Sengketa lahan untuk kepentingan investasi seperti kini sedang terjadi di Pulau Rempang Batam adalah masalah klasik yang terus terjadi, sejak jaman baheula.
Dalam pengembangan bisnis dan investasi langsung di sektor riil, tentu saja tidak dapat dilepaskan dengan pengadaan lahan, khususnya untuk pengadaan infrastrukturnya. Pengadaan tanah sendiri dalam prosesnya kerap kali tak bisa dilepaskan dari pembebasan lahan.
Nah, proses pembebasan lahan inilah yang kemudian sangat rentan menjadi konflik, sehingga menimbukan sengketa kepemilikan lahan antara masyarakat, pengusaha, dan Pemerintah.
Sengketa ini bahkan bisa memicu aksi kekerasan dari para pihak yang berkonflik, seperti yang saat ini berlangsung di Pulau Rempang. Kedua belah pihak bertahan dengan alasannya masing-masing, warga Pulau Rempang yang berjumlah 7.500 jiwa, merasa lahan yang selama ratusan tahun mereka tempati merupakan tanah adat milik leluhur mereka.
Pemerintah beranggapan lain, tanah itu adalah tanah kosong milik Badan Pengembangan(BP) Batam, karena menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Â seperti diungkapkan Menteri-nya Hadi Tjahjanto, warga yang menempati Pulau Rempang tak memiliki sertfikat Hak Guna Usaha atas kawasam seluas 17 ribu hektar yang kini mereka tempati.
Lahan yang rencana akan dijadikan Kawasan Ekonomi Terpadu Rempang Eco City meruapakan kawasan hutan, dari jumlah itu 660 hektar diantaranya dimiliki oleh BP. Batam.
Lantaran secara fakta formil warga Pulau Rempang tak memiliki secarik surat pun yang menyatakan bahwa mereka adalah pemilik sah lahan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamananan (Menkopolhukam) Mahfud MD seperti banyak dikutip berbagai media, menyatakan bahwa apa yang terjadi di Pulau Rempang itu bukan penggusuran tetapi pengosongan lahan.
Pemerintah telah memberikan hak atas tanah itu kepada sebuah entitas perusahaan sejak tahun 2001 dan 2002.Â
Mengutip CNNIndonesia.com, entitas perusahaan tersebut kemudian diketahui adalah PT.Makmur Elok Graha yang ditenggarai sebagai anak usaha dari grup bisnis Artha Graha milik Taipan Bisnis kondang Indonesia, Tomy Winata, yang bekerjasama dengan Pemkot Batam dan BP Batam untuk mengembang kawasan tersebut.
Masalah sengketa lahan ini, sebenarnya sudah pernah mencuat pada tahun 2004, tetapi entah bagaimana ceritanya kemudian tenggelam begitu saja.
Baru kembali mencuat tahun 2023, setelah proyek ini masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN)2023. Hal itu tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 tahun 2023 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.