Gonjang-ganjing Pilpres 2019 akan segera berakhir. Dengan selisih perolehan suara yang cukup besar, pasangan Joko Widodo-Maruf Amin hampir pasti akan diputuskan/ditetapkan sebagai pasangan presiden-wakil presiden Indonesia terpilih periode 2019-2024.
Meski demikian, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyatakan akan menolak hasil Pilpres 2019 yang ditetapkan oleh KPU karena menganggap telah terjadi kecurangan selama penyelenggaraan pemilu, dari mulai masa kampanye hingga proses rekapitulasi hasil perolehan suara.
Namun, beberapa hari terakhir ini, Prabowo dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) sebagai tim suksesnya menyatakan tidak akan membawa permasalahan ini lebih lanjut hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal, sejak awal kubu Prabowo telah mengklaim (bahkan telah sujud syukur) bahwa pasangan nomor urut 02-lah yang menjadi pemenang Pilpres 2019.
Lalu, bagaimana Prabowo bisa 'merebut kemenangan' jika pada 22 Mei nanti KPU mengumumkan bahwa pemenang Pilpres 2019 adalah pasangan Joko Widodo- Maruf Amin dan pihaknya 'membiarkan' begitu saja tanpa menggugat ke MK?
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilpres, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan oleh KPU.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi kubu Prabowo selain mengajukan gugatan ke MK untuk membuktikan bahwa klaim kemenangan oleh pihaknya bukan omong kosong belaka. Bagaimanapun, inilah jalur konstitusional yang harus ditempuh sebagai konsekuensi sikap 'menolak' hasil pilpres.
Sebaliknya, jika tetap bersikukuh tidak mau membawa persoalan hasil pilpres ke MK, sama artinya  kubu Prabowo menerima hasil pilpres sehingga mau tidak mau harus mengoreksi sikap 'menolak' menjadi 'menerima' sebagai konsekuensi logis dari keputusan 'tidak mau' menggugat ke MK.
Dilansir Kompas, Kamis (16/5), Anggota Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon menyebut, berdasarkan pengalaman pada Pemilu 2014, MK dinilai tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang kubu Prabowo bawa. MK dinilai useless dalam persoalan pilpres.
Akan tetapi, akan menjadi sangat tidak bijak apabila kubu Prabowo/BPN tidak percaya kepada MK lalu menyerahkan hasil pilpres kepada penilaian masyarakat. Sepanjang tidak ada pernyataan dari kubu Prabowo bahwa Pilpres 2019 telah berakhir dengan kemenangan Jokowi-Maruf (jika nantinya Jokowi-Maruf yang dinyatakan menang), terbelahnya masyarakat Indonesia menjadi dua kubu yang saling berseberangan akan tetap terpelihara.
Hemat saya, kubu Prabowo harus memanfaatkan momen terakhir pasca 22 Mei untuk 'merebut kemenangan' secara konstitusional tanpa melibatkan masyarakat awam. Berkaca pada pada Pemilu 2014, kubu Prabowo mengaku membawa 19 truk berisi bukti-bukti kecurangan penyelenggaraan pemilu. Namun, saat itu tidak semuanya diperiksa MK karena disebut tidak mengubah suara secara signifikan.