Mohon tunggu...
Fery Nurdiansyah
Fery Nurdiansyah Mohon Tunggu... Konsultan - Adil Sejak Dalam Pikiran

Imajinasi berawal dari mimpi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pentingnya Perlindungan Konsumen Dibidang E-Commerce terhadap Transaksi Internasional

27 Januari 2023   14:40 Diperbarui: 27 Januari 2023   14:57 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh gits.id

Perkembangan e-commerce di Indonesia membawa pasar kepada perekonomian digital yang sangat dinamis, dengan strategi transformasi digital, mulai dari perusahaan besar sampai dengan UKM melakukan perubahan menyeluruh atas setiap proses, kompetensi dan model bisnis dengan mengimplementasikan teknologi digital dalam memenangkan persaingan global.

Dari 204,7 juta pengguna internet di Indonesia, sebanyak 63,8% melakukan pembelian barang di e-commerce melalui telepon seluler (Datareportal, 2022) atau mencapai 158,6 juta orang dengan nilai transaksi sebesar US$53,81 milyar. Pandemi COVID19 membawa dampak yang sangat besar yang mendorong peningkatan penggunaan Internet dan mempercepat proses adopsi digital oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data terbaru, ada penambahan 35 juta pengguna internet pada tahun 2022 (APJII, 2022). Pesatnya pertumbuhan e-commerce dinilai menjadikan sektor ini kontributor utama pada sektor ekonomi digital.

Fenomena ini menjadikan Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial bagi perkembangan bisnis e-commerce, akan tetapi perkembangan bisnis ini tidak terlepas dari berbagai permasalahan konsumen yang mencakup Berbagai dimensi seperti ekonomi, teknologi, lingkungan, sosial, budaya, kebijakan dan hukum.

Sebagaimana diketahui bahwa Bappenas pada tahun 2024 menargetkan PDB Indonesia sebesar 24.000 triliun dengan pendapatan perkapita sebesar USD 5.930. dalam hal ini konsumsi domestik masih menjadi motor pencapaian PDB dengan yaitu sekitar 53% dari total PDB, dengan demikian perlindungan konsumen tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam kerangka teknologi informasi, yang menjadi rekomendasi Voluntary Peer Review (VPR) oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam sidang Intergovernmental Group of Expert on Consumer Protection Law and Policy in Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 2019 di Jeneva, swiss, menyatakan bahwa perkembangan pesat teknologi digital perlu diimbangi dengan percepatan proses penyesuaian melalui penyiapan peraturan yang mampu memberikan perlindungan terhadap konsumen. 

Dinamika transaksi perdagangan online semakin meningkat pesat, nilai transaksi e-commerce semakin besar, data penjualan e-commerce dunia mencapai USD 5 triliun pada tahun 2021 dan diproyeksikan akan mencapai USD 6,4 trilun pada tahun 2024 (UNCTAD, 2021).

Disamping itu, jenis produk juga semakin beragam, hal ini akan membuka peluang terjadinya tindak kecurangan. Baik tindak yang merugikan konsumen dan juga sebaliknya yang merugikan pelaku usaha akibat tindak konsumen tertentu yang beritikad buruk. Kondisi ini mengakibatkan menurunnya kepercayaan dalam transaksi perdagangan, utamanya perdagangan online (e-commerce). Untuk menumbuhkan kepercayaan dan menangkal risiko atas perdagangan online, utamanya transaksi bersifat lintas batas (cross border) perlu adanya suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan berbiaya rendah.

Hal ini juga sejalan dengan United Nation Guidelines for Consumer Protection (UNGCP) yang menekankan pentingnya penanganan pengaduan konsumen, termasuk kasus lintas batas (cross border), melalui mekanisme yang tidak memihak (imparsial), adil, efekktif dan transparan. Dan ODR dipandang sebagai mekanisme yang paling efektif untuk itu (UNCTAD, DODR Workshop 24 Oktober 2022).

Regulasi yang mendukung pelaksanaan e-commerce

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, serta peran pemerintah dalam hal pembinaan konsumen yang menjadi Amanah untuk dilakukan agar konsumen lebih melek akan informasi terkait dengan transaksi online yang akan dilakukan, serta paham dan mengerti jika konsumen juga memiliki hak dalam hal perlindungan konsumen. Namun, belum maksimalnya penyuluhan edukasi terhadap konsumen ini membuat hal-hal seperti masalah dan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha masih saja terus terjadi, dengan tidak pekanya konsumen dan minimnya rasa literasi dari konsumen membuat hal ini mungkin saja terus terjadi, serta pelaku usaha yang tidak mau membeberkan informasi yang akurat juga menjadi salah satu faktornya. Selanjutnya, terdapat upaya hukum represif yaitu upaya hukum yang dilakukan setelah sudah terjadinya peristiwa atau sengketa hukum. Jika sudah terjadinya sengketa konsumen maka perlu diadakannya upaya represif
  • Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) aturan ini merupakan aturan hukum mengenai internet pertama di Indonesia. Dalam aturan hukum yang ada seperti yang disebutkan perdagangan diatur di dalamnya. Dalam hal ini e-commerce secara cukup jelas tertuang dalam aturan tersebut mulai dari, pengertian, pemahaman, dasar hukum, penyelenggara, hubungan hukum pelaku transaksi elektronik serta informasi akurat, dan perlindungan terhadap konsumen
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berdasarkan ketentuan pasal 65 mengatur dasar perdagangan secara elektronik, dalam melaksanakan transaksi elektronik berupa media online, syarat wajib yang harus diperhatikan adalah penjual barang atau jasa harus mencantumkan informasi yang secara jujur, asli serta akurat kepada konsumen. Perdagangan melalui sistem elektronik dalam transaksi elektronik memberikan penjelasan mengenai adanya pengaturan dalam transaksi elektronik. Setiap pelaku dagang usaha atau jasa dalam adanya transaksi elektronik wajib menyertakan informasi tentang barang dan jasa yang diperjual belikan secara jujur, terbuka serta akurat. Serta setiap pelaku dagang dan usaha sangat dilarang keras dalam melakukan perdagangan, dimana jika barang atau jasa yang diterima konsumen tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, karena hal ini sangat bertentangan dengan pengaturan hukum yang berlaku atas perdagangan.
  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, bahwa pelindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang merupakan bagian dari pelindungan diri pribadi dan ditujukan untuk menjamin hak warga negara atas pelindungan diri pribadi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan penghormatan atas pentingnya pelindungan data pribadi
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dengan adanya regulasi ini jika pelaku usaha tidak memenuhi aturan hukum atau syarat-syarat sah yang ada dalam negara Indonesia maka, akan terjadinya sengketa yang berakibat kerugian yang dialami oleh konsumen. Dalam tidaknya terpenuhi syarat-syarat yang harus dilakukan dalam melakukan transaksi dalam e-commerce dimana pelaku usaha melanggar adanya keakuratan informasi dalam dibagikan kepada konsumen melanggar Pasal 80.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik ini dimaksudkan untuk mengatur lebih lanjut terkait: 
    • kewajiban bagi setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
    • peran Pemerintah dalam memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, dan mencegah penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Dalam PMK ini disebutkan, Penyedia Platform Marketplace wajib memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan wajib dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak). Kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud, menurut PMK ini, juga diberlakukan kepada Penyedia Platform Marketplace, meskipun memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Berkenaan dari gambaran di atas, maka perlu diperhatikan beberapa hal penting dalam pelaksanaan perlindungan konsumen terkait e-commerce.

  • Pengendalian Big Data, Connectivity dan Artificial Intelligent harus dimulai dari adanya kedaulatan negara terhadap demografi dan privasi data warga negara. Data-data strategis seperti NIK, transaksi keuangan dan transaksi lain yang dipandang sebagai kepentingan nasional perlu dijaga kedaulatannya artinya negara perlu memiliki sistem tertutup (Close System).
  • Dalam mengembangkan kebijakan dan regulasi, konsumen merupakan masyarakat yang harus ditempatkan sebagai pelaku transaksi secara inklusif bersama-sama dengan pemerintah dan pelaku usaha, Regulasi dengan pendekatan ekosistem lebih diperlukan mengingat kompleksitas pihak-pihak yang terlibat dalam e-commerce.
  • Perbaikan atas keamanan dan kenyamanan konsumen e-commerce harus diupayakan sehingga jika terjadi perlanggaran hak konsumen dapat memberikan sanksi yang tegas.
  • Kolaborasi antar otoritas dalam membangun dan mengembangkan bersama platform ODR konsumen nasional yang terbaik, serta dukungan yang lebih untuk kelancaran dan keberhasilan proyek ODR nasional dengan menjadikannya Proyek Prioritas (semacam PSN untuk infrastruktur), karena perlindungan konsumen sangat strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan dukungan dari Presiden, para pelaku usaha akan tertarik dan terdorong untuk berpartisipasi.
  • Belum ada mekanisme dan penanganan pengaduan konsumen yang terintegrasi baik di dalam negeri maupun cross-border sehingga perlu melakukan percepatan pembuatan sistem dan regulasi yang berbasis Digital Online Dispute Resolution (DODR)
  • Peta jalan ekonomi digital yang mendukung kemandirian bangsa dalam tata perekonomian dunia.
  • Mengendalikan pemanfaatan data dan informasi yang menyangkut kepentingan konsumen sehingga memberikan kepastian dan integritas terhadap perlindungan konsumen.
  • Data dan informasi transaksi yang menyangkut kepentingan Indonesia merupakan asset negara dan lalu lintasnya harus dikendalikan oleh otoritas Republik Indonesia dan seluruh bidang usaha yang menggunakan sistem elektronik harus terkoneksi dengan jaringan utama (backbone) telekomunikasi yang dikuasai negara
  • Meningkatnya belanja konsumen secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong daya saing perekonomian nasional, diikuti dengan peningkatan integritas ketahanan pangan melalui daya beli masyarakat sehingga terbangunnya perlindungan konsumen yang mendukung pencapaian PDB senilai Rp. 24.000 triliun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun