Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Putusan JR MK: Jaksa Dilarang PK

27 Mei 2016   16:07 Diperbarui: 27 Mei 2016   16:17 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Abdul fickar hadjar

Ketika pagi itu (17/05/16) diminta pendapat tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Judicial Review Pasal 263 ayat (1) KUHAP oleh Ambar (Kompas.com) saya spontan bilang putusan tersebut justru membawa "angin segar" bagi para pelaku kejahatan, khususnya untuk tindak pidana korupsi. Mereka yang melakukan korupsi, tetapi “dianggap” tidak terbukti, bisa bebas. Siangnya Rini & Rori MetroTV ngontak minta untuk acara primetime news dengan topic yang sama. Sorenya rini memberi tahu partner diskusi saya, Hamdan Zulva (mantan Ketua MK) dan M. Prasetyo (Jaksa Agung), namun ketika acara berlangsung karena kesibukannya pa Prasetyo tidak bisa.

Ketentuan yang di judicial review oleh Isteri Joko Chandera, seorang koruptor yang melarikan diri dan berganti kewarganegaraan Papua Niugenea, adalah   Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 (KUHAP) menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang  telah  memperoleh  kekuatan  hukum  tetap,  kecuali putusan  bebas  atau  lepas  dari  segala  tuntutan  hukum,  terpidana  atau  ahli  warisnya  dapat  mengajukan permintaan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung” Sebagaimana pertimbangan hukum MK, argument yang dikemukakan oleh Hamdan Zulva bahwa hak upaya hukum PK itu sepenuhnya milik Terpidana, ketentuan itu tidak memberikan hak pada Jaksa untuk mengajukan upaya yang sama, hanya saja dalam praktek sejak perkara Mokhtar Pakpahan, Jaksa bisa mengajukan PK dan diterima oleh Mahkamah Agung.

Argumen lainnya adalah ketidak seimbangan posisi antara Terpidana dengan Negara, dimana Negara punya kekuasaan apa saja selain mengajukan warga Negara ke pengadilan, sedangkan Terpidana/terdakwa hanya mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum melalui pengadilan, begitu argument Hamdan malam itu. Argumen ini sejalan dengan pertimbangan MK dalam memutus perkara itu (…..mungkin karna Hamdan Zulva mantan Ketua MK yang menggantikan Akil ya !). Jika dasar argument ini ditarik keatas, maka seperti yang saya kemukakan pada Ambar, berujung pada penganutan system hukum “civil law”  yang salah satu cirinya adalah system “inkuisitorial” dalam system hukum acara pidana, dimana tersangka/terdakwa lebih ditempatkan sebagai objek dan Hakim yang seharusnya bertindak sebagai “impartial referee” berubah menjadi an active inquisitor who is free to seek evidence and to control the nature and objective of the inquiry.Pertandingan di pengadilan  merupakan pertandingan yang tidak seimbang antara Terdakwa (WN) melawan Negara yang diwakili Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dasar pikiran inilah yang jika dicermati menjadi dasar pertimbangan MK dan argumennya Hamdan Zulva.

Ini yang saya kritisi baik melalui Ambar (http://nasional.kompas.com/read/2016/05/17/10422911/Jaksa.Tak.Boleh.Ajukan.PK.Angin.Segar.untuk.Koruptor) maupun pada diskusi di Metrotv yang dipandu Rori. Seharusnya dalam melihat dan mendudukan posisi Terdakwa di pengadilan (khususnya peradilan korupsi) kita tidak lagi harus mengaitkan pada sistem hukum yang dianut, lebih jauh mestinya kita konsisten khususnya dalam perkara pidana yang bertujuan mencari kebenaran materiil dan keadilan. Para pihak (Terdakwa & JPU) di dalam sebuah persidangan pidana sama-sama bertujuan mencari kebenaran materiil dan keadilan, karena itu seharusnya mempunyai hak yang sama termasuk hak untuk mengajukan upaya hukum PK.

Jika larangan PK ini pada waktu system inkuisitorial berlaku (system yang menempatkan Tersangka/terdakwa sebagai objek) ketentuan larangan PK terhadap JPU dapat dipahami, namun kini peraturan perundangan termasuk konstitusi kita sudah lebih moderat dengan memasukan hak asasi manusia (HAM) sebagai bagian dari hak-hak tersangka, terdakwa / terpidana, beberapa peraturan perundangan (seperti UU Korupsi, UU TP Pencucian Uang, dan UU lainnya) sudah memberikan akses pada para tersangka/terdakwa/terpidana untuk berupaya membela diri membuktikan dirinya tidak bersalah, maka menurut saya keliru menempatkan Tersangka/Tewrdakwa/Terpidana pada posisi yang lemah dibawah Negara ic JPU. Bukti nyata secara sosiologis atau dalam bahasa saya “realitas social penegakan hukum” (gampangnya praktek peradilan) membuktikan para Tersangka/Terdakwa/Terpidana Korupsi serinkali menghegemoni (menguasai) proses peradilan, tidak hanya pada peradilan bawahan (PN) bahkan pada level yang paling atas sekalipun dapat dikuasinya.

Sumberdaya yang dimiliki para Tersangka/Terdakwa/Terpidana bisa memanfaatkan celah juridis jaminan atas HAM dan hak untuk membela diri membuktikan tidak terjadinya tindak pidana. Sistem ini juga telah ditunjang oleh lemahnya sumberdaya manusia (SDM) peradilan, Hakim yang mudah disogok, Panitera dan karyawan pengadilan yang nyambih menjadi calo-calo perkara (sebagaimana terjadi penagkapan-penagkapan melalui OTT KPK) yang tidak tanggung-tanggung dari level pengadilan negeri sampai yang paling atas Mahkamah Agung. Situasi ini telah cukup menggambarkan begitu dahsyatnya sumberdaya para Tersangka/Terdakwa/Terpidana bisa membayar saksi, membayar ahli yang paling professional sekalipun bahkan menyuap dan mengatur para hakim. (oh negeri ku ………..)

Disisi yang lain, meskipun sah-sah saja MK menafsir Pasal 263 (1) KUHAP dengan melarang JPU untuk mengajukan upaya hukum PK, tetapi menurut saya ada inkonsistensi berpikir dalam memutuskan JR itu. Yang saya maksudkan inkonsisten adalah ketika MK memutus JR terhadap Pasal  268 ayat (3) KUHAP yang membatasi upaya hukum PK hanya satu kali, dan memutuskannya ketentuan itu bertentangan dgn konstitusi. MK mendasarkan pendapatnya bahwa dalam suatu perkara pidana upaya hukum PK adalah upaya untuk mencari kebenaran materil dan keadilan, karena penyelenggaraan peradilan pidana itu sangat mungkin tidak memuaskan bahkan sangat mungkin menjadi peradilan sesat, maka pencarian kebenaran materiil dan keadilan itu tidak boleh dibatasi baik waktu pengajuannya maupun jumlah pengajuannya, artinya upaya hukum PK itu (oleh Terpidana) bisa dilakukan lebih dari satu kali.

Dengan dasar berpikir itulah sebenarnya menjadi tidak konsisten MK membatasi tafsir Pasal 263 ayat (1) KUHAP dengan membatasi JPU untuk mengajukan upaya PK, padahal dua pihak dalam perkara pidana (Terdakwa/Terpidana dan JPU) sama-sama sedang mencari kebenaran materiil dan keadilan. Karena itu masuk akal pertanyaan Rori (MetroTv) ada apa dengan MK ? (bukan ada apa dengan cinta he he he katanya). Dengan spontan saya menjawabnya, bahwa generasi baru (hakim-hakim konstitusi) MK ini bersifat positivis dan kurang berani berimprovisasi menemukan hukum, padahal realitas penegakan hukum sudah begitu nyata rusaknya. He…he… di kepala saya sebenarnya terpikir juga, jangan-jangan MK juga telah terhegemoni juga, ah mustahil kata hati kecil saya, tapi kok peristiwa “Akil Mukhtar” bisa terjadi ? Wallahu alamu bishawab (tebet22052016).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun