Sejak masa kanak-kanak, kala pemahaman saya tentang kata dan makna mulai terangkai utuh di bangku Sekolah Dasar, dua telinga ini dan mungkin jutaan telinga anak Indonesia lainnya, telah dicekoki oleh ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan, gema frasa "Indonesia itu bangsa besar" dari mimbar-mimbar kekuasaan.
Jargon itu, dengan segala variasi dan intonasinya, seolah menjadi mantra wajib yang diucapkan para pemimpin dan pejabat di negeri ini, sehingga meresap ke dalam alam bawah sadar kolektif penduduknya.
Kini, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, frekuensi penggunaannya justru terasa kian meningkat, bahkan menyelinap dalam konteks yang tak terduga, melahirkan sebuah inflasi narasi yang mendorong saya, merasa perlu menuliskannya dalam sebuah artikel sederhana ini.
Mari kita ambil contoh unggahan Menteri BUMN sekaligus Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, di media sosialnya. Kala Timnas Garuda akan berlaga menghadapi Jepang, beliau menulis,
"Jepang saat ini berada di peringkat ke-15 ranking FIFA dunia dan peringkat pertama di Asia, tapi itu bukan alasan kita akan takut menghadapi mereka. Kita tunjukkan 'Indonesia bangsa besar' dan bisa memberikan perlawanan menghadapi Jepang hari ini. Kita tuntaskan Babak 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 ini dengan penampilan terbaik untuk Merah Putih. Ayo Garuda."Â
Jujur, ini memang suntikan semangat, namun sekaligus menyiratkan bahwa kebesaran bangsa seolah harus dibuktikan di lapangan hijau, dalam sebuah pertandingan sepak bola.Â
Konteksnya terasa begitu jauh dari esensi kebesaran sebuah bangsa.
Frasa "bangsa besar" ini mengusik nalar. Logika dasar berbahasa mengajarkan, bahwa keberadaan "besar" mustahil tanpa adanya "kecil." Besar dan kecil adalah ukuran relatif, mustahil ada kondisi yang dinamakan "besar" jika tidak ada "kecil" sebagai pembandingnya.Â
Jika demikian, sudah pasti ada "bangsa kecil" pula.
Pertanyaannya kemudian, apakah memang ada sebuah bangsa yang menahbiskan dirinya sebagai "bangsa kecil"?Â