Mohon tunggu...
Fidela Narasyah Ervan
Fidela Narasyah Ervan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Airlangga

Saya sangat tertarik pada lima subjek, yaitu agama, psikologi, sains pada umumnya, filsafat sains, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membentengi Integritas Pelajar dari Ancaman Budaya Ketidakjujuran

29 Juni 2022   08:29 Diperbarui: 29 Juni 2022   08:29 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bertahun-tahun yang lalu, sewaktu saya masih menduduki bangku kelas 2 SD, saya mengalami pengalaman yang cukup traumatis sebagai seorang anak kecil. Pada suatu hari, saya dan teman-teman sekelas saya diperintahkan untuk mengerjakan ulangan matematika. Saya ingat bahwa pada hari itu, saya mampu menyelesaikan ulangan lebih cepat daripada waktu tenggat pengumpulan. Sambil menunggu waktu berakhirnya ulangan, saya berpaling ke teman di sebelah saya.

Seingat saya, teman saya ini sempat ingin menunjukkan ke saya sebuah trik sulap sebelum ulangan. Dia berkata bahwa dia bisa membuat benda-benda menghilang. Mengingat hal tersebut, saya bertanya kepada teman saya apabila dia bisa membuat buku matematika saya menghilang atau tidak. Yah, namanya memang anak-anak; mereka mudah dipukau oleh trik sulap.

Saya mengeluarkan buku matematika saya dari tas. Kemudian, tiba-tiba dan tanpa peringatan, dia langsung mengambil buku itu dari tangan saya dan membukanya di tengah-tengah waktu ulangan. Saya pun merasa terkejut dan kebingungan, dan mencoba merebut buku itu kembali dari teman saya. Sayangnya, pada saat itulah guru kelas saya melihat bahwa saya dan teman saya sama-sama memegang buku matematika yang terbuka.

Saya akui bahwa dituduh menyontek secara sekilas mungkin dapat dihitung sepele, tetapi saya masih sangat kecil pada waktu itu. Saya belum mampu mengomunikasikan diri saya dengan baik, dan di atas itu saya masih naif sekali. Saya menangis sesudah saya pulang dari sekolah. Ibunda saya berhasil menjelaskan ke guru saya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Meski begitu, tetap saja ada teman saya yang tidak sadar bahwa saya tidak benar-benar menyontek.

Pengalaman ini merupakan salah satu alasan mengapa saya sangat anti-menyontek, dan saya menyesal melihat budaya ketidakjujuran ini semakin mengental saat saya memasuki jenjang SMP. Hal-hal terlihat relatif membaik ketika saya masuk SMA, tetapi saya tidak tahu apakah itu karena memang teman-teman saya jujur atau memang saya yang memalingkan wajah. Apalagi, saya belajar secara daring (online) selama 18 bulan terakhir saya menjadi murid SMA; tidak dapat dipungkiri bahwa membuka gawai kedua saat ulangan maupun ujian sangatlah mudah.

Aksi menyontek mungkin bukanlah sesuatu yang memiliki konsekuensi langsung yang fatal, tetapi tindakan tersebut merupakan suatu indikasi yang buruk mengenai masa depan negara kita. Semakin maraknya aksi menyontek, semakin kita dapat menyimpulkan bahwa murid-murid kita 1) tidak percaya diri dengan jawaban mereka sendiri, dan/atau 2) malas belajar, dan/atau 3) tidak segan untuk menipu, dan/atau 4) tidak beriman bahwa Allah bersama orang-orang yang jujur. Saya takut bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda-tanda dari sebuah penyakit kronis di dalam tubuh bangsa kita.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana caranya agar kita bisa menumbuhkan karakter bangsa yang berintegritas? Menurut saya, kita dapat mendekati masalah ini melalui dua sudut pandang, yaitu 1) perubahan pribadi dan 2) modifikasi lingkungan.

Saya sangat setuju dengan Stephen Covey yang mengatakan bahwa kebiasaan orang efektif nomor satu adalah proaktivitas. Apa pun yang terjadi, kita semua mampu memilih respons kita terhadap stimuli yang diberikan lingkungan luar (kecuali stimuli yang menghasilkan refleks tidak sadar, tentunya). Perubahan bermula dari kita sendiri. Kita harus mendidik anak-anak kita untuk bersikap proaktif dan moral.

Meskipun kita semua memiliki potensi untuk bersikap proaktif, kebanyakan dari kita merasa kesulitan untuk mengubah diri kita sendiri apabila lingkungan kita tidak mendukung perubahan tersebut. Maka dari itu, hal yang selanjutnya harus difokuskan adalah modifikasi lingkungan. Kita harus menumbuhkan lingkungan yang mampu menopang pertumbuhan karakter jujur dan berintegritas yang baik.

Salah satu cara untuk memodifikasi lingkungan adalah dengan mengubah cara kita menguji murid-murid kita. Selama saya menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, saya tidak pernah melihat bentuk kecurangan akademik apa pun. Saya berhipotesis bahwa hal tersebut terjadi karena beberapa poin, yaitu 1) waktu yang diberikan sangat mepet saat ujian sehingga tidak ada waktu untuk berdiskusi atau menyontek, 2) beberapa jenis ujian bersifat open book sehingga tidak perlu berdiskusi atau menyontek, dan 3) beberapa pertanyaan menanyakan opini pribadi kita, bukan fakta.

Menurut saya, selain mengubah cara kita menguji para peserta didik, kita juga harus menanamkan ide dalam anak bahwa hakikatnya tidak apa-apa apabila mereka tidak mendapatkan nilai bagus maupun sempurna, asalkan mereka telah berusaha semaksimal mungkin dengan jujur. Sayangnya, ide bahwa harga diri seorang anak direfleksikan oleh nilai ulangan yang dia dapatkan mungkin sudah sangat mengakar di Indonesia; bahkan, mungkin ada beberapa anak yang merasa bahwa orang tuanya hanya akan menunjukkan rasa kasih sayang kepadanya jika dia mendapatkan nilai yang bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun