Indah menatap kosong amplop cokelat yang ada di genggamannya. Pikirannya menerawang, jauh. Membayangkan airmata yang tumpah, ratapan yang memilukan dan pandangan sinis beberapa sosok kerabat yang datang. Kekecewaan akan menjadi judul utama kisah ramadan kali ini dan kesedihan menjadi prolog yang menggetarkan hati. Segala ungkapan pembelaan diri takkan lagi mempan. Bagaimana mungkin, anak bungsu dan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara tidak pulang kampung dan merayakan lebaran bersama keluarga besar ?
Indah menghela nafas dalam-dalam. Seperti ada beban berat tengah bertengger di bahunya. Gadis manis itu sesekali berusaha menyandarkan kepalanya ke dinding sembari terus berfikir. Secangkir kopi yang menjadi satu-satunya menu berbuka tampak mendingin. Indah nyaris tak menyentuhnya. Padahal, kopi adalah sahabat terbaiknya, sekalipun sedang berpuasa. Jika yang lain membayangkan takjil, kurma, es buah atau ayam penyet, maka Indah cukup membayangkan secangkir kopi pekat untuk berbuka. Baginya, kopi mampu mengakomodir segala perasaannya dan menjadi teman terbaik di kala sendiri.
Tapi saat ini Indah nyaris tak menyentuhnya. Ia hanya menyeruput sedikit saja sekadar untuk membatalkan puasa. Pikiran dan perasaannya benar-benar tengah dirundung kegelisahan yang teramat sangat. Ketakutan dan kekhawatiran kerap menghantuinya. Khawatir orangtuanya sedih. Takut abang-abangnya marah dan kecewa. Ah, Indah cuma bisa menggigit jari.
Lebaran tinggal menghitung hari. Amplop THR dan isinya hanya bisa dipandangi dengan miris. Sebagai pegawai baru, Indah baru bisa menikmati THR separuh dari THR pegawai lainnya yang sudah lama bekerja. Jumlahnya tak banyak, paling cuma cukup untuk pesan 1 tiket pesawat online ke Surabaya dan beli oleh-oleh Bolu Meranti rasa keju khas Medan. Sementara ia harus memesan 2 tiket (pulang-pergi) karena harus kembali ke Medan dan bekerja setelah lebaran. Belum lagi, ketika di kampung halaman, nggak mungkin ia hanya numpang makan, minum, mandi dan tidur tanpa membantu orangtua menyiapkan segala kebutuhan lebaran. Ponakan juga sudah mengantri tentunya dengan teriakan "mana angpao THR nya tanteeeee ?" duh, THR Indah kurang !
Bukan hanya itu, lebaran kali ini Indah kebagian piket layanan tepat di hari H lebaran di kantor selama dua hari. Setelah itu baru lah Indah mendapat jatah cuti bersama setelah bergantian dengan rekan kerja yang lain. Sungguh membuat Indah tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun Indah harus mematuhi aturan pekerjaan, apalagi sebagai pegawai baru. Meski mendapat tunjangan lembur piket, tapi toh kalau boleh memilih Indah akan memilih tak usah piket.
Sejak awal ramadan, mama sama bapak sudah sibuk menelepon dan menanyakan kapan Indah pulang. Kala itu Indah menjawab "segera setelah tahu jadwal cuti bersama...inshaaAllah..." bahkan ia tak punya nyali untuk jujur mengatakan "sepertinya lebaran kali ini nggak pulang..."
Triiinggggg triiiiingggggg triiingggggg
Ponsel Indah berdering. Diliriknya siapa yang meneleponnya. Mama.
Indah gugup dan berusaha menyiapkan jawaban yang menurutnya paling pas jika mama bertanya (lagi), "kapan pulang ?"
Indah mengangkat ponsel perlahan, "assalamualaikum ma..." sapanya memulai obrolan
Hampir setengah jam mama menelepon. Biasalah, mama selalu antusias kalau sudah mengobrol dengan anak perempuannya satu-satunya. Ada saja bahan obrolan mama. Tentang tetangga lah, tentang resep kue lah, tentang kabar abang lah, tentang kelucuan cucunya lah sampai kabar Dodol, kucing kesayangan mama pun diceritakannya. Maka tak heran jika setengah jam terasa singkat saat Indah mengobrol dengan mama.