Seperti halnya padi, rindu yang menguning namun tak segera dipanen maka akan layu dan mati, bahkan membusuk. Jika ini, maka untuk apa menanam rindu ? untuk apa menebar benih kalau hanya dibiarkan ? yang ada hanya hamparan sia-sia. Gunungan mimpi yang tak terwujud. Maka, salahkah aku jika menganggap rindu itu tak benar-benar ada ? bagiku, rindu hanya pengharapan sebelah mata. Tak benar-benar bisa melihat utuh. Kabur. Samar. Lalu menghambur begitu saja.
Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar bagi seorang perempuan menunggu sang lelaki yang konon pernah berjanji akan datang di saat yang tepat, meminang lalu membawanya mengarungi kehidupan yang kadang manis kadang kejam bersama-sama.
Aku menangis sejadinya. Menangisi kenaifanku. Lulus cumlaude dan menjadi aktivis di kampus ternyata bukan jaminan diberi label "pintar", buktinya aku teramat "bodoh" untuk satu hal bernama "cinta". Ah !!!
"kamu yang buat aku berharap Roy...semua ini salahmu !" teriakku memecah keheningan malam. Selembar potret yang menjadi satu-satunya harta berharga yang pernah kami miliki, ada di hadapanku. Aku bicara dengan potret yang mulai usang termakan waktu.
"aku menolak semua lelaki yang mendekatiku, aku abaikan perjodohan yang orangtuaku lakukan dengan seorang pengusaha besar, bahkan aku kembalikan mahar yang bisa membuatku menjadi kaya mendadak...aku cuma berharap kamu datang walau hanya membawa selembar pakaian dan uang sepuluh ribu untuk meminangku...aku terima Roy...aku terima..." tangisku pecah
"dua puluh tahun menunggu cukup membuatku tersadar bahwa rinduku hanyalah sia-sia. Rindu yang kuandalkan bisa menjadi pengikat erat diantara kita, nyatanya tak punya kekuatan apapun. Rinduku kalah. Aku kalah. Kamu tak pernah datang untukku. Kamu tak benar-benar mencintaiku..." ratapku
Pikiranku melayang, masih teringat jelas malam itu deburan ombak menjadi saksi akan janji-janji Roy. Pantai adalah tempat terindah bagi kami. Tempat yang selalu bisa membuat kami terbawa dengan suasana. Kaki-kaki saling bertautan, terpendam pasir dan sedikit basah oleh riak-riak ombak. Di tepi pantai, kami selalu melihat masa depan yang masih kosong. Kami mengisinya.
"aku akan kuliah kedokteran..." kataku menerawang
"aku jadi suami bu dokter..." goda Roy, disambut derai tawa kami berdua
"aku tunggu rencana masa depanmu itu..." balasku manja
Begitulah kami mengisi hamparan masa depan yang kosong di pantai. Seperti diary, pantai banyak memberi ruang bagi imajinasi-imajinasi kami yang tak berbatas. Seperti rindu dan penantianku yang juga tak berujung.