Mohon tunggu...
Fika Fatiha
Fika Fatiha Mohon Tunggu... Lainnya - Beriman, Berilmu, Beramal

Menulis Karena Ga Bisa Menggambar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bagaimana Seharusnya Guru di Indonesia? (Refleksi Hari Pendidikan Nasional)

2 Mei 2022   12:30 Diperbarui: 2 Mei 2022   15:09 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lantas sudahkah di Indonesia demikian? Bila menjawab pertanyaan tersebut sepertinya harus dipertanyakan kembali, bagaimana bisa Indonesia melakukan hal tersebut bila standard materi yang diberikan kepada Guru honorer tak sebanding dengan upaya yang harus dilakukan oleh mereka? 

Kita memang tidak bisa menerapkan sistem pendidikan di Finlandia secara apple to apple di jalankan di Indonesia, tetapi kita bisa mengambil yang bisa kita ambil dari mereka seperti pemberdayaan Guru dari segi materi dan imateri yang menjadi salah satu kunci sukses keberhasilan pendidikan disana.

Mungkin tak perlulah untuk mengeluh secara berlebih-lebihan tentang hal ini, apalagi karena materi yang diberikan kepada yang berprofesi Guru belum kompatibel. Sebagai Guru ataupun seorang pengajar kita perlu ingat bahwa gaji berbeda dengan rejeki. 

Walaupun bergaji kecil (tetapi dengan catatan terus mengupayakan penuntutan hak-hak dengan cara yang baik), ingat bahwa rejeki itu tak selalu berupa uang. Kesehatan, dapat bersosialisasi dengan baik, menjadi sosok penolong murid-murid yang ingin belajar, itu juga merupakan rejeki dan rahmat yang Allah berikan kepada Guru sebagai sosok penerus jejak Nabi.

Salah satu sifat yang ada dalam diri Rasulullah ketika mengajarkan tentang syi’ar Islam adalah mengenai “Mengikhlaskan Ilmu Kepada Allah”. Sebagai pengajar, tentu Guru tidak bisa hanya dijadikan profesi, tapi lebih daripada itu menjadi seorang Guru merupakan panggilan hati. 

Panggilan tersebut harus didasarkan bukan karena semata menginginkan kedudukan, pangkat dan semacamnya, jika demikian, maka ilmu dan amal seorang Guru layaknya seperti debu yang berterbangan (tidak ada artinya).  Barangkali Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a dapat mengilustrasikan hal itu.

Dari Abu Hurairah r.a, Nabi saw. Bersabda,

“Seorang laki-laki yang mempelajari suatu ilmu dan membawa Al-Qur’an dibawa dan ditampakkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Dan ia mengenalnya. Kemudian ia ditanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat sehingga mendapatkan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab ‘Aku telah mempelajari suatu ilmu dan mengajarkannya.

 Dan Aku telah membaca Al-Qur’an demi kamu.’ Kata Allah, ‘Kamu bohong. Kamu mempelajari ilmu supaya kamu dipanggil alim. Dan kamu membaca Al-Qur’an supaya disebut qari’. ‘Sungguh telah di katakan’, kemudian diperintahkan kepadanya lalu ia diseret dengan muka di tanah, hingga kemudian dilemparkan ke neraka...”

Dari hadits di atas, dapat diambil pelajaran bahwa sudah sepatutnya para Guru dan pendidik mengikhlaskan ilmu dan amal kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan maupun penghormatan. Oleh sebab itu, seorang Guru harus menanamkan sifat ikhlas ke dalam jiwanya dan jiwa murid-muridnya. Seorang Guru ataupun kita sebagai manusia harus membawa sifat itu dalam memulai pekerjaan sehinga harus selalu bisa mengingat-Nya.

Karena sesuatu dari hati akan sampai pula kepada hati. Sesuatu ucapan dan perbuatan yang ikhlas akan sampai pula kepada mereka yang ikhlas melihat dan mendengarkan. Tentunya semua itu atas ijin Allah SWT.

Wawllahualam Bissawab.

Referensi:

Asy Syalhub, Fu’ad. 2006. GURUKU MUHAMMAD. Gema Insani: Depok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun