Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bertanya pada Jingga

9 Desember 2017   10:33 Diperbarui: 9 Desember 2017   11:27 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (hipwee.com)

Awan semburat di ujung langit. Menyisakan keindahan untuk hati yang sedang mengukir rindu. Sebagian besar keindahan sudah ada pemiliknya dan membiarkan sebagian kecilnya tinggal disini. Tak apa, bagiku waktu bukan penentu kebahagiaan. Waktu tak lebih hanya perkara kapan, berapa lama dan hitungan angka jam. Rindu yang kuukir dari hari ke hari hanyalah pertanyaan tentang waktu, kapan akan bertemu ? berapa lama harus menunggu ? tidak terlalu penting.

Entah mengapa, jingga lebih mengerti perasaanku ketimbang rindu dan waktu. Jingga yang selalu hadir di kala senja tak pernah tidak membawaku ke alam khayalan. Membayangkan kebahagiaan sampai kepedihan yang terus menghantui di saat penantian panjang. Tak ada bedanya, bayangan kebahagiaan dan kepedihan, sama-sama menjelma seperti hantu yang menakutkan. Aku takut kebahagiaan itu akan terenggut. Aku takut kepedihan itu akan abadi.

Setiap hari aku selalu menyiapkan pertanyaan pada jingga, "kenapa setelah kau datang langit berangsur menghitam ? malam membuyarkan khayalanku...kenapa tak kau biarkan jinggamu mewarnai langit hingga aku terlelap dan melupakan rinduku ?"

Jingga tak menjawab. Tak pelak warnanya semakin tegas, seperti sedang berusaha menenangkanku, bahwa bukan keinginan jingga untuk meninggalkanku begitu cepat, tapi malam yang memaksa untuk menggantikannya.

Esoknya, kutanya lagi jingga "sudahkah kau sampaikan ukiran rinduku padanya ? ah, kau pasti lupa !"

Jingga terdiam. Tak ada reaksi apapun. Dan pertanyaanku, untuk kesekian kalinya tak ada jawaban.

Suatu ketika aku pernah marah pada jingga. Jingga tak hadir menemani senjaku. Hujan deras mengguyur tanpa peduli amarahku. Langit mendung hitam menggelayut seperti sedang menertawakanku. Semua tahu aku tak menginginkan hujan. Hujan hanya akan menghanyutkan perasaanku. Seperti dia yang sudah mempermainkan hatiku. Aku tak suka hujan. Tapi anehnya, aku tak membenci dia. Padahal, bukankah mereka mirip ?!

PRAAANGGGGGG !!!

Aku menjatuhkan piring berisi nasi lembek dengan rasa yang hambar. Tak ada lauk. Tak ada sayur. Konon, penyakit yang kuidap tak mengijinkan segala jenis lauk dan sayur bebas masuk ke perutku. Setiap hari hanya butiran nasi putih yang ditanak lembek tanpa apapun. Hambar. Dan aku harus menerima kenyataan memuakkan itu.

Piring beling yang ada dipangkuanku terjatuh dan terbelah menjadi dua. Nasi berserakan di lantai. Si manis tergopoh-gopoh menghampiri dan menjilati nasi lembekku yang berserakan. Kucing kampung yang tak bosan mendatangiku meski aku tak pernah mempedulikannya. Padahal, tak pernah ada ikan di menu makanku, tapi si manis tetap menikmati sisa-sisa makanku.

"aduuuhh, kenapa bisa jatuh non Hana ?" bik Imah cepat-cepat membersihkan serakan nasi dan pecahan piring.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun