Konflik Sejak kemerdekaan Myanmar pada 1948, etnis Rohingya sebagai minoritas Muslim telah terjebak dalam penindasan sistematis yang semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Salah satu momen paling menentukan terjadi pada 1982, kala pemerintah menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang secara efektif mencabut status kewarganegaraan mereka. Hasilnya, komunitas Rohingya terjerumus menjadi salah satu kelompok paling besar tanpa kewarganegaraan (stateless) di dunia.
Pada masa kekuasaan Inggris di Rakhine (1824-1948), jutaan buruh dari wilayah Bengal yang kini menjadi Bangladesh, diundang untuk bekerja di sektor pertanian dan pembangunan infrastruktur. Kolonial mengangkat sebagian Muslim Rohingya ke jabatan-jabatan pemerintahan lokal, yang kemudian menimbulkan kecemburuan dan ketegangan dengan penduduk Rakhine yang beragama Buddha. Di sinilah istilah "Rohingya" mulai bermunculan sebagai penanda klaim historis atas tanah kelahiran mereka, meski pemerintah Myanmar menyebut mereka pendatang gelap dari era kolonial. Ketika UU Kewarganegaraan 1982 diterbitkan, ketentuan yang mensyaratkan bukti kedatangan sebelum 1823 membuat golongan ini kehilangan hak kewarganegaraan dan terjerumus menjadi komunitas tanpa negara (stateless).
Setelah merdeka pada 1948, rezim militer pimpinan Jenderal Ne Win (1962) mengusung agenda "Burmanisasi," menjadikan budaya dan agama Buddha sebagai identitas resmi bangsa. Dalam katalog operasi militer seperti Nagamin pada 1978 dan Pyi Thaya 1991-1992 ratusan ribu Rohingya diusir ke Bangladesh melalui iring-iringan kekerasan yang sistematis: pembakaran kampung, perampasan lahan, dan intimidasi fisik. Sementara itu, tanah-tanah milik Rohingya diubah menjadi "desa model" untuk komunitas Buddha, memperlebar jurang ekonomi dan sosial.
Di bawah bayang-bayang mayoritas Buddha, kekhawatiran atas "invasi Islam" dimainkan oleh kelompok-kelompok nasionalis seperti Ma Ba Tha, yang menabur ketakutan akan ledakan populasi Muslim. Ketegangan memuncak pada 2012, ketika tuduhan pemerkosaan terhadap seorang wanita Buddha memicu kerusuhan antarkomunal. Pemerintah menambal keretakan dengan aturan-aturan diskriminatif dari pembatasan pernikahan campur hingga kuota kelahiran bagi Muslim. Ambisi menguasai sumber daya alam Rakhine yaitu gas bumi dan lahan subur menjadi motif lain di balik tekanan terhadap Rohingya. Militer, yang terlibat dalam proyek pipa gas Shwe bersama investor asing, menutup akses komunitas lokal terhadap manfaat ekonomi. Pemerintah Myanmar justru memanfaatkan krisis ini untuk menegaskan kendali atas aset-aset strategis.
Meski PBB telah menyematkan label "pembersihan etnis" pada perlakuan terhadap Rohingya, respons internasional berjalan lamban. Prinsip non-intervensi ASEAN menghalangi langkah kolektif di kawasan, sementara Bangladesh, sebagai negara tujuan utama, kewalahan menampung hampir satu juta pengungsi. Usaha pemulangan kembali terus kandas karena Myanmar enggan mengakui hak kewarganegaraan mereka membiarkan generasi Rohingya terperangkap dalam limbo kewarganegaraan yang tiada ujung.Dalam konteks ASEAN, Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim memikul tanggung jawab moral sekaligus strategis terhadap krisis ini. Sejak 2011, provinsi Aceh telah menjadi pintu masuk bagi sekitar 1.800 pengungsi Rohingya hingga 2023. Namun, peran Jakarta jauh melampaui sekadar memberikan tempat berlindung. Bantuan kemanusiaan digulirkan dalam berbagai bentuk: pada 2017, misalnya, pemerintah mengirim pasokan pangan dan medis, serta memfasilitasi pendirian fasilitas kesehatan dan pendidikan di kamp pengungsian.
Secara diplomatik, Indonesia juga mengambil inisiatif dengan mengusulkan "Formula 4+1" kepada penasihat negara Myanmar, Aung San Suu Kyi. Empat pilar utama formula ini adalah penghentian kekerasan; perlindungan semua kelompok etnis di Rakhine; pemulihan stabilitas dan upaya pembangunan; serta akses bantuan kemanusiaan ditambah poin kelima berupa kerjasama Myanmar dengan mitra internasional, termasuk Indonesia. Di ranah global, Indonesia turut aktif mendukung resolusi PBB yang mengutuk pelanggaran hak asasi di Myanmar, serta menyalurkan sumbangan sekitar Rp7,5 miliar lewat mekanisme ASEAN pada 2019.
Namun, upaya tersebut menemui kendala. Di Aceh, sebagian warga lokal sempat menolak kehadiran pengungsi karena terbatasnya kapasitas infrastruktur dan kekhawatiran sosial. Sementara di tingkat ASEAN, semangat "non-intervensi" membatasi kemampuan kolektif untuk memaksa perubahan kebijakan junta militer di Naypyidaw. Meski demikian, kiprah Indonesia mencerminkan kekuatan diplomasi lunak (soft power) yang mengedepankan nilai kemanusiaan dan semangat "Bebas Aktif" dalam politik luar negeri. Meskipun hasil yang dicapai belum sepenuhnya memuaskan, komitmen Indonesia menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi bagian dari solusi dalam konflik yang penuh kompleksitas ini.
Pendekatan Idealis
Pendekatan idealis dalam kebijakan luar negeri Indonesia terhadap krisis Rohingya menekankan pentingnya nilai-nilai universal seperti Hak Asasi Manusia dan solidaritas global. Dalam perspektif ini, prinsip politik luar negeri "bebas dan aktif" tidak hanya berarti menjauh dari keterikatan blok kekuatan besar dunia, tetapi juga aktif mempromosikan penyelesaian damai berdasarkan norma hukum internasional dan etika global. Sikap ini tercermin dalam keterlibatan Indonesia di forum-forum multilateral, termasuk ajakan untuk menghentikan kekerasan di Negara Bagian Rakhine dan memastikan distribusi bantuan kemanusiaan sejalan dengan rekomendasi ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) dalam pertemuan dengan para Menteri Luar Negeri ASEAN pada 2024.
Sementara itu, pendekatan behavioralis melihat efektivitas diplomasi kemanusiaan melalui ukuran yang lebih objektif dan kuantitatif. Data dari UNHCR hingga Desember 2023 menunjukkan bahwa sebanyak 1.752 pengungsi Rohingya tiba di Aceh menggunakan 11 kapal. Angka ini merupakan bagian dari total 12.295 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar di Indonesia. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir saja, lebih dari 2.300 pengungsi mendarat melalui jalur laut, menuntut respons kemanusiaan cepat yang kini ditangani oleh koordinasi antara UNHCR dan IOM, terutama di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Kombinasi pendekatan idealis dan behavioralis ini memperlihatkan bahwa diplomasi Indonesia tidak hanya bergerak pada tataran prinsip, tetapi juga memperhatikan realitas empiris di lapangan dalam menilai keberhasilan upaya kemanusiaan.
Level Analisis (State/Nation)