Kerumitan masalah subsidi energi, terutama untuk bahan bakar minyak (BBM), gas, dan listrik, telah menjadi persoalan klasik yang berulang sejak puluhan tahun lamanya.Â
Setiap pemerintahan di Indonesia selalu dihadapkan pada dilema ini, terutama saat harga minyak dunia melonjak atau di awal masa pemerintahan baru
Setiap pemerintahan di Indonesia, siapapun presidennya hampir selalu menghadapi situasi klasik ini.Â
Meski demikian, belum ada satu pun pemerintahan yang mampu secara tuntas menemukan solusi terbaik.
Pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo tengah berjibaku mencari skema subsidi energi yang dianggap "terbaik" dan lebih efektif, ala Kabinet Merah Putih.
Skema subsidi yang sebelumnya bersifat terbuka, langsung pada produknya, kini bergeser menjadi skema 'blending' atau campuran.Â
Artinya, subsidi tidak hanya diberikan langsung kepada barang, tetapi juga sebagian dialokasikan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat yang berhak.
Diksinya memang baru "dikurangi" diganti menjadi "blending" meskipun dalam praktiknya sebenarnya tak ada yang baru.
Dengan skema yang tak baru-baru amat ini, BBM bersubsidi seperti Pertalite dan solar, serta gas elpiji 3 kg, masih tersedia, namun dengan alokasi yang lebih terbatas dan ditujukan untuk sektor-sektor tertentu.Â
Misalnya, BBM bersubsidi jenis Pertalite atau solar bersubsidi hanya diperuntukkan bagi transportasi umum berplat kuning.Â