Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Berulang

27 Maret 2021   08:23 Diperbarui: 27 Maret 2021   08:29 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Memangnya kenapa Ma? Apa yang salah dengan menjadi pelacur, atau istri gelap?"

"Stop. Cukup. Diam kamu Mei. Jangan sembarangan bicara. Pelacur itu bukan profesi. Itu adalah sebuah kehinaan, sama seperti koruptor, maling, juga penipu."

"Enggak Ma. Pelacur itu tidak seburuk itu. Kita bekerja untuk menghibur dan menyenangkan orang. Aku dibayar untuk menjadi pendengar keluh kesah para lelaki yang kesepian karena istrinya terlalu sibuk bekerja atau mengurus anak mereka, sehingga mereka lupa untuk memperhatikan suaminya. Itu pekerjaan yang mulia apabila didasari dengan niat yang baik!"

Mama semakin berang mendengar penjelaskanku. "Tidak ada wanita penjual diri yang mendasarinya dengan niat baik, dasar anak bodoh!"

Mama menghajarku habis-habisan malam itu. Apa saja yang ada di dekatnya dilemparkan padaku. Mulai dari bantal, guling, pensil alis, benang jahit. Mama juga mencubit dan mejambakku dengan sadis. Aku tidak menyangka Mama akan semarah itu melihat pilihanku yang ingin mengikuti jejaknya.

Mama tidak pernah mengerti, meskipun aku dan kakak-kakak telah mengantongi ijazah SMA, tidaklah mudah bagi kami untuk mendapatkan pekerjaan di kota ini. Reputasi Mama sebagai seorang wanita tunasusila telah tersebar di seluruh kota kecil ini dan menyebabkan para putrinya tidak diterima oleh masyarakat. Jika kami mendapat tawaran pekerjaan, itu pasti sebagai pemandu karoke, penjaga warnet, sales promotion girl, atau pelayan kafe. Kami kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan toko atau restoran, serta admin di beberapa perusahaan kecil d kota kami.

"Ma, daripada aku menjadi SPG rokok yang setiap saat menjajakan barang dagangan kami pasti dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekitar, lebih baik aku jadi pelacur sekalian. Penghasilanku akan jauh lebih besar." begitu ujar Medina, kakakku yang paling tua saat ia baru saja diterima bekerja sebagai seorang SPG.

Mama langsung marah besar mendengar perkataan Medina dan mereka pun bertengkar hebat. Selepas pertengkaran itu, Medina yang sakit hati segera pergi dari rumah dan tidak pernah pulang lagi. Dia sempat menghubungiku dan menyampaikan bahwa dia telah pindah ke Surabaya dan mulai membangun karirnya sebagai pelacur. Medina juga berkata padaku bahwa ia telah sangat dekat dengan seorang petinggi sebuah pabrik makanan ringan di Surabaya. Medina tidak berharap dapat diperistri oleh lelaki tersebut, akan tetapi ia berpeluang untuk mendapatkan uang bulanan tetap darinya. Itu saja sudah sangat cukup bagi seorang perempuan, yang walaupun dengan ijazah SMA namun tidak memilki semangat dan keterampilan bekerja macam Medina.

Nasib kakakku yang berikutnya, yaitu Mareta juga mirip-mirip saja dengan nasib Mama dan Medina. Dia menjadi simpanan seorang pegawai bank swasta di kota kami. Tidak hanya itu, Mareta juga berani meminta penghidupan kepada seorang anak juragan ayam yang rencananya bakal maju menjadi calon legislatif. Mareta bahkan sudah diangkat berbagung menjadi tim sukses. Dengan mengencani kedua pria tersebut dalam kurun waktu hampir empat tahun, Mareta telah berhasil memilki rumah kecil yang terletak tidak jauh dari rumah Mama. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kehidupan kedua kakakku itu.

Sekarang, hanya aku anak Mama yang tersisa. Sebagai anak terakhir yang tidak pernah meninggalkan Mama, aku merasa harus memuliakan Mama lantaran hanya akulah satu-satunya harapanya saat ini. Aku sendiri yang setia mendampingi Mama di masa-masa sakitnya sementara kedua kakakku tidak begitu risau dengan hal ini.

"Meira, Mama minta maaf. Mama tidak mampu memberikan kehidupan yang baik untuk kamu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun