Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masihkah Kita "Underestimate" terhadap Kemuliaan Ibu?

3 Desember 2020   16:44 Diperbarui: 3 Desember 2020   16:51 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (dokpri/canva)

 

"Jika kamu mendidik laki-laki, maka kamu sedang mendidik seorang individu, tapi jika kamu mendidik seorang perempuan, maka kamu sedang mendidik bangsa" --- Terjemahan Ghanaian Dr. James Emmanuel Kwegyir-Aggrey

Dalam suatu bangsa, peran seorang perempuan sangatlah penting. Perempuan adalah bentuk pengejewantahan dari seorang ibu, sosok yang melahirkan generasi penerus bangsa. Maka tak heran, jika ada yang mengatakan bahwa ibu adalah "sekolah atau madrasah pertama bagi anak-anaknya". Melalui tangan ibu, anak mendapatkan kasih sayang, asupan nutrisi dan pendidikan untuk yang pertama kalinya. Oleh karena itu, untuk mencetak generasi bangsa yang unggul maka dibutuhkan ibu yang unggul. Dan untuk menghasilkan ibu yang unggul, maka perempuan harus diperhatikan dan dipenuhi segala hak-haknya baik ketika sebelum maupun setelah menjadi ibu. Ketahuilah bahwa ketika terlahir seorang anak, sebenarnya juga "terlahir" seorang ibu.

Menjadi Sahabat Anak

saya dan mahesha (dokpri)
saya dan mahesha (dokpri)

Setiap ibu memiliki cara masing-masing dalam mendidik anak-anaknya, walaupun tujuannya tetap sama, agar sang anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik. Namun, seiring perkembangan zaman, cara mendidik anak juga mengalami fase pembaharuan. Kita tidak bisa lagi menyamakan cara didik anak pada zaman dulu dengan cara didik saat ini. Arus teknologi yang begitu pesat, terjadinya pergeseran budaya hingga berbagai bentuk kebijakan yang terus berkembang menjadikan anak bertumbuh seiring dengan zamannya. Mendidik anak dengan cara-cara lama justru akan menjadi boomerang bagi sang anak. Alih-alih menjadi lebih baik, justru anak akan berpotensi besar mengalami ketidaksiapan mental dalam menghadapi zaman milenial yang serba digital ini.

Sudah banyak contoh kasus yang memperlihatkan bagaimana anak menjadi pribadi yang lemah akibat pola didik yang kurang pas (bukan salah) dari orangtuanya, seperti kasus bunuh diri anak, kekerasan oleh anak, pembunuhan, pelecehan, perundungan, dll. Semua itu bermuara pada pola asuh yang tidak ramah pada anak.

Sebagai seorang ibu tiga anak, saya termasuk tipikal ibu yang mengedepankan persahabatan bagi anak-anak. Bagi saya, menjadi ibu yang friendly jauh lebih pas di pola didik zaman ini. Apalagi jika anak sudah beranjak remaja. Mereka membutuhkan sosok ibu yang hangat, ramah dan bersahabat. Bukan sosok ibu yang pemarah, kaku, keras, judes, apalagi ibu yang terlalu memaksakan kehendak kepada anak. Prinsip saya, lebih baik anak curhat kepada saya daripada ia curhat kepada teman-temannya. Untuk itu, saya harus bisa menempatkan posisi sebagai sahabat bagi mereka. Dengan begitu anak-anak akan merasa nyaman ketika mengeluarkan uneg-unegnya kepada saya, tanpa takut atau was-was.

Tidak mudah memang untuk bisa menjadi sahabat anak. Seorang ibu harus terus belajar instropeksi dan melatih diri agar bisa tetap sabar dan konsisten dalam menjalani perannya. Dan tentu saja, hal ini dibutuhkan dukungan dari anggota keluarga lainnya seperti suami, orangtua, mertua, dll. Bagaimanapun, ibu tidak dapat menjalani perannya dengan baik tanpa dukungan dari orang-orang terdekatnya.

Mencetak Generasi Bermental Juara

Hal terpenting dalam mendidik anak adalah bagaimana mempersiapkan mereka menjadi pribadi yang bermental juara. Juara sejati adalah mereka yang tetap rendah hati saat menang dan berani sportif menerima kekalahan. Begitulah saya mengajarkan kepada anak-anak saya tentang makna Sang Juara. Juara yang sebenarnya adalah mereka yang mampu berperilaku terpuji baik saat menang maupun kalah, baik dalam kompetisi yang sesungguhnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Dari sini, anak akan belajar bagaimana menghargai setiap proses kehidupan. Ada saat manis dan pahit, berhasil dan gagal, berjaya dan terpuruk, dll. Ketika semua itu telah dipahami sebagai bagian dari roda kehidupan, maka anak akan lebih memiliki kesiapan mental dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dalam kehidupan. Anak yang siap mental akan menjadi anak yang tangguh. Mereka akan tetap rendah hati pada saat sukses dan tidak putus asa ketika gagal.

Mandiri Dan Tidak Anti Sosial

Mahesha, anak bungsu saya, jempalitan. Kakinya sibuk naik turun. Badannya sebentar tegak sebentar menunduk. Mimiknya juga sudah mulai masam, cemberut. Sesaat kemudian terdengar isak tangis yang ditahan. Nampak jelas kekesalan di raut wajahnya. Celana panjang yang hendak ia kenakan masih mentok di lutut. Sesekali ia terlihat melirik saya sambil menggerutu tak jelas.

Saya sengaja mendiamkannya sampai ia mengucapkan "bunda, tolong aku...". hal ini saya lakukan agar ia belajar untuk mandiri dan berusaha dengan kemampuannya sendiri. Namun, di sisi lain saya juga ingin mengajarkan padanya bahwa kita hidup tidak sendiri. Ada orang lain yang bisa membantu kita, tentu saja harus dengan kata "tolong...".

Benar saja, ketika ia sudah mulai menyerah, ia pun mendekati saya dan berkata "bunda, tolong aku...aku nggak bisa naikin celana ini..." saya tersenyum dan segera membantunya untuk mengenakan celana panjang dengan benar. Mahesha pun kembali berseri dan mengucapkan "terima kasih bunda..." dan tak lupa menghadiahi saya dengan sebuah pelukan hangat.

Tolong dan terima kasih, satu paket kata yang terpuji. Sebagai seorang ibu, tentu saya tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak, tapi juga harus bisa melatih nurani mereka agar memiliki sense of empathy terhadap sesama. Saling membantu dan menghargai adalah bentuk rasa empati terhadap sesama. Saya berusaha tegaskan kepada anak bahwa kita memang harus berusaha mandiri tapi bukan berarti juga kita anti sosial. Saya percaya, jika kita mau membantu orang lain dengan tulus maka kelak urusan kita pun akan dipermudah. Dan jika kita mau menghargai orang lain, maka kita juga akan dihargai.

Masihkah Kita Underestimate Terhadap Kemuliaan Ibu ?

Sudah saatnya pemerintah beserta seluruh stakeholder turut mendukung gerakan "Sayang Ibu" melalui kebijakan-kebijakan yang ramah ibu dan anak. Pemerintah harus mempersiapkan perempuan Indonesia untuk menjadi ibu yang baik, salah satunya melalui kebijakan pengarusutamaan gender dimana kesehatan reproduksi dan pendidikan bagi perempuan harus lebih diutamakan dan diperhatikan.

Seperti ungkapan di atas, "Jika kamu mendidik laki-laki, maka kamu sedang mendidik seorang individu, tapi jika kamu mendidik seorang perempuan, maka kamu sedang mendidik bangsa" artinya, didikan terhadap laki-laki akan melahirkan sosok individu, tapi didikan terhadap perempuan maka akan melahirkan karakter bangsa.

Jika demikian, masihkah kita underestimate terhadap kemuliaan seorang ibu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun