Sidang gugatan sengketa perhitungaan hasil pemilihan umum (PHPU) pilpres 2019 sudah memasuki sidang pembuktian dengan menghadirkan saksi dari pihak pemohon, paslon 02 .Â
Saksi seharusnya berjumlah 17 orang ternyata yang bersedia hadir hanya berjumlah 16 setelah salah satu saksi Haris Azhar menolak untuk hadir. Yang terdiri dari 14 orang saksi fakta 2 orang  saksi ahli, yang diperiksa secara maraton dari jam 9 tanggal 19 Juni 2019 sampai dengan jam 5 pagi 20 juni 2019.
Pemeriksaan saksi yang memakan waktu begitu panjang  hampir 20 jam. Sayangnya tidak dibarengi dengan kualitas saksi yang dihadirkan oleh tim hukum 02.
Saksi fakta yang seharusnya menerangkan fakta dan data yang dia alami dan saksikan sendiri, terkadang berlaku sebagai saksi ahli yang memberikan pendapat menurut opininya sendiri, tidak berdasarkan fakta yang dia saksikan
Saksi ahli pun lebih banyak berkutat di permasalahan Situng KPU, sesuatu yang sia-sia mengingat Situng itu cuma alat bantu transparansi informasi bagi masyarakat saja. Sedangkan yang menjadi dasar penetapan hasil resmi pemilu 2019 adalah perhitungan fisik lembar surat suara, yang dilakukan secara berjenjang dari tingkat TPS sampai nasional.
Kondisi seperti ini membuat kita seperti De javu (fenomena merasakan sensasi kuat bahwa suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini sedang dialami sudah pernah dialami di masa lalu.) Rangkaian proses beserta kualitas bukti dan saksi yang dihadirkan dalam sengketa PHPU pilpres 2014 lalu. Saya rasa hasilnya pun tidak akan jauh berbeda.Â
Bedanya kali ini bungkusnya aja yang lebih "WoW". Sang ketua tim hukum paslon 02, Bambang Widjoyanto, mengemas prosesi gugatan ini begitu ciamik. Bagaimana saat BW mendaftar kalimat-kalimatnya yang memberi nuansa penekanan terhadap para hakim MK membuat heboh seantero jagat Indonesia.
Istilah Mahkamah Kalkulator, bagian rezim korup, merasa dihalangi untuk mendapat keadilan hanya karena jalan ditutup padahal semua tahu kenapa jalan ditutup. Barang bukti yang volumenya berjumlah 12 truk. Belum lagi ucapan," kami akan sajikan bukti baru yang WOW, dibarengi saksi yang WOW pula".
BW berhasil menjadikan ruang sidang MK bagai  panggung pertunjukan. Narasi Propaganda yang dibangun entah untuk siapa, di kontruksi dengan begitu cermat. Sehingga hampir semua menduga kali ini akan berbeda dari kasus yang sama tahun 2014 lalu.
Namun sayang bungkus yang begitu indah tidak linier dengan isinya. BW gagal menghadirkan bukti dan saksi yang sesuai dengan standar WOW. Dia lupa bahwa yang dihadapinya itu 9 hakim MK yang memahami hukum ketatanegaraan yang mumpuni ditambah dengan pihak termohon dan terkait yang juga memiliki kapasitas tidak diragukan dalam masalah hukum.
Rasanya hasil akhir seperti kasus gugatan PHPU pilpres 2014 akan terjadi lagi, menjadikan De javu ini paripurna.