Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Jargon "Bangsa Besar" Beresonansi Hampa, di Tengah Inflasi Narasi

12 Juni 2025   12:34 Diperbarui: 13 Juni 2025   14:28 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pertamanya pada Sidang Paripurna Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029 di Gedung MPR/DPR RI, Minggu (20/10/2024).(Tim Dokumentasi Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029)

Sejak masa kanak-kanak, kala pemahaman saya tentang kata dan makna mulai terangkai utuh di bangku Sekolah Dasar, dua telinga ini dan mungkin jutaan telinga anak Indonesia lainnya, telah dicekoki oleh ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan, gema frasa "Indonesia itu bangsa besar" dari mimbar-mimbar kekuasaan.

Jargon itu, dengan segala variasi dan intonasinya, seolah menjadi mantra wajib yang diucapkan para pemimpin dan pejabat di negeri ini, sehingga meresap ke dalam alam bawah sadar kolektif penduduknya.

Kini, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, frekuensi penggunaannya justru terasa kian meningkat, bahkan menyelinap dalam konteks yang tak terduga, melahirkan sebuah inflasi narasi yang mendorong saya, merasa perlu menuliskannya dalam sebuah artikel sederhana ini.

Mari kita ambil contoh unggahan Menteri BUMN sekaligus Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, di media sosialnya. Kala Timnas Garuda akan berlaga menghadapi Jepang, beliau menulis,

"Jepang saat ini berada di peringkat ke-15 ranking FIFA dunia dan peringkat pertama di Asia, tapi itu bukan alasan kita akan takut menghadapi mereka. Kita tunjukkan 'Indonesia bangsa besar' dan bisa memberikan perlawanan menghadapi Jepang hari ini. Kita tuntaskan Babak 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 ini dengan penampilan terbaik untuk Merah Putih. Ayo Garuda." 

Jujur, ini memang suntikan semangat, namun sekaligus menyiratkan bahwa kebesaran bangsa seolah harus dibuktikan di lapangan hijau, dalam sebuah pertandingan sepak bola. 

Konteksnya terasa begitu jauh dari esensi kebesaran sebuah bangsa.

Frasa "bangsa besar" ini mengusik nalar. Logika dasar berbahasa mengajarkan, bahwa keberadaan "besar" mustahil tanpa adanya "kecil." Besar dan kecil adalah ukuran relatif, mustahil ada kondisi yang dinamakan "besar" jika tidak ada "kecil" sebagai pembandingnya. 

Jika demikian, sudah pasti ada "bangsa kecil" pula.

Pertanyaannya kemudian, apakah memang ada sebuah bangsa yang menahbiskan dirinya sebagai "bangsa kecil"? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun