Setelah menghadiri Konferensi tingkat tinggi (KTT) G-7 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, melanjutan perjalanannya ke negara yang kini tengah berkonflik Ukraina dan Rusia.
Kunjungan ke dua negara tersebut untuk membawa misi kemanusian, mencari penyelesaian krisis pangan  dan mengupayakan perdamaian.Â
Banyak pihak di dalam negeri terutama dari sejumlah individu yang berseberangan dengan Jokowi dan Pemerintahannya, menganggap kunjungan tersebut akan sia-sia, mengingat posisi tawar Indonesia dipercaturan internasional kurang diperhitungkan.
Dengan kesan mengecilkan upaya Presiden Jokowi tersebut, Â bahkan di media sosial banyak dari mereka yang mempermasalahkan hal yang tak substansial seperti "bahasa yang digunakan" oleh Jokowi saat bertemu Presiden Ukraina Volodymir Zelenski dan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
"Manalah mungkin Indonesia mampu mendamaikan konflik bersenjata Rusia dengan Ukraina"
Beberapa diantaranya bahkan sama sekali menisbikan upaya perdamaian Jokowi menjadi semacam lelucon yang tak pantas.
Melalui pemberitaan media, kita tahu negara-negara besar atau yang berada di kawasan berdekatan dengan ke dua negara berkonflik saja yang dianggap lebih kompeten, tak mampu mendamaikan keduanya, bahkan hanya untuk membawa Ukraina dan Rusia ke meja perundingan.
Turki memang sempat memprakarsai perundingan antar kedua negara tersebut di awal konflik terjadi, tetapi tak berlanjut lantaran tak ada titik temu dan mungkin waktunya kurang tepat, saat itu keduanya masih dalam kondisi panas.
Setelah itu praktis tak ada upaya dari pihak manapun, yang secara langsung berusaha mendamaikan keduanya.
Tak juga lembaga multilateral semacam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang hanya sibuk mengeluarkan seruan  penghentian perang seraya mengecam Rusia.
Hal serupa juga dilakukan oleh sejumlah negara lain, hanya seruan dan seruan belaka tanpa bergerak mendekati Ukraina dan Rusia secara langsung dan bersamaan dengan menunjukan posisinya terkait kesetaraan dan ketidakberpihakan.