Mohon tunggu...
Fidelis Harefa
Fidelis Harefa Mohon Tunggu... Pengacara - Info Singkat

Berasal dari Pulau Nias, tepatnya di Nias Utara. Saat ini berdomisili di Kalimantan Tengah, Kota Palangka Raya. Co-Founder/Managing Partner Law Firm Kairos

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PERNAS X FMKI: Memperkuat Habitus Anti Korupsi

29 November 2016   12:51 Diperbarui: 29 November 2016   13:00 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena korupsi telah menjadi konsumsi keseharian rakyat Indonesia ketika membaca lembaran surat kabar atau melihat pemuatan informasi di media elektronik. Intensitas pers dalam memberitakan kasus-kasus korupsi seolah-olah berkejaran dengan pengungkapan kasus-kasus korupsi oleh aparat penegak hukum. Kasus korupsi yang satu terungkap diikuti dengan kasus korupsi yang lain, terus menerus seperti cerita bersambung yang belum diketahui the end of story -nya. Dan masih banyak kasus korupsi yang menjadi pekerjaan rumah bagi aparat penegak hukum menunggu untuk diungkap.

Korupsi menjadi kata yang sangat lekat di hati masyarakat Indonesia. Korupsi telah merusak semua sendi kehidupan bangsa Indonesia karena sudah meruyak ke segala lapisan masyarakat bagaikan penyakit kanker yang mencengkeramkan akar-akarnya ke seluruh jaringan tubuh manusia. Atau seperti jamur di musim penghujan yang tumbuh subur di mana-mana, tanpa pernah ada habis-habisnya.Hal ini mendorong para tokoh Indonesia untuk melakukan studi bersama terkait perilaku korupsi yang harus diberantas, meskipun ini menjadi perjuangan jangka panjang.

Korupsi menjadi topik yang tak pernah bosan dibicarakan. Meskipun terus-menerus menjadi tema sentral dalam tiap diskusi, korupsi tetap tidak dapat diberantas dan masih terus dilakukan secara masif oleh mereka yang memiliki kesempatan, jabatan dan niat untuk merusak kebaikan bersama di negeri ini.

Keprihatinan Masyarakat Katolik Indonesia terhadap korupsi menjadi alasan kuat untuk memilih tema "Memperkuat Habitus Anti Korupsi" pada PERNAS Ke-10 Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) yang dilaksanakan di Cipanas, 25-27 November 2016 yang saya ikuti baru-baru ini. Dalam diskusi formal FMKI dibahas banyak hal tentang perilaku Korupsi. Ada dua hal penting yang perlu diketahui dan merupakan penyebab dari sulitnya memberantas perilaku korupsi dalam waktu yang singkat. Dua hal tersebut dapat saya sharingkan sebagai berikut:

Sarwono Kusumatatmadja, mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Lngkungan Hidup hadir sebagai salah satu pembicara pada Pernas FMKI ini. Dalam menyampaikan materinya, Sarwono menegaskan bahwa korupsi terjadi karena Sistem patronase. Sistem patronase adalah kekuasaan memberika berbagai tugas pada mesin birokrasi disemua tingkatan. Kata patron lebih merujuk pada adanya kekuasaan dan ingin mempertahankan kekuasaan tersebut melalui pendistribusian berbagai sumber daya berharga seperti jabatan, wewenang, popularitas. Dalam pengertian ini, tindakan korupsi merupakan distribusi dari kekuasaan yang ada sebelumnya. Bisa juga dikatakan bahwa korupsi merupakan akibat dari masuknya budaya bangsa lain ke dalam budaya bangsa Indonesia. Menurut Sarwono, perilaku korupsi tidak dapat diberantas dalam waktu singkat.

Penjelasan seperti di atas bisa membawa kita pada sebuah respon yang memunculkan daya kritis dan juga melahirkan sikap pesimis dalam upaya memberantas korupsi. Di satu sisi, kita tergoda untuk membongkar seluruh elemen kekuasaan yang mendukung terjadinya korupsi, di sisi lain kita pesimis bahwa itu hanya tercapai bila memiliki power untuk itu. Namun, kita tidak boleh putus asa. Tidak ada jalan yang tak berujung. Materi yang disampaikan oleh Paulus Wirutomo (Guru Besar FISIP UI) kemudian memberi harapan bahwa kita masih bisa berubah.

Paulus Wirutomo mengatakan bahwa untuk memberantas korupsi, kita harus menempatkan tindakan korupsi ini di antara tiga elemen penting yang harus digunakan sebagai dasar untuk mengubahnya. Tiga elemen tersebut adalah struktural, kultural dan prosesual. Struktural berhubungan dengan sistem patronase sehingga ada unsur paksaan dari luar yang memiliki kekuatan untuk mendorong kita berbuat sesuatu, dalam konteks ini adalah melakukan korupsi. Struktural merupakan relasi kekuasaan yang bersifat memaksa dari luar. Kultural merujuk pada sistem yang memaksa dari dalam. Perbuatan korupsi sangat dipengaruhi oleh budaya yang kita miliki. Pola perilaku yang berulang-ulang terjadi, lama-lama menjadi budaya dan kemudian mengakar sehingga susah diberantas. Elemen dasar ketiga adalah prosesual yakni proses sosial dalam bentuk dinamika interaksi, dialog dan negosiasi.

Hal yang disampaikan oleh Paulus Wirutomo di atas sangat erat kaitannnya dengan gerakan "Revolusi Mental" yang sedang menjadi trend topic baru-baru ini. Untuk memulai sebuah perubahan, harus berangkat dari prosesual, kemudian secara bertahap mempengaruhi perubahan kultural dan akhirnya bisa mengubah struktural. Dalam konteks memperkuat habitus anti korupsi, tahap yang sama harus dilakukan. Tiga elemen dasar ini harus menjadi objek yang secara bersamaan menjadi sasaran untuk dikembangkan dan diubah.

***

Hal lain yang dapat menjadi oleh-oleh Pernas Ke-10 FMKI dan saya bagikan di sini adalah bahwa menyuarakan secara keras tindakan "anti korupsi" harus selalu mulai dari koreksi internal. Siapa yang bersuara harus menyadari lebih dahulu bahwa habitus anti korupsi telah diperkuat secara internal, sebagai pribadi, kelompok kecil dan lembaga sendiri. Setelah kuat secara internal, barulah kemudian keluar dan menjadi teladan bagi yang lain. Pemberantasan korupsi tidak berhasil bila kita lebih banyak menuntut pihak di luar (eksternal) untuk berubah, sementara secara internal kita belum bisa menjadi teladan. Oleh karena itu, barangkat dari sistem patronase dan tiga elemen dasar yang harus diperhatikan di atas, Pernas Ke-10 FMKI yang berlangsung selama tiga hari itu berupaya mereview fakta-fakta korupsi yang telah terjadi di Indonesaia sebagai bahan untuk direfleksikan bersama. Bersama seluruh masyakarakat Katolik Indonesia, hadir Ade Irawan (Koordinator ICA), Arief Nur Alam (Transparansi Indonesia) dan Roy Salam (IBC) sebagai teman untuk belajar bersama mengidentifikasi pola, modus dan hal-hal teknis yang dapat menjadi lingkungnan kondusif mendukung tindakan korupsi.  

Bahan Pendukung:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun