Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mem"PTUN"kan Perkara Pidana

20 Oktober 2015   23:40 Diperbarui: 21 Oktober 2015   00:31 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

MEM “PTUN” KAN PERKARA PIDANA:
terobosan atau mencari peluang menang ?

Abdul fickar hadjar

Penetapan sebagai tersangka terhadap pengacara senior OCK (istilah senior dan yunior dalam dunia per”advokat”an nampaknya hanya diukur dari durasi seseorang menggeluti profesi ini, bukan pada kematangan dan kearifan atau ke”mumpuni”an seseorang sebagai ahli hukum dan pemihakannya pada kejujuran), tidak terlepas dari perkara hukum yang ditanganinya. Yaitu suap terhadap 3 orang Hakim PTUN Medan yang menangani perkaranya menguji kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang menerbitkan sprindik atas kasus dugaan korupsi Bansos dan Bantuan Daerah Bawahan (BDB) di Sumatera Utara. Meskipun institusi Kejaksaan Tinggi merupakan bagian dari “ketata-usahaan negara” atau lembaga yang mengurusi administrasi negara bidang penegakan hukum pidana, namun tak serta merta ia dapat ditempatkan sebagai adminstrasi negara pada umumnya yang product penetapannya dapat dijadikan objek gugatan di PTUN.

Paling tidak ada dua indikator untuk menyatakan bahwa kasus tersebut masusk ke ranah pidana, yaitu pertama disebutnya lembaga Kejaksaan Tinggi dan kedua sprindik (surat perintah penyidikan) kasus dugaan korupsi, keduanya adalah elemen perkara pidana. Jadi dengan indikator ini sesungguhnya sudah dapat diketahui sejauhmana kewenangan PTUN mengadili keputusan tata usaha negara (KTUN) yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dan menurut undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5 tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009) salah satu KTUN yang tidak termasuk objek dari PTUN karena termasuk KTUN yang didasarkan pada peraturan perundangan “yang bersifat” pidana. Ini yang sering saya sebut sebagai pakem hukum atau dalam perkataan lain rasionalitas hukum yang tidak boleh disimpangi.

Model perkara lain adalah memPTUNkan penolakan grasi terhadap hukuman pidana yang belakangan marak diajukan oleh tereksekusi pidana mati narkoba. Keputusan Presiden tentang penolakan Grasi, tidak termasuk juridiksi PTUN, karena Keputusan Presiden tentang Grasi merupakan dan masuk dalam ranah hukum pidana. Selain itu menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra, posisi Presiden ketika mengeluarkan KTUN penolakan grasi tidak sama dengan pejabat tata usaha negara, grasi merupakan hak Kepala Negara yang diatur oleh undang-undang, bahkan sudah ada yurisprodensinya (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d8e42653d2a/grasi-dan-pk-kandas--todung-akan-gugat-jokowi-di-ptun).

Yang menjadi persoalan adalah mengapa masih saja harus terjadi membawa perkara pidana ke ranah PTUN?. Tanpa bermaksud menyudutkan pihak-pihak tertentu, bahasan ini hanya ingin melihat apakah langkah ini merupakan terobosan atau telah terjadi irrasionalitas hukum dalam rangka memperoleh kemenangan, mengingat gejala memperlakukan prinsip-prinsip hukum sekehendak hati (ingat kasus perluasan praperadilan) telah menjadi bagian aktivitas penegakan hukum sehari-hari, meskipun ketentuan yang ditafsir luas itu sudah jelas dan tegas maknanya.
Juridiksi PTUN

Selain memberikan kewenangan untuk menguji segala macam jenis KTUN sepanjang bersifat kongkrit, individual dan final, UU-PTUN (Pasal 2) pun telah membatasinya pada beberapa jenis KTUN yang tidak termasuk objek PTUN, diantaranya yaitu: KTUN yang dikeluarkan berdasarkan KUHPidana, KUHAcara Pidana atau peraturan lain yang bersifat pidana. Dalam konteks ini maka gugatan kantor pengacara OCK atas Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) korupsi Kajati Sumut atau gugatan atas Kepres penolakan grasi, objeknya tidak termasuk KTUN yang menjadi kewenangan PTUN, karena baik sprindik maupun Kepres adalah KTUN yang dikeluarkan berdasarkan Hukum Acara Pidana dan/atau pun didasarkan pada peraturan lain yang bersifat pidana ic UU tentang Grasi (terakhir diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010) disamping dalam konteks ini kapasitas Presiden sebagai Kepala Negara yang bukan pejabat negara sebagaimana dimaksud UU-PTUN.

Paling tidak ada dua alasan yang dikemukakan pihak-pihak yang mengajukan gugatan PTUN atas KTUN yang bersifat pidana, antara lain, pertama: alasan ideologis, yaitu perlawanan terhadap pemberlakuan hukuman mati, dan kedua alasan yang bersifat pragmatis. Bagi alasan yang pertama sebenarnya lebih memiliki landasan dan argumen yang kuat dibandingkan alasan yang kedua. Alasan pertama selain bertujuan membatalkan pelaksanaan hukuman mati juga bisa ditempatkan sebagai keberatan terhadap eksistensi “hukuman mati” dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sebenarnya upaya yang bisa dilakukan sangat terbuka dan bisa dilakukan tanpa mengaitkannya dengan kasus, yaitu melalui legislatif review (perubahan undang-undang melalui DPR) ataupun judicial review (pengujian undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi). Jika upaya lain sebelum dilaksanakan hukuman mati itu sudah dilakukan, maka dapat dipahami gugatan ke PTUN merupakan upaya terahir bagi perjuangan penghapusan hukuman mati.

Demikian halnya dengan alasan yang bersifat pragmatis, yang sesungguhnya menggambarkan perubahan paradigma mind-set profesi pembela (baca Advokat) yang semula berjuang menegakkan hukum dan keadilan bergeser kearah “memperjuangkan kemenangan” bagi kliennya, termasuk dengan melakukan upaya-upaya hukum yang sesungguhnya menyimpang dari asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum bahkan rasionalitas hukum. Orang sering membahasakannya dengan terminologi “terobosan hukum” yang diartikan sebagai upaya-upaya melakukan perubahan hukum melalui perkara-perkara yang diajukan meskipun sesungguhnya salah kamar. Salah kamar disini berarti tidak pada tempatnya mengajukan perkara yang bersifat pidana ke kamar administrasi negara, kamar pidana punya mekanisme pengujian sendiri melalui institusi “praperadilan” atau Hakim pemeriksa pendahuluan (hakim komsaris) sebagaimana dirancangkan dalan RUU KUHAP yang baru.

Karena itulah UU PTUN memisahkan objek-objek KTUN yang dapat diajukan kePTUN, selain KTUN yang bersifat keperdataan, KTUN yang bersifat pengaturan/regeling (sebelum reformasi ada Kepres bersifat regulasi yang sekarang berubah menjadi Perpres), KTUN yang beum final, KTUN hasil badan peradilan, KTUN mengenai TNI, KTUN hasil pemilu maupun pemilukada dan tentu saja KTUN yang bersifat pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun