yang sudah jenuh dengan politik identitas ini, tetapi inilah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk melawan serangan-serangan politik identitas satu sama lain.
Jika kubu Prabowo selama ini menyerang kubu Jokowi dengan isu anti Islam, kemudian kubu Jokowi membalikkan serangan tersebut menjadi sebuah pertanyaan besar nan cerdas.Â
Benarkah Prabowo Islam atau benarkah Prabowo menjalankan rukun Islam dengan sebenarnya? Â
Bagi Prabowo mungkin untuk membuktikannya memang akan sangat sulit.Â
Itulah mengapa akhirnya perang terbuka dalam politik identitas masih mewarnai trending di sosial media utamanya di halaman Twitter.Â
Kubu Jokowi sebetulnya sudah sangat efektif dengan menangkal isu anti Islam dengan cara menggandeng Kyai Haji Ma'ruf Amin.
Sementara kubu Prabowo masih kesulitan untuk menunjukkan bahwa Prabowo memang bisa salat dan bisa ngaji.
Maka sindiran-sindiran melalui tanda pagar dalam Twitter tersebut setidaknya memang cukup efektif untuk menggerus suara yang selama ini mengesankan bahwa Prabowo sangat dekat dengan ulama dan Islam.
Kubu Prabowo Menangkal dengan Cara yang Salah
Cara kubu Prabowo dalam menangkal isu yang mengemuka di tengah masyarakat pun tidak efektif, malah cenderung melakukan blunder kembali.
Misalnya ketika Prabowo diagendakan untuk mengikuti jumatan di masjid Agung Semarang. Justru malah tersebar beberapa pamflet ajakan untuk Jumatan bersama Prabowo.Â
Hasilnya sudah bisa ditebak karena usaha untuk mempolitisasi Jumatan ala Prabowo malah ditolak oleh pengurus Masjid.
Beredarnya pamflet ajakan untuk Jumatan bersama Prabowo di Masjid Agung Semarang menunjukkan bahwa kubu Prabowo cukup kesulitan untuk menangkis isu tersebut.
Berbeda dengan kubu Jokowi. Jokowi selama ini diserang black campaign atau kampanye hitam yang memberitakan bahwa Jokowi anti Islam. Faktanya tidak demikian.
Bukti bahwa ada yang menyerang Jokowi dengan kampanye hitam adalah emak-emak PEPES (Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Sandi) di Karawang. Â
Sedangkan serangan terhadap kubu Prabowo adalah kampanye negatif, karena selama ini umat memang ragu dengan ke-Islaman Prabowo. Wajar saja jika ada undangan baca Al-Quran dari Dai Aceh.
Buruk Muka, Cermin Dibelah
Kini kubu Prabowo mau tak mau memang harus bekerja ekstra keras meyakinkan rakyat dan pemilihnya bahwa Prabowo memang benar-benar pilihan Ijtima ulama.
Para ulama tidak mungkin merekomendasikan pemimpin yang tidak paham Islam. Ulama tidak pernah main-main mengajukan pemimpin bagi 80 persen pemeluk agama Islam, rakyat Indonesia.Â
Para ulama sudah pasti tegas dalam memberikan saran untuk memilih pemimpin yang benar-benar sesuai dengan akhlak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sifat-sifat Rasul tersebut adalah Sidiq (jujur), Amanah (dipercaya), Tabligh (menyampaikan), Fathonah (cerdas).Â
Bukan yang menyebarkan hoax selang cuci darah yang digunakan berulang kali di RSCM. Jelas sangat bertentangan dengan sifat dan akhlak Nabi.Â
Tidak hanya itu saja, tetapi juga taat terhadap aturan syarat dan rukun Islam.
Yang paling sederhana rukun tersebut haruslah dilakukan sebagai kewajiban individu bukan kewajiban dalam memenuhi kontes politik semata.