Di Indonesia, Quick Response Indonesia Standard (QRIS) menjelma menjadi primadona sistem pembayaran, sempat menjadi sorotan sebagai salah satu non-barrier tariff dalam kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.Â
Popularitas QRIS saat ini meroket tajam, tercermin dari pertumbuhan pengguna yang eksponensial.Â
Data Bank Indonesia pada Kuartal I tahun 2025 mencatat lonjakan pengguna QRIS hingga 169,1 persen secara tahunan, dengan total 56,3 juta akun aktif. Volume transaksi pun fantastis, mencapai 2,9 miliar kali dengan nilai keseluruhan menyentuh angka Rp262,1 triliun.
Diperkenalkan pada 17 Agustus 2019 dan diimplementasikan secara luas sejak 1 Januari 2020, QRIS menandai evolusi signifikan dalam dunia pembayaran berbasis QR code.Â
Sebelumnya, lanskap pembayaran digital diwarnai oleh beragam format QR code dari berbagai penyedia layanan. Kehadiran QRIS menyatukan standar ini, membuka babak baru dalam kemudahan dan interoperabilitas transaksi digital.
Inovasi QR Code sendiri merupakan lompatan revolusioner dari pendahulunya, barcode. Jauh sebelum popularitas QR Code merebak, dunia teknologi telah akrab dengan barcode, representasi visual data berupa garis-garis vertikal dan spasi dengan lebar bervariasi.Â
Perjalanan dari Barcode Berlanjut Menjadi QR Code
Teknologi ini, yang pengembangannya dimulai sejak tahun 1949 dan mulai digunakan secara komersial pada era 1970-an, mulanya banyak dimanfaatkan dalam industri manufaktur.Â
Konfigurasi unik garis-garis pada barcode menyimpan informasi yang dapat dibaca oleh pemindai khusus, memungkinkan identifikasi dan pelacakan produk atau informasi lain secara otomatis dengan kecepatan dan akurasi tinggi.Â
Kendati demikian, barcode memiliki keterbatasan dalam kapasitas penyimpanan data, yang hanya mampu menampung hingga 20 digit alfamerik (huruf dan angka)