Lantas bagaimana dampak akuisisi yang dilakukan oleh UOB ini bagi karyawan Citibank?
Sebagai dua perusahaan multinasional raksasa yang sudah memiliki manajemen yang cukup matang, untuk urusan karyawana ini setiap keputusan yang mereka lakukan pastinya akan mengacu pada hukum ketenagakerjaan setempat.
Secara umum, setelah peralihan pengendali, maka status karyawan di perusahaan yang diambil alih biasanya bergantung kepada kesediaan karyawan untuk melanjutkan hubungan kerja atau kesediaan perusahaan tersebut untuk mempekerjakan karyawan tersebut.
Apabila kedua belah pihak sama-sama bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka status karyawan dari perusahaan yang diambil alih tak akan berubah.
Jadi secara hukum, status karyawan yang diambil alih tidak berubah menjadi karyawan yang mengambil alih, dan setelah diakuisisi pun perusahaan tersebut masih ada, yang berubah hanya pengendalinya saja.
Namun apabila, salah satu pihak tidak bersedia untuk melanjutkan hubungan kerja, maka hal ini bisa dijadikan alasan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK seperti yang diatur dalamÂ
Pasal 81 angka 42 Undang-Undang Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154 A ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
(a) perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
Jika PHK jadi dilakukan, maka karyawan berhak mendapatkan pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Dalam hal akuisisi bisnis ritel Citibank oleh UOB hal, kita belum tahu persis akan seperti apa, meskipun sebelumnya CEO Citibank Indonesia Batara Sianturi telah menegaskan bahwa aksi korporasi ini tak akan berdampak langsung pada karyawan dan juga nasabah Citibank.