Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Analisis Komparatif Budaya Hukum Kepolisian Anglo Saxon & Eropa Kontinental

25 November 2012   05:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:42 2921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ANALISIS KOMPARATIF BUDAYA HUKUM

KEPOLISIAN ANGLO SAXON & EROPA KONTINENTAL

(Polisi Negara Inggris dll & Polisi di Negara Belanda dll)

Oleh: Abdul Fickar Hadjar

Budaya hukum pada dua model pembentukan kepolisian sangat berbeda, karena berangkat dari dua paradigma berbeda. Disatu pihakberangkat dari sejarangnya sebagai alat kekuasaan yang sentralistik, militeristik dan positivistik dalam menyelesaikan konfilk, di pihak lain polisi yang berangkat dari paradigma kelahirannya yang berasal dari dan dibesarkan di masyarakat, sehingga orientasi fungsinya lebih pada pencegahan dan penonjolan rasa keadilan dalam masyarakat. Meski begitu pola interaksi di dalammasyarakat, baik polisi yang berasal dari penbentukan yang bottom up maupun top down pola interaksinya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.



I.Pendahuluan

Kehidupanmasyarakat tidak mungkin terpisah dari sistim hukum yang berlaku dimana masyarakat hidup, meskipun dapat dipastikan sebagian dari masyarakat belumpernah bersentuhan dengan pengadilan, Jaksa, Polisi atau Advokat. Akan tetapi mulai dari pergi ke kantor, ke tempat bekerja atau kemanapun dengan menggunakan kendaraan bermotor, membeli bensin dan melakukan hubungan-hubungan dengan pihak lain dalam rangka menjalankan pekerjaan atau profesi tidak akan luput dari sistim hukum. Mulai hukum lalu lintas yang mengatur prilaku berkendaraan, hukum perjanjian yang mengatur setiap transaksi yang dilakukan bahkan hukum perlindungan konsumen siap mengikuti tatkala seseorang mengkonsumsi suatu produk industri. Yang akan ditegakkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum jika terjadi pelanggaran atau perselisihan dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat dan sistem hukum tidak terpisahkan bahkan sistem hukum tidak akan pernah muncul secara terisolasi dari segi-segi lain kehidupan masyarakat, melainkanharus merupakan bagian dari pola kultur suatu bangsa dan hukum terintegrasikan di dalamnya, hukum merupakan bentuk dan anifestasi sosiokultural (Satjipto Raharjo : 1986).Lawrence M Friedman memperkenalkan paradigma sistem hukum itu terdiri dari atas tiga komponen, dimana budaya hukum menjadi salah satu komponennya.Selengkapnya komponen sistem hukum itu adalah[1]Pertama, sistem hukum mempunyai struktur. Sisitem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dengan ecepatanyang berbeda, dan setiap bagian yang berubah tidaksecepat perubhan bagian lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan -aspek sistem yang berada disini kemarin- (bahkan padaabad terakhir) akan terus ada dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum- kerangka atau kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.[2]Struktur dari sistem hukum terdiri dari unsur-unsur: jumlah pengadilan, yuridiksinya (jenis perkara, daerah hukum kewenangan, dan bagaimana dan mengapa), mekanisme banding, kasasi, Peninjauan Kembali dan sebagainya.Struktur juga berarti bagaimana badan legislatifditata, berapa banyak anggota yang duduk di Komisi perdagangan,apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang Presiden, prosedur yang harus dilakukan Kepolisian dan sebagainya.Dengan kata lainStruktur hukum merupakan bagian dari sistem hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, termasuk dalam komponen ini antara lain lembaga pembuat undang-undang, pengadilan dan lembaga yang diberi wewenang untuk menerapkan hukum serta lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan penindakan terhadap pihak yang melanggar ketentuan hukum.

Kedua, aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalahaturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Hukum dalam istilah yang tidak asing lagi—faktanya antara lain batas kecepatan kendaraan di jalan raya, pencuri yang daat dijebloskan ke penjara, dan menurut hukum setiap produk makanan harus merinci bahan-bahannya di lebel botol. Tetapi “substansi” hukum juga termasuk jika Polisi hanya menangkap yang kendaraan berkecepatan tinggi tetapi tidak yang melanggar lalu lintas lainnya, atau pencuri hanya dijatuhkan hukuman percobaan karena tidak mempunyai catatan kriminal, atau Badan Makanan dan Obat (the Food & Drug Administration) tidak tegas terhadap industri makanan dan minuman. Inilah pola kerja hukum yang hidup (living law). Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu- keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Dengan kata lainSubstansi hukum merupakan hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum, hasil ini dapat berwujud hukum in concreto atau kaedah hukum khusus dan kaidah hukumin-abstracto atau kaidah hukum umum. Substansi jugaberarti produk orang yang berada dalam sistem hukum, penekananya pada hukum yang hidup (living law) bukan hanya aturan dalam kitab undang-undang (law books).

Komponen ketiga dari sistem hukum yang dalam beberapa hal kurang jelas, yaitu Budaya Hukum.Yang dimaksud budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum—kepercayaan, nilai, pemikiran sertaharapannya. Jika kita bicara tentang orang Amerika yangpengadilan oriented (litigous), atau kecenderungan orang Katolik Roma yang taat cenderung menghindari perceraian (karena agamanya melarang), atau orang yang tinggal di tempat kumuh tidak mempercayai polisi, atau kelas menengah cenderung banyak menuntut kepada Pemerintah, atau Mahkamah Agung mempunyai kewibawaan, sesungguhnya kita sedang membicarakan mengenai budaya hukum.Dengan kata lain budaya hukum itu adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.

II.Pengertian Budaya Hukum

Sebagai suatu konsep, istilah budaya hukum relatif baru. Mungkin karena masih muda, beberapa karya yang membahas persoalan itu belum menampilkan batasan yang komrehensif. Sebagaian besar masih disibukkan untuk memantapkan konsep. Namun sebagai suatu realitas, kehadirannya dirasakan nyata dan memiliki berbagai implikasi langsung dalam interaksi sosial, terutama dalam hubungan sosial yang mempunyai nilai ekonomis antarpihak yang dilingkupi subsistem budaya yang berbeda. Namun setiap kali berusaha untuk menangkap “apa” yang disebut Budaya Hukum, kita agaknya mengalami kesulitan.[3]

Konsep budaya hukum (legal culture) pertama kali dikemukakan oleh Lawrence M Friedman dalam karya yang diberinya judul, “Legal Culture and Social Development” [4] Apa yang dikemukakanoleh Friedman secara panjang lebar mengenai budaya hukum, oleh Blankenburg diringkas dan dikemukakan bahwa Budaya hukum adalah keseluruhan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan TB Ronny Rahman Nitibaskara mendefenisikan budaya hukum adalahsebagai sub-budaya yang bertalian dengan penghargaan dan sikap tindak manusia terhadap hukum sebagai realitas sosial.[5]

Dari defenisi dan konsep yang dikemukakan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa budaya hukum adalah sikap suatu kelompok masyarakat terhadap hukum sebagai suatu realitas, dimana sikap tersebut dapat berupa ketaatan, resistensi bahkan justru disalah gunakan.

Karenanya setiap masyarakat, setiap negara, setiap komunitas memiliki budaya hukum, mereka memiliki pandangan yang tidak sama terhadap hukum. Ketidaksamaan itu dipengaruhi oleh sub culture.Satu sub budaya yang menonjol adalah budaya hukum dari orang dalam (insiders) yaitu hakim dan penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri. Nilai dan sikap mereka membentuk banyak keragaman terhadap sistem itu.[6]

III.Budaya Persaingan Penegak Hukum

Politik perkembangan peradilan di Indonesia yang dibahas oleh Danniel S Lev dalam bukunya Legal Evolutionand Polithical Authority in Indonesia terutama yang membahas topik “Polisi versus Jaksa”[7] menunjukan bahwa sejak awal kemerdekaan Indonesiatelah terjadi persaingan antar lembaga penegak hukum untuk mendapatkan “otoritas dan prestise” yang lebih besar dalam perkembangan negara. Sebagaimana ditunjukan pada peristiwa 1946, saat Perdana Menteri pertama RI Sutan Syahrirmengalihkan posisi kepolisian dari Kementerian Dalam Negeri ke Perdana Menteri. Pihak polisi menganggap hal itu sebagai pengakuan atas pentingnya lembaga kepolisian.

Setelah berlalu 66 tahun dari peristiwa tersebut, momentum reformasi 1998 yang berhasil memisahkan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP-MPR) No. VI/MPR/2000, dan TAP-MPR No. VII/MPR/2000 tentang peranan TNI dan Polri, ada kecenderunganfenomena persaingan itu muncul kembali. Sebagai contoh terakhir pada kurun waktu September – Oktober 2012persaingan itu muncul dalam penanganan kasus korupsi di Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas) antara Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdasarkan politik hukum dan Undang-undang Anti Korupsi lebih berwenang menangangani kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik penyelenggara negara.[8]

Polri merasa final posisinya dibawah Presiden sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika dulu pengalihan posisi polisi tidak disertai dengan revisi dua undang-undang pra-perang yang berlaku untuk organisasi dan kompetensi polisi yaitu H.I.R. dan Undang-undang Organisasi Peradilan (rechterlijke organisatie), demikian pula pada saat pemisahaan Polri dari TNI tidak disertai revisi KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) sebagai landasan organisasi dan kompetensi Polri.[9]

IV.Model-model Pembentukan Polisi di Dunia

Di dunia dikenal ada dua type pembentukan Polisi, timbulnya dua type pemolisian ini dipengaruhi oleh perkembangan historis yang berbeda antara polisi di Inggris dan polisi Eropa Kontinental (Belanda, Perancis, Jerman, Yunani). Polisi yang pembentukannya berasal dari masyarakat dibutuhkan karena sicial control dinilai tidak efektif mengatasi masalah ketentraman dan ketertiban umum dalam kehidupan bersama. Polisi sebagai lembaga sosial, seperti tithingman di Inggris, constable di Perancis, Shire reeve di Amerika Serikat lama-lama menjadi social control, dan kemudian negara memberikan wewenang untuk menegakkan hukum. Polisi yang pembentukannya dilakukan oleh negara, digunakan sebagai alat kekuasaan politik untukmenjaga kebijakannya, seperti yang penah terjadi di Uni Sovyet, Cina, Cuba dan lain-lain.

Secara teoritis model-model pembentukan polisi didunia dapat dilihat dari perbandingan di beberapa negara. Perbandingan ini dapat diklasifikasikan dari beberapa perspektif, antara lain:[10]

-Perspektif:liberal-radikal

Perspektif liberal-radikal ini sangat mempengaruhi bentuk organisasi, pendekatan, mekanisme kontrol,dan teknik ketahanan polisi. Dua model ini amat kontradiktif, yaitu:

Perspektif liberal mengarahkanpolisi harus menjadi bagian dari public order dan fungsi pemolisian (policing) sebagai dasarnya. Ini berartikomunitas polisi (community policing) menjadi bagian yang kuat dalam kelembagaan polisi, karena itu masyarakat terlibat aktifdalam menciptakan kontrol terhadap polisi. Perspektif ini menghendaki agar polisi bukan merupakan alat kekuasaan negara dan pemerintah, tetapi lebih mengabdi sebagai pelindung masyarakat secara umum. Masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap fungsi-fungsi pemolisian yang sebagian dijalankan oleh polisi. Sedangkan perspektif radikal merumuskan polisi sebagai alat negara (agen kekerasan). Dua perspektif ini merupakan prinsip awal dalam memposisikan politik dalam sistem ketatanegaraanyang dianut.

-Bentuk organisasi: bottom up dan top down

Timbulnya dua tipe pemolisian berasal dari perkembangan historis yang berbeda antara polisi Inggris dengan polisi Eropa Kontinental (Belanda, Perancis, Jerman, Yunani). Tipe Eropa Kontinental berasal dari pemisahan fungsi perlindungan terhadap ketertiban umum dengan penegakan hukum. Perkembangan model ini menunjukan bahwa fungsi kepolisian merupakan fungsi negara yang melekat dalam sejarah negara feodal (kerajaan). Titik ekstrim tipe pemolisian eropa kontinental adalah sebuah polisi yang otoriter, dimana polisi memiliki wewenang luas untuk mengatur sejumlah besar aspek kehidupan masyarakat, termasuk masalah moral, pemikiran politik, bahkan penyimpangan samar dari segi hukum. Yang termasuk tipe model organisasi polisinya yang sentralistik dengan kontrol pusat, antara lain : Perancis, Belanda, Jerman, Yunani termasuk Indonesia.

Sementara tipe Anglo-Saxon berasal dari sejarah polisi Inggris. Institusi kepolisian di Inggris dimulai dari Franklepledge System, yang menempatkan fungsi kepolisian pada masing-masing individu masyarakat. Lembaga kepolisian type Anglo-Saxon itu tumbuh dan berkembang dari kepentingan masyarakat, bukan dari kekuasaan negara (sebagai alat kekuasaan negara). Titik ekstrim pemolisian tipe anglo saxon adalah pemolisian yang terfragmentasi. Struktur polisi terbagi antara unit yang memiliki fungsi dan tanggung jawab umum, setingkat kota (minicipal) dan desa (conty) dengan tanggung jawab yuridiksi yang khusus, dan polisi yang memiliki fungsi terbatas. Termasuk tipe model bottom up iniAmerika Serikat dan Inggris, sesuai dengan bentuk negara yang mereka gunakan (federasi). Ini menunjukan adanya kekhasan organisasi polisi sesuai dengan karakter lokal (daerah), sehingga ada desntralisasi organisasi.

Awal abad 20 di negara-negara maju khususnya, terjadi perubahan tipe pemolisian yang merupakan pengembangan dari tipe sebelumnya, yaitu polisi desntralisasi model sentralistis dan sentralisasi model desentralistis. Amerika Serikat yang memusatkan dan mengkoordinasikan aktivitas hukum (khusus hukum federal) padaFBI sejak 1909. Demikian juga di Inggris, terjadi campur tangan pemerintah pusat atas penyelenggaraan fungsi kepolisian melalui pembentukan The Royal Commision on the Police (1960) yang memiliki wewenang penyelidikan masalah kepolisian hingga ke tingkatblokal.Sejak tahun 1954 Jepang menekankan peran polisi di kota dan di desa masing-masing disebut Koban dan Chuzaisos, lebih dari 15.000 kontor polisi tersebar di seluruh Jepang.

Memasuki dekade 1980an diperkenalkan metode problem oriented policing, sebuah metode untuk meningkatkan kapasitas polisi dalam menyelesaikan missinya.Metode ini mempengaruhi seluruh kegiatan polisi baik manajerial maupun operasional. Bersamaan dengan itu muncul pula terminologi Community Oriented Policing (COP), yang menekankan pada pencegahan tindak kejahatan ketimbang pengejaran dan penangkapan para pelaku kriminalitas. Amerika Serikat penerapan COP telah menjadi begitu bervariasi, mulai dari peningkatan kerjasama dengan komunitas, desentralisasi komando, hingga yang paling sederhana seperti penambahan jumlah polisi yang beroperasi (beat police).

Di Inggris struktur polisi dibuat sedemikian rupa tidak seragam namun merefleksikan keseimbangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Terkenal dengan tiga struktur dengan nama London Metropolitan Police, County Forces dan Borough Police. Namun kehadiran polisi lokal pada prakteknya lebih bertanggung jawab kepada elit-elit lokal ketimbang komunitas lokal.

Ada beberapa ciri-ciri khas polisi Eropa Kontinental sangat berbeda dengan polisi di Inggris, yaitu: pertama, secara struktural polisi Eropa Kontinental tersentralisir dan militeristik. Kedua, fungsinya lebih menekankan pada tugas-tugas administratif dan politis. Ketiga, dilihat dari legitimasinya, polisi Eropa Kontinental lebih terkait dengan pemerintah dan kurang bertanggung jawab pada publik dan hukum. Secara umum mereka bertanggung jawab secara langsung kepada kepala negara.

Perubahan yang menarik terjadi di Perancis yang dikenal tipe pemolisiannya sentralistis, ia cukup sukses menerapkan COP sejak 1995 yang menekankan pada pendekatan lokal dalam pemolisian, dengan menerapkankerangka administratif baru bernama Local Security Contact, yang memberikan payung hukum bagi hubungan inter agensi antara polisi dan lembaga-lembagakomunitas kepolisian lokal dalam menyelesaikan masalah ketertiban dan keamanan.

V.Lembaga Pengawasan Kepolisian

Tugas dan fungsi polisi sebagai aparat penegak hukum memang tidaklah ringan, bahkan luar biasa berat.Mereka tidak sebatas menjadi objek hukum, melainkan dituntut menjadi sosok yang “sempurna” dalam hal bertingkah laku sesuai hukum. Dengan selalu bertingkah laku sesuai koridor hukum, kepolisian mempunyai harapan untuk mendapatkanlegitimasi dandukungan masyarakat yang luas. Tetapi di sinilah letak persoalannya, meskipun sudah banyak aturan main yang dikenakan terhadap aparat kepolisisn,namun dalam prakteknya tidak semua norma atau aturan main itu dapat dioperasionalkan.Perangkat hukum yang pada tataran konseptual sudah begitu ideal, masih terbentur pada banyak kendala manakala dicobaterapkan untuk memagari tindak tanduk aparat kepolisian. Hukum tersebut tidak cukup rinci, sehingga tidak dapat diterapkan pada setiap kasus yang terjadi. Disinilah terbuka ruang-ruang bagi praktek diskresi, semakin besar kesenjangan antara teori dan praktek, semakin benar pula“pembenaran” bagi polisi untuk melaksanakan kewenangan diskretifnya.[11]

Diskresi[12] sesungguhnya merupakan intisari kerja kepolisian dalam pelayanan publik, baik dalam hal penegakan hukum maupun pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum. Begitu krusialnya diskresi, sampai-sampai tanpa diskresi, aparat kepolisian tak ubahnya tubuh tanpa lengan, kaki dan kepala. Dengan demikian diskresi laksana pisau bermata ganda. Ia merupakan titik sumbu keberhasilan kerja kepolisian, sekaligus titik rawan bagi berlangsungnya abuse of power personel kepolisian sendiri.[13]

Bobb dkk (2004) mencatat bahwa betapapun telah banyak legislasi yang dirumuskan serta proses pendidikan serta pembinaan personel kepolisian yang dirancang dengan maksud memagari aparat polisi agar senantiasa mengindahkan kaidah hukum dan etika, namun korupsi dan prilaku brutal masih tetap menjadi bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang tidak bisa dihilangkan sepenuhnya dari organisasi kepolisian. Amerika sendiri, dengan organisasi kepolisian yang relatif sudah mapan dan baik ditingkat federal maupun lokal dan negara bagian, serta menjadi salah satu barometer perpolisian modern, masih juga bergelut dengan permasalahan yang sama hingga kini.[14]

Permasalahan penyalahgunaan kewenangan dan penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive of power)menjadi titik kekhawatiran masyarakat terhadap kepolisian, termasuk di Indonesia. Karena itulah untuk mengakomodasi kekhawatiran masyarakat atas kerja kepolisian tersebut dibentuklah badan-badan pengawasan yang ditugaskanmelakukan supervisi terhadap kepolisian. Di Amerika Serikat sendiri sebagai negara adidaya belum sepenuhnya memenuhi komitmen melakukan reformasi internal dan pengendalian terhadap penggunaan kekerasan yang berlebihan, padahalpolisi baru dapat disebut sebagai elemen sentral dalam masyarakat yang demokratisjika dapat memenuhi tiga kondisi (Marx, 1995)[15]: pertama, polisi menjadi subjek hukum yang terbebas dari pengaruh penguasa dan kelompok-kelompok politik, Kedua, polisi dapat masuk ke ruang-ruang kehidupan publik dengan kewenangan yang terkendali secara cermat, dan Ketiga, terejawantahkannya akuntabilitas publik.

Terdapat sejumlah model lembaga pengawasan kepolisian di dunia, antara lain: di Inggris terdapat Police Authority disetiap provinsi (kecuali Metropolitan Police of London yang berada dibawah gubernur, naqmun tetap independent), di Swedia bernama National Police Board yang anggotanya terdiri dari perpaduan antara keangotaan komisi dan pimpinan kepolisisan. Di Filipina menggunakan nama National Police Commission yang kdiketuai oleh seorang menteri dan keanggotaannya diangkat oleh presiden, yang wewenangnya cukup luas, termasuk menjatuhkan tindakan terhadap anggota polisi yang indisipliner. Di Korea terdapatPolice Commission yang keanggotaannya diangkat oleh presiden. Di Jepang mempunyai National Public Safety Commission yang dipimpin oleh seorang menteriyang ditunjuk oleh perdana menteri dan beranggotakan lima orang yang ditunjuk oleh perdana menteri atas persetujuan dewan perwakilan rakyat.

Di Indonesiaberdasarkan Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia jo Peraturan Presiden No.17 Tahun 2005 tentang Pembentukan Komisi Kepolisian Nasionaldibentuklah Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) yang keanggotaannya terdiri dari 9 (sembilan) orang dipimpinoleh 3 (tiga) orang menteri dan diketuai oleh Menkopolhukham (Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM),ex officio sekretaris, dan 6 (enam) orang anggota dipilih dari kalangan masyarakat (tokoh masyarakat, akademisi dan pakar kepolisian). Hasil pnelitian KHN salah satunya menyimpulkan:[16] dengan melihat komposisi keanggotaan Kompolnas yang pimpinannya berasal dari unsur pemerintah / kekuasaan, maka sulit melakukan fungsi pengawasan dengan baik. Masukan-masukan tentang masalah kepolisian yang diberikan kepada Presiden RI pun akan mengalami bias kepentingan. UU No. 2 tahun 2002 menjadikan Kompolnas sebagai lembaga penasehat Presiden urusan kepolisisan, menjadikan Kompolnas sebagai lembaga subordinasi dari Presiden yang sedang berkuasa.

VI.Selintas Sejarah Kepolisian di Indonesia

Berdasarkan literatur kepolisian di Indonesia, polisis sebagai suatu institusi telah mengakar di masyarakat diawali dengan pembentukan Barisan Bhayangkara oleh Patih Gajah Mada semasa kerajaan Majapahit untuk memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketentraman masyarakat, baik untuk menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam kerajaan. Harsya W Bachtiar (1994) dalam bukunya Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu Yang Baru, menjelaskan bahwa dalam bahasa Sansekerta,kata Bhayangkara berarti “yang menakutkan”.Menurut Bambang Widodo Umar, dalam tulisannya Jati Diri Polri Dimasalahkan (2008), pemakaian kata ini pada masa kerajaan Majapahit tidak janggal, tetapi jika digunakan pada masa negara Republik Indonesia yang sudah merdeka menjadi tidak relevan. Pengertian Bhayangkara lebih tepat untuk militer, karena tugasnya selain menjaga keamanan wilayah kerajaan juga untuk menghadapi serangan musuh dari luar. Di sisi lain, kajian tentanglembaga-lembaga sosial dalam lingkungan adat Nusantara yang identik dengan lembaga kepolisian seperti Jogoboyo di Jawa, Jayengsekar di Madura, Pecalang di Bali dan daerah-daerah lain sebagai acuan untuk membangun jati diri polisi dapat dikatakan tidak ada.

Pada tahun 1620 di kota Batavia, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) membentuk semacam satuan pengamanan yang diberi nama Bailluw, untuk melindungi orang-orang Belanda sekaligus perusahaan mereka karena waktu itu sering terjadi perampokan, penyerangan dan kerusuhan. Kemudian ketika VOC diambil alih oleh Pemerintah Inggris, Raffles menyempurnakan Bailluw dengan mengeluarkanVerordening over de administratie de Justititie bij de gewestelijke boven op Java en de administratie der Politie, tanggal 11 Februari 1814 untuk mengatur organisasi, peran dan tugas polisi, dengan rincian: (1) menjaga ketertiban umum; (2) mengawasi tindakan warga masyarakat yang menimbulkan kerugian,; (3) menyidik semua tindak kejahatan yang ditujukan kepada negara maupun perorangan; (4) menjaga keamanan dan bila perlu dapat minta bantuan kepada militer (KNIL); (5) melaksanakan putusan pemidanaan; dan (6) mengawasi tahanan di penjara.[17]

Pada masa Hindia Belanda di Indonesia (1800 – 1942) Polisi adminstratif merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri (Departemen Binnenlandssch Bestuur), polisi dikelola sebagai bagian dari Kementrian Dalam Negeri dan membawahi pamong pradja. Kementrian ini menyelenggarakan urusan pegawai, pendidikan, latihan, perlengkapan, persenjataan dan pengawasan korps, tetapi tidak berhak mencampuri pelaksanaan operasi kepolisian. Untuk tugas represif (police judiciare) polisi diperintah dibawah Jaksa. Dalam hal ini ada opemisahan kekuasaan pembinaan kepolisian oleh Departemen Dalam Negeri, dan penggunaan kepolisian oleh Jaksa.[18] Demikian juga menurut Awaloedin Djamin, pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[19]

Keberadaan polisi saat itu adalah untuk mempertahankan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, dengan kekerasan atau cara apapun. Kepada rakyat, pemerintah kolonial sengaja menciptakan rasa takut, sehingga pemerintah Hindia Belanda tetap berkuasa. Dengan demikian wajar jika citra polisi menakutkan seperti istilah Bhayangkara pada era kerajaan Majapahit.[20]

Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945), pengorganisasian kepolisian disesuaikan dengan pengorganisasian militer. Dibentukdepartemen sendiri yang disebut Kaimubu. Pekerjaan polisi identik dengan militer dan pelaksanaannya di masyarakat juga menggunakan pendekatan militer. Selama masa pendudukan Jepang, polisi dan jaksa mengalami sejumlah pergerakan antar kementrian. Dua institusi ini kembali pada hubungan hukum pra-perang dalam peraturan hukum yang diterapkan oleh republik revolusioner.Pada masa ini Jepang membagi wiliyah kepolisian Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.[21]

Pada masa kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 membentuk Badan Kepolisian yang berkedudukan di bawah Departemen Dalam Negeri. Tanggal 2 September 1945 untuk pertama kalinya dibentuk “Kabinet Presidensial” dalam pemerintahan Indonesia, dimana Presiden menjadi pemegang kekuasaaneksekutif. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1946 keluarlah Penetapan Pemerintah Nomor 11/SD yang isinya membentuk Jawatan Kepolisian yang bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Saat itu (1946) kabinet sudah berubah dari presidensiil menjadi perlementer, konsekwensinya Presiden tidak lagi memegang kekuasaan eksekutif. Kewenangan eksekutif berada di tangan perdana menteri yang saat itu dijabat oleh Sutan Sjahrir. Belakangan tanggal 1 Juli dijadikan dasar peringatan Hari Bhayangkara Kepolisian.[22]

Pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri. Pada masa revolusi fisik, Polri mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).

Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka terdapat dua lembaga kepolisian, yaitu Jawatan Kepolisian Negara RIS dan Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta. Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.

Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris. Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepolisian Negara tetap bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden. Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri.[23]

Dalam suasana pergolakan politik dalam negeri, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sorkarno dengan tekanan angkatan darat, mengeluarkan Dekrit yang isinya memberlakukan kembali UUD 45 dengan sistem kabinet presidensial. Dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1959 dibentuk Departemen Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Muda Kepolisian. Kemudian tahun 1961 keluarlah Undang-undang No.13 Tahun 1961 yang memperkokoh Departemen Kepolisian dipimpin Menteri/Kepala Kepolisian Negara RI dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwakepolisian RI merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan ini diperintahkan oleh rezim Soeharto hingga 1998.

Konsekwensi dari masuknya Polri menjadi bagian dari ABRI, terjadilah pengaburan pelan-pelan fungsi Polri sebagai penegak hukum, pelindung dan pembimbing masyarakat. Di sisi lain, dalam kerangka kaderisasi pimpinan Polri, pendidikan perwira Polri dilakukan melalui Akademi ABRI (AKABRI) yang menggunakan metode pendidikan militer. Sebagai konsekwensi logis, Polriwajib menganut doktrindwi fungsi ABRI, dimana dalam doktrin tersebut ditetapkanfungsi TNI/POLRI : (1) sebagai alat pertahanan dan keamanan negara; dan (2) sebagai alat stabilisator pembangunan nasional. Dengan doktrin tersebut, politisasi terhadap Polri menimbulkan kesan yang mendalam di kalangan anggota bahwa tugas polisi adalah mempertahankan pemerintahan yang sah.[24]

Menurut Bambang Widodo Umar (2008 ; 48), berakhirnya pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998, kondisi Polri menunjukan : (1) Pengorganisasian yang sentralistik dalam kerangka membangun kekuatan birokrasi yang dominan; (2) Rekruitmen personil polisi ditentukan oleh kemampuan pemerintah, bukan atas kebutuhan masyarakat; (3) Pengembangan organisasi kurang berorientasi pada profesionalisme polisi; (4) Penganggaran sentralistik dengan sistem budget oriented; (5) Simbol-simbol militer melekat pada sikap perilaku keseharian polisi, sistem pendidikan, organisasi, manajemen, dan operasional Polri. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Lembaga Kepolisian bertanggung jawab terhadap Presiden dan pembentukannya berdasarkan Keputusan Presiden semakin memperkuat bahwa tipe pemolisian Indonesia adalah sentralistik.

VII.Mekanisme Pertanggungjawaban Polri & Komisi Kepolisian Nasional

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) adalah lembaga yang memiliki posisi dan legitimasi yang kuat dalam syatem ketatanegaraan Indonesia. Dalam kontek system politik yang demokratis, Polri harus memberikan pertanggung jawabannya kepada negara sebagai konsekwensi dari fungsi dan wewenang dan kekuasaan lainnya yang diberikan oleh negara kepada Polri. Tetapi di sisi lain Polri juga dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban publik, mengingat mandat untuk menggunakan kekuasaan, kekuatan fisik yang terorganisir harus disertai dengan pertangung jawaban.

Undang-undang No.2 Tahun 2002 tidakmemuat secara spesifik pengaturan arah pertanggung jawaban Polri, meskipun dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa pengangkatan danpemberhentian Kapolri dilaukan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Posisi Kapolriyang memiliki kewenangan dan otoritas yang terlalu kuat, yaitu (1) menetapkan, (2) menyelenggarakan, (3) mengendalikan kebijakan operasional (teknis) kepolisian, hingga (4) bertanggung jawab atas kebijakan operasional tersebut dan membina kapasitas Polri untuk pelaksanaannya.[25] Otoritas yang sangat kuat ini memunculkan kesan terjadinya akumulasi kewenangan di tangan Kapolri.

Oleh karena itu, Polri memerlukan lembaga atau komisi yang mengontrol mengingat keunikan karakteristik kepolisian. Ide dan gagasan pembentukan komisi kepolisian (Kompolnas) dilatar belakangi dorongan perlunya mengikutsertakan unsur-unsur diluar kepolisian dalam melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan fungsi kepolisian. Kontrol eksternal sangat diperlukan, mengingat bukan saja lembaga ini memiliki semangat membela dan melindungi korps ( spirit decourp) yang tinggi, jugamemiliki kewenangan memaksa dan membatasi hak-hak semua orang (discresi) yang begitu luas. Pekerjaan kepolisian merupakan profesi yang sukar dikontrol (uncotrolable) karena sarat dengan kewenangan yang diskresif (the essence of police work, both in law emforcement and in service activities, police work without discreation would be something like a human torse without legs, arm or head).[26]

Selama ini pengawasan internal Polri dilakukan olehInspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri untuk melakukan pengawasan manajerial dan prilaku aparatur Polri. Pengawasan internal ini masih dirasakan jauh dari harapan, dan karenanya memerlukan pengawasan eksternal.Sementara faktanya, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh lembaga negara lain seperti BPK juga belum maksimal karena lebih fokus kepada objek-objek terpilih ditingkat nasional. Kendala utama bagi terciptanya badan pengawasan efektif terletak pada dimensi psikologis para personelnya, yakni ketidak mampuan para pengawas dalam mempertahankan kemurnian kerja mereka agar tetap profesional dan independen.[27] Dalam kasus korupsi Simulator SIM yang menempatkan mantan beberapa petinggi Polri termasuk Kepala Korlantas menjadi tersangka, dimana perkaranya diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seharusnya Polri berterima kasih kepada undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara termasuk yang dilakukan oleh para pejabat Polri.[28] Penyidikan dan penuntutan perkara Korlantas ini sesungguhnya merupakan kontrol ataupengawasan eksternal yang dilakukan oleh institusi lain, namun pada kenyataannya Polri resisten terhadap penanganan kasus ini oleh KPK, sehingga diduga penuntutan atas dasar kejadian yang telah berlalu beberapa tahun lalu terhadap “penyidik”yang menangani kasus Simulator di KPK dan nota bene anggota Polri juga menjadi indikator resistensinya.

Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebut secara jelas tentang perlunya mendirikan Komisi Kepolisian Nasional. Berbagai perdebatan mengenai bagaimana bentuk yang ideal Kompolnas telah mewarnai proses awal pembentukannya. Hasilnya seperti yang kita saksikan sekarang ini, ternyata tidak dibuat dalam bentuk lembaga pengawas eksternal yang independen, tetapi dalam bentuk “lemabaga pengawas sederhana”.[29] Dengan demikian model organisasi Kompolnas semestiuya harus menyesuaikan dengan disain dan sistem kelembagaan organisasi Polri yang menjadi counter-partnya, tetapi pada kenyataannya organisasi Kompolnas dengan kelembagaan dan rganisasi yang sederhana. Dalam kondisi sistem Kompolnas yang seperti ini tentunya sulit diharapkan mampu berperan strategis dalam membenahi dan mengontrol prilaku, peran, dan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh Polri. Organisasi Kompolnas semestinya mempertimbangkan berbagai kompleksitas yang dihadapi suatu lembaga pengawas eksternal.

Harapan masyarakat terhadap kelembagan Kompolnas menjadilembaga pengawas yang efektif begitu tinggi ditengah pengawasan yang ada baik secara internal maupun eksternal struktural tidak efektif. Kenyataan bahwa kewenangan Kompolnas tidak tajam karena hanya difungsikan sebagai advisory board untuk presiden. Kompolnas harus diberdayakan dengan memperluas dan menambah kewenangan untuk menghasilkan kebijakan kepolisian, dan menjalankan fungsi pengawasan.

Susunan organisasi Kompolnas menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 17 Tahun 2005 tentangPembentukan Komisi Kepolisian Nasional, dibagi atas dua bagian, yaitu susunan keanggotaan dan kesekretariatan Kompolnas. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari unsur pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu Menteri Negara Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM, pakar kepolisian 3 (tiga) orang dan tokoh masyarakat 3 (tiga) orang. Pelaksanan tugas Kompolnas didukung oleh kesekretariatan yang hirarchis berada di lingkungan Mabes Polri dan diangkat dan diberhentikan oleh Kapolri. Meskipun dalam melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada Kompolnas. Struktur organisasi Kompolnas yang seperti ini belum mencerminkan suatu representasi yang idealdari berbagai unsurbaik dari Polri, masyarakat dan dari kalangan para ahli atau pakar yang menguasai masalah kepolisian dan hukum. Menurut Indria Samego (LIPI) tentang kelembagaan dan keanggotaan Kompolnas ini sudah sejak awal diperdebatkan. Jika yang mewakili pemerintah sudah ada 3 orang Menteri, maka idealnya yang mewakili masyarakat harus dapat diseleksi dengan sebaik-baiknya agar dapat mewakili kepentingan publik dengan sebaik-baiknya.[30]

Untukanggota-anggota Kompolnas sebaiknya ditempatkan figur-figur yang tidak sibuk, memiliki profesionalisme yang tinggi dan moral yang tangguh. Kompolnas sekarang yang diketuai oleh Menkopolhukham dengan anggota Mendagri dan Menkumham, maka akan tidak efektif disebabkan oleh kesibukan ara menteri yang tinggi. Demikian juga Sekretariat Kompolnas yang melekat dalam institusi Polri akan menimbulkan bias ersendiri, seharusnya kesekretariatan itu otonom, independen dan mandiri dari segala macam kepentingan yang dimiliki kepolisian

VIII.ANALISIS KOMPARATIFBUDAYA HUKUMKEPOLISIAN NEGARA-NEGARAANGLO SAXON & KEPOLISIAN NEGARA-NEGARA EROPAH KONTINENTAL

Dalam kajian analisis perbandingan budaya hukum ini, kepolisian negara-negara Anglo Saxon disimbolkankan oleh perkembangan kepolisian di negara-negara Inggris, Amerika Serikat, dan demikian juga kepolisian negara-negara Eropa Kontinental disimbolkan oleh perkembangan kepolisian di negara-negara Belanda, Perancis, Jerman & Yunani termasuk Indonesia.

Demikian juga pisau analisis perbandingan budaya hukum ini akan mengunakan Teori Dimensi Budaya dari EDWARD T HALL dan HOFSTEDE.

DimensiBudaya

EDWARD T HALL

Kepolisian Negara-negara Anglo Saxon(Inggris dkk)

Kepolisian Negara- negara Eropa Kontinental (Belanda dkk)

MONOCHRONICSversus POLICHRONICS

(Focus tidaknyaperhatiandalam melakukan pekerja an, baik waktu maupun jumlah pekerjaanya)

POLICHRONIC

Polisi-polisi negara Anglo Saxon dalam melakukan tugasnya meskipun tunduk pada aturan organisasi, namun karena polisi-polisi anglo saxon, tumbuh, lahir dan berkembang dari dan ditengah-tengah masyara kat, maka dalam melaku kan pekerjaan baik waktu, jumlah maupun target relatif cair, dalam arti tidak ketat.

Dalam menyelesaikan per masalahan di masyarakat lebih mengedepankan ter capainya “rasa keadilan” dalam masyarakat ketim bang secara kaku mene rapkan kepastian hukum.

Relasi sosial dengan masya rakat sangat terbuka, karena selain polisi lahir berkembangdari masyara kat penerapan Comuunity Oriented Policing (COP) menekankan pada pencega han terjadinya kejahatan, maka relasi sosial menjadi bagian yang signifikan dari tugas dan pekerjaan polisi-polisi Anglo Saxon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun