"Yah, jangan lupa selalu sedia Tolak Angin. Ayah sering masuk angin dan batuk."
"Iya, Ayah sudah beli satu kotak, 14 ringgit."
Kesehatan adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini. Apalagi bagi seseorang yang sedang berjuang mengais rezeki di negeri orang, jauh dari orang-orang tersayang.
Dialog di atas adalah pesan Whatsapp yang sering dikirim istriku dari kampung halaman untuk mengingatkan agar selalu sedia obat-obatan, salah satunya Tolak Angin.
Pada awalnya aku sempat bertanya-tanya, apakah ada Tolak Angin di Malaysia. Eh, ternyata Tolak Angin ada di hampir semua kedai (toko), terutama kedai yang pemiliknya orang Aceh.
Di Malaysia, satu sachet Tolak Angin dijual seharga 1,5 ringgit (sekitar Rp 4.500) atau seharga segelas kopi. Namun, apabila kita membeli satu kotak berisi 12 sachet, harganya 14 ringgit (sekitar Rp 42.000).
Aku seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia yang bekerja di sebuah bengkel kontruksi  sekaligus sebagai koresponen (dan tim editor) media online yang fokus memberitakan hal-hal tentang PMI.
Dengan jam kerja dari pukul 8 pagi hingga pukul 5 petang atau kadang-kadang hingga pukul 7 malam, praktis waktuku menulis hanya pada malam hari. Hampir setiap malam, aku menghabiskan waktu di depan laptop. Bahkan, kadang hingga pukul 1 atau 2 dini hari. Sudah pasti, 'ancaman' masuk angin selalu ada.
''Ayah sudah tidur?"
"Belum. Sebentar lagi, Nda. Ini lagi kirim berita."
"Ok. Jangan lupa minum air hangat. Tolak Angin masih ada, kan?"