Mohon tunggu...
Fery Nurdiansyah
Fery Nurdiansyah Mohon Tunggu... Konsultan - Adil Sejak Dalam Pikiran

Imajinasi berawal dari mimpi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

BPJS Kesehatan Menderita Defisit

17 Oktober 2018   12:09 Diperbarui: 17 Oktober 2018   12:23 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima tahun BPJS Kesehatan sejak berubah dari PT Askes (Persero) pada 1 Januari 2014 yang lalu, tahun ini jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 204,4 Juta jiwa, dan separuh dari jumlah itu 118 juta merupakan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin. Sementara sisanya adalah membayar iuran setiap bulan dengan besaran yang berbeda-beda (iuran kelas I -- 80,000, kelas II -- 51,000, dan kelas III -- 25,500).

Semenjak lahirnya BPJS hingga saat ini polemik mengenai layanan kesehatan, klaim dan kesejahteraan Dokter mendapat perhatian khusus dari sejumlah pihak, Dan baru terjadi sekali seumur hidup dokter berdemo mengenai persoalan BPJS yang tak kunjung jelas. 

Persoalan tersebut makin hari makin menjadi, dan masalah BPJS Kesehatan seperti penyakit kanker yang selalu menggerogoti tubuh manusia. Komplikasi terjadi tahun ini adalah defisitnya anggaran BPJS Kesehatan, apa daya sebuah badan yang menjamin kesehatan masyarakat tidak dapat membayar klaim yang berlalu begitu banyak.

Dilansir dari CNN Indonesia "Defisit pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kian hari kian menahun. setelah defisit Rp3,3 triliun pada tahun pertamanya, di 2014, lalu defisitnya kian bengkak hingga menyentuh Rp5,7 triliun pada 2015, kemudian, menjadi Rp9,7 triliun pada 2016 dan Rp9,75 triliun pada 2017. 

Untuk tahun ini, defisit diproyeksikan mencapai Rp16,5 triliun, yang belakangan dikoreksi hanya tersisa Rp10,98 triliun berdasar hitung-hitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)." Kita sebagai masyarakat melihat persoalan BPJS Kesehatan menjadi bertanya kenapa bisa defisit, padahal negara dan BPJS telah mendapat subsidi serta anggaran dari iuran msayarakat (yang dianggap sebagai gotong royong).

Penyakit kanker yang di tanggung oleh BPJS ini ternyata menular kepada dirinya sendiri, alhasil pertanyaan yang kembali muncul adalah siapa yang dapat mengobati kanker BPJS Kesehatan? dan siapa yang membiayai? Untuk solusi sementara dan cepat memang hal di atas cukup tepat, sehingga pelayanan kesehatan untuk masyarakat tidak terganggu.

Persoalan tersebut menjadi efek domino terhadap masyarakat, kemungkinan kenaikan iuran wajib BPJS akan terjadi dalam waktu dekat, tetapi layanan kesehatan tak kunjung baik, lebih lagi suara desas desus masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang menggunakan BPJS dianggap sebelah mata oleh pihak rumah sakit, padahal menurut UU mengikuti BPJS Kesehatan itu diwajibkan bagi setiap warga negara, jika tidak berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial ("PP 86/2013"). Masyarakat akan mendapat sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial meliputi:

  • Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
  • Surat Izin Mengemudi (SIM);
  • Sertifikat tanah;
  • Paspor; atau
  • Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK)

Kini Pemerintah dan DPR sedang mencari solusi terhadap defisitnya BPJS Kesehatan, belakangan telah terbit Peraturan Presiden No 222/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pada intinya solusi terakhir adalah cukai tembakau dan APBN digunakan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, ini pun juga menyebabkan pendapatan anggaran daerah menurun drastis, sebab di beberapa daerah dana cukai rokok merupakan pendapatan utama dari APBD.

Tentu saja semua ini bukan salah BPJS Kesehatan, komplikasi kanker yang diderita oleh BPJS Kesehatan sejatinya perilaku dari pemerintah dan DPR yang tidak membuat kebijakan yang tepat sasaran. Ekonomi kerakyatan yang sejatinya berkepentingan kepada rakyat tidak berjalan sebagaimana mestinya, sementara pemerataan fasilitas dan layanan dalam bidang kesehatan perlu ditingkatkan, tidak terpikirkan lagi.

Kepedulian pemerintah terhadap kesehatan dapat dibilang setengah hati, jika masyarakat harus membayar iuran setiap bulan, tetapi layanan dan obat-obatan yang disediakan belum cukup baik.  Pengawasan terhadap penggunaan layanan BPJS Kesehatan tidak mendapat perhatian khusus, sehingga peserta BPJS Kesehatan tidak terlayani dengan baik. Layanan kesehatan di tanggung oleh pemerintah terdapat pada UUD 1945, namun hal itu belum berjalan efektif sebagaimana mestinya.

Berdasarkan hal diatas, perlu adanya perubahan dalam menyikapinya, setidaknya masyarakat tidak terbebani oleh kebijakan pemerintah dan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggaran Jaminan Kesehatan Nasional. 

Kebijakan pemerintah dalam sektor kesehatan belum mempunyai semangat yang sama, seharusnya kebijakan yang dapat diambil adalah memberikan fasilitas dan layanan yang gratis pada sektor kesehatan, jika saat ini defisit ditutupi oleh Cukai Rokok dan APBN, alangkah lebih baik jika APBN yang memberikan subsidi kepada Daerah untuk menambah anggarannya dalam memberikan fasilitas dan layanan kesehatan gratis. Strategi yang dapat dilakukan adalah berdasarkan kemampuan daerah masing-masing sehingga Pemerintah Pusat dapat mensubsidi daerah tersebut, karena data real masyarakat dan ekonomi dari demografis yaitu berada di daerah.

Logikanya adalah jika seseorang sakit, semampu apapun ia akan berbalik keadaannya, sebab akan membayar berapapun yang ditagihkan oleh pihak rumah sakit, karena hidup adalah segalanya. Sangat sederhana, jadi wajar saja jika BPJS Kesehatan defisit setiap tahun, bukankah memang hal tersebut yang harus dikerjakan oleh lembaga penjamin kesehatan masyarakat!

Alangkah mulianya kebijakan tersebut jika layanan dan fasilitas kesehatan gratis untuk semua warga dan semua kalangan, walaupun memang konstitusi telah mengamanatkan jaminan sosial adalah tanggung jawab negara. Dan jika fasilitas dan layanan di gratiskan, tugas pemerintah hanyalah memastikan masyarakat dilayanani dengan semestinya, pengawasan kepada rumah sakit dan memberikan sanksi yang tegas jika rumah sakit tidak melayani dengan semestinya. Sehingga keresahan masyarakat terhadap BPJS Kesehatan dapat terobati lahir dan batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun