Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burgundy II

13 Maret 2021   08:31 Diperbarui: 13 Maret 2021   08:32 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia merupakan seorang sales di sebuah lighting company. Pagi itu, kuterima telpon darinya. Dia menyapaku dengan ramah lalu memperkenalkan dirinya serta menerangkan maksudnya menghubungiku. Rupanya dia hendak menawarkan produk lampu yang dijualnya pada perusahaan tempatku bekerja. Sebagai manager project perusahaan, aku punya kuasa memberinya kesempatan untuk mempresentasikan bermacam lampu yang dia jual.

Beberapa hari setelah percakapan kami via telepon, Milana datang ke kantorku untuk melakukan presentasi. Tidak kusangka bahwa perempuan yang tempo hari berbicara denganku itu masih sangat belia. Aku menduga umurnya belum genap 25 tahun. Suaranya sama persis seperti yang kudengar melalui ponselku kala itu. Suara yang begitu lembut dan nadanya tenang sekali. Saat sesi presentasi produk di hadapanku beserta tim, dia tampak kurang mempersiapkan diri. Product knowliedgenya sangat minim. Akan tetapi, dia berhasil menutupi kekurangannya dengan sikap tenang yang senantiasa diperlihatkannya. Ya, overall Milana mampu melakukan presentasi dengan lumayan okelah.

Selepas dia presentasi, kami saling berjabat tangan untuk sebuah profesionalitas dan basa-basi. Saat dalam genggamanku, tangannya terasa begitu dingin dan basah. Tanpa kendali aku menertawakannya dan mengatakan bahwa mungkin dia terlalu gugup berhadapan langsung denganku. Milana membalas tawaku dengan senyumnya yang sangat manis. Matanya enggan menatapku dan dia memilih untuk menundukkan pandangan. Sejak pertemuan pertamaku dengan Milana, raut wajahnya mulai menganggu kepalaku.

Aku begitu menyukai segala hal yang ada di wajahnya. Matanya selalu menatap dengan tajam dan penuh perasaan juga memancarkan kepercayaan diri, kulit wajahnya berwarna sawo matang yang selalu berubah menjadi kemerahan jika terkena sinar mentari, hidungnya lancip, bibirnya mungil, dan senyumnya itu, luar biasa elok. Dia adalah perempuan yang amat menyenangkan.

Aku pun memanfaatkan wewenangku untuk melibatkan perempuan pemilik senyum indah itu agar dapat bergabung dengan proyek di perusahaan tempatku bekerja. Aku memerintahkan anak buahku untuk menghubunginya dan mengatakan bahwa kemungkinan besar dia akan menjadi supplier lampu utama atas proyek perusahaan kami.

Dalam hitungan hari, perempuan itu datang lagi ke kantorku sambil membawa belasan jenis lampu. Mulai dari lampu bulb, lampu kapsul, lampu tangga, lampu kolam, lampu terowongan, hingga lampu jalan. Aku berinisiatif untuk memperkenalkannya dengan anak bosku yang sekarang telah sah menjadi pewaris ayahnya. Aku berharap dapat membantu Milana menjual semua lampunya saat dia bertemu langsung dengan pemilik seutuhnya perusahaan ini. Akan tetapi, segala hal yang telah aku rencanakan meleset. Sial betul. Si anak bosku ini menolak mentah-mentah segala lampu yang ditawarkan oleh Malina dalam perjumpaan pertama mereka. Ia bilang bahwa berbagai lampu itu tidak sesuai dengan standar perusahaan kami. Aku lihat Milana keluar dari ruang presentasi dengan wajah menahan malu, namun ia lagi-lagi dapat mengendalikannya. Tipis saja kusaksikan guratan kekecewaan di pelupuknya.

Sebelumnya, sekitar tiga hari yang lalu, aku sedikit memaksa gadis manis itu untuk berkencan denganku. Aku sangat percaya diri bahwa ajakanku itu pasti akan disambut dengan baik oleh Milana. Dia sedang begitu membutuhkan aku. Tuntutan pekerjaannya yang diharuskan untuk menjual barang perusahaan mau tidak mau akan membuatnya bergerak mendekatiku. Ya, setidaknya dia harus mau menemaniku makan malam atau siang beberapa kali untuk menjalin hubungan baik antar sales dan customer. Aku begitu paham karena sudah ada puluhan sales yang memperlakukanku demikian. Jadi aku sudah tahu betul akan ke mana arah mereka. Maka, aku manfaatkan kesempatan ini untuk mendekatinya juga. Barangkali dia adalah perempuan yang dikirim Tuhan untuk menjadi ibu atas anak-anakku kelak.

Tepat pada sabtu malam, aku bergegas menuju rumah kosnya yang berjarak sekitar 24 kilometer dari tempat tinggalku. Entah mengapa aku begitu tidak sabar untuk melihatnya. Aku memintanya agar berdandan yang cantik demi diriku, namun sejujurnya aku tahu bahwa perempuan macam Milana tidak akan melakukannya. Dia pasti akan menemuiku dengan persiapan sekedarnya dan tanpa merubah sedikit pun jati dirinya.

"Maaf ya telat sedikit." Aku meminta maaf seperti orang bodoh kepada Milana karena aku terlambat sekitar dua jam dari waktu janjian kami. Bukan tanpa alasan, aku tidak mampu untuk tepat waktu lantaran di perjalanan tadi aku tanpa sengaja menabrak mobil yang ada di depanku. Itu membuatku harus beradu mulut dahulu dengan pemilik kendaraan yang kutabrak. Aku sudah tidak mampu lagi berkonsentrasi untuk memikirkan hal lain kecuali senyum dan mata tajam Milana. Maka, untuk mempercepat urusan ini, aku berikan saja beberapa lembar uang ratusan ribu dan kartu namaku pada supir mobil tadi dan kukatakan padanya aku pasti akan bertanggung jawab, tetapi tidak bisa malam ini karena aku sedang buru-buru.

"Saya sudah hampir pergi ke toko buku." Milana berkata dengan sangat tenang saat menyambut kedatanganku, namun sorot matanya menyatakan bahwa ia sebetulnya begitu kesal menungguku sekian lama.

"Ayo, kita makan dulu ya, Sayang." Aku tidak ragu untuk langsung memanggilnya sayang karena aku sangat percaya diri, serta aku yakin bahwa dia tidak akan protes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun