Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Merasakan KRL di Masa Sebelum Jonan dan Masa Setelah Jonan

29 September 2022   13:52 Diperbarui: 30 September 2022   08:08 3665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kereta api mungkin merupakan media transportasi yang paling banyak menyisakan jejak romantisme bagi masyarakat Indonesia khususnya mereka yang berada di Pulau Jawa dan beberapa bagian di Pulau Sumatera.

Bagi saya kereta api sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan keseharian. Saat ini pergi dan pulang untuk mengais rejeki, Kereta Api Listrik (KRL)  Jabodetabek menjadi tunggangan andalan.

Terlepas dari masih banyaknya kekurangan dalam pelayanan di sana sini, tetapi bagi saya dan jutaan masyarakat lain KRL merupakan transportasi paling reliable, cepat, nyaris tanpa hambatan, waktu tempuhnya yang relatif bisa diprediksi dibanding menggunakan transportasi berbasis aspal, dan murah karena masih disubsidi Pemerintah melalui mekanisme Public Service Obligation (PSO).

Sebagai pengguna setia, saya mengalami dua fase besar dalam per-KRL-an Jabodetabek, masa sebelum "Jonan" dan masa setelah "Jonan."

Kata "Jonan" merujuk pada mantan Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Ignatius Jonan periode 2009-2014 yang mengubah sama sekali wajah Perkeretaapian Indonesia, termasuk KRL Jabodetabek.

Saya ingat betul kondisi KRL di masa lalu sebelum Jonan masuk PT. KAI, sungguh sangat semrawut. Saat itu KRL masih dibagi ke dalam dua kelas, ekspres dan ekonomi.

KRL Ekspres, harga tiketnya jauh lebih mahal, gerbong keretanya berpendingin udara, berhenti di stasiun-stasiun tertentu saja kalau dari arah Bogor hanya berhenti di Stasiun Depok, Pasar Minggu, Manggarai, dan Stasiun Kota.

Profil penumpangnya pun berbeda, di KRL ekspres di dominasi oleh pekerja kantoran yang cenderung lebih tertib.

Sedangkan KRL kelas ekonomi panas dan pengap berbau 7 rupa tanpa AC,  dipergunakan semua kalangan, sangat murah, bahkan sebagian diantaranya tak membayar tiket, pedagang asongan dan pengemis bebas menjalankan aktivitasnya di atas gerbong KRL tak peduli sepenuh apapun penumpang yang menjejalinya.

Saking penuhnya penumpang meluber hingga ke atap gerbong KRL, dan itu merupakan pemandangan sehari-sehari.

Alhasil, nyaris setiap hari kita mendengar ada saja penumpang yang celaka karena tersengat listrik kabel aliran atas atau terjatuh dari atap gerbong kereta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun