Mohon tunggu...
Ferzya Ferzya
Ferzya Ferzya Mohon Tunggu... -

Seorang pelajar marketing management di salah satu universitas di kota pelajar. "seorang produsen pun adalah seorang konsumen" adalah prinsipnya dalam melihat service marketing. dia juga seorang Editor in Chief majalah travel digital : Travelist Magazine

Selanjutnya

Tutup

Money

Warung Kopi di Kota Kopi

3 Desember 2012   05:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:16 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya cemburu pada kota-kota besar yang memiliki warung kopi terpencil namun mengerti kebutuhan orang-orang penikmat kopi.

Udara diruangan itu dingin, dalam sofa empuk berwarna oranye saya duduk sendiri. Memperhatikan beberapa orang yang berada di warung kopi, beberapa pengunjung sedang berdiskusi dengan temannya, ada juga yang membaca buku dan sedikit dari mereka yang seperti saya; duduk dan membiarkan pikiran berkontempolasi sendiri.

Meja bulat berbahan kayu menjadi penyangga cangkir kopi saya sore itu. Tenggelam dalam empuknya sofa, imajinasi dari buku ditangan dan butiran air yang melekat di kaca jendela sedari hujan tadi siang. Hanya ada sofa kosong one seated di depan saya sekarang. Kaca jendela yang besar dikanan saya memperbolehkan mata untuk mengamati perilaku orang diluar. Melihat mereka yang berjalan cepat diatas ubin-ubin berwarna abu-abu tua karena terkena air hujan.

Lantai kayu berwarna cokelat muda kehijauan dalam warung ini menambah suhu dingin pada ruangan. Seorang barista muda menaikkan suhu ruangan agar penghuni merasa hangat, ia berbalik badan dan tersenyum pada saya saat menyadari bahwa ia diamati. Warung kopi ini memang tidak seluas warung kopi disebelah, dalam keterbatasan ruangan, pemilik warung ini mampu menghadirkan varian-varian kopi pilihan. Ia juga memberi kesempatan pada penikmat kopi untuk memilih varian kopi dan cara penyeduhannya sendiri, walau terdapat pilihan lain di buku menu.

Sayangnya saya hanya bermimpi.

Faktanya, di Ibukota provinsi yang terkenal sebagai pemilik varian kopi terbanyak ini tidak memahami arti penting sebuah warung kopi bagi penikmat kopi. Tidak ada warung kopi yang memberi kesempatan untuk memilih varian kopi dan cara penyeduhannya sendiri, tidak ada sofa kosong dan jendela besar, tidak ada lantai kayu berwarna cokelat kehijauan dan tidak ada pendingin ruangan.

Warung kopi manapun dikota ini terlihat sama bagi saya; ruangan terbuka lebar, asap mengebul tiada henti, makanan kecil diatas meja, kacang, tanpa pendingin ruangan, meja besar dan panjang, kursi yang berjejeran. Dengan konsep dan menu yang sama, hanya tempat geografis dan nama warung yang mampu membedakan. “Warung kopi ala Ulee Kareng,” sebut teman saya, seorang peminum kopi sejak berumur 8 tahun, menjelaskan jenis warung kopi di Banda Aceh.

Tempat duduk yang banyak dan meja panjang menjadi khas warung-warung kopi disini.

“Kemana kita?,” tanya seorang teman siang itu. “entah, kemana asiknya?,” saya tidak punya ide untuk menentukan warung kopi mana yang akan dituju. Kemudian dia mengarahkan motor kearah Simpang Surabaya, berhenti disebuah warung kopi bercat merah, memarkir motor dan naik ke lantai dua.

“Pesan apa bang?,” seorang pelayan datang menghampiri kami, “sanger pancung saboh” jawabnya tanpa meminta menu. Dalam kebingungan saya menjawab “kopi susu, bang”. Tampaknya setiap pembeli yang datang sudah paham minuman apa yang akan dipesan, sehingga tidak ada keharusan bagi pelayan untuk membawakan menu kepada mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun